Relasi Usmani dan Nahdlatul Ulama
A
A
A
Muhamad Syauqillah
Dosen Kajian Timur Tengah dan Islam-SKSG UI
Alumni Universitas Marmara, Istanbul
JELANG 70 tahun relasi Indonesia dan Turki, menilik kedua negara lebih menarik dengan menggunakan relasi peradaban ketimbang relasi lainnya. Pasalnya, relasi peradaban tersebut melampaui 70 tahun relasi politik-diplomasi kedua negara, fondasinya telah kokoh sejak berabad lampau, di era Usmani tepatnya.
Fondasi relasi dengan dinasti Usmani dapat dilihat dari relasi keilmuan antara ulama nusantara. Pada abad ke-12, Nizamul Muluk, salah satu ulama terkemuka dengan karya populernya bertajuk Siyasatnama (buku politik) pada era Selcuk (cikal bakal Usmani), mendirikan madrasah untuk mencetak para ulama dan pada era Sulayman Al Kanuni dan Murad III, keduanya mengembangkan madrasah sebagai lokus pendidikan Islam (Azra, 1992).
Pada era selanjutnya di Mekah dan Madinah, santri Nusantara belajar kepada ulama kenamaan pada abad 17. Sederet nama ulama yang menjadi guru para santri nusantara itu antara lain, Ahmad Kusasi, Muhammad Tahir dan Ibrahim Kurani.
Tak salah jika kemudian kemudian nama-nama para ulama ini terdapat dalam silsilah keilmuan Nahdlatul Ulama (NU). Jika anda berkunjung ke kantor PBNU, silsilah kelimuan NU yang menyebut ketiga nama ulama ini dapat dilihat di perpustakaannya.
Model pendidikan yang dikembangkan di Mekah dan Madinah serta model madrasah Nizamul Muluk, di masa kemudian menjadi cukup penting di nusantara. Kurikulum dan metode pembelajaran yang diterapkan di kalangan pesantren adalah contoh konkret pengaruh model pendidikan Mekah dan Madinah, begitu juga Al Azhar Kairo (Bruneissen, 2008).
Salah satu topik menarik yang menjadi cikal bakal penting dalam sejarah perkembangan NU adalah Tesvir Efkar, buletin yang diterbitkan Ibrahim Sinasi pada 1862. Setelah 2 tahun terbit, tepatnya pada 1864, Namik Kemal dan Ebu Ziyya Mehmet Tevfik bergabung dalam buletin ini. Sinasi adalah salah seorang tokoh muda Turki (Jon Turk) bersama Ziya Gokalp, Sait Halim Pasa, Namik Kemal, dan lain-lain.
Pada eranya, Tesvir Efkar menjadi buletin dengan oplah sekitar 24.000 eksemplar, cukup besar di masanya. Jangkauan desiminasinya tak hanya wilayah koloni Usmani, tapi juga mencapai Eropa.
Tesvir Efkar sempat berganti nama menjadi beberapa nama Tevhid-i Efkar, Tenvir-i Efkar, Intihab-i Efkar, Tefsir-i Efkar, Tercuman-i Ahval. Tesvir Efkar secara keseluruhan memuat isi tentang masalah dalam negeri (Hawadits Dakhiliyah), yang mayoritas berisi tentang eyalet (provinsi) dan seyahat (reporta seperjalanan), pada bagian ini juga dikemukakan tentang berita dalam negeri seperti berita di Istanbul.
Tesvir Efkar juga memuat tentang Hawadits Kharijiah, pada edisi 4 Rabiul Akhir 1279 H, memuat reportase di beberapa wilayah di dunia, seperti Amerika, Eropa, Asia dan Afrika. Pada bagian akhir Tesvir Efkar juga memuat pemberitahuan (i’lan) tentang berbagai macam hal, seperti koreksi dalam penerbitan buku (edisi 12 Safar 1282). Tesvir Efkar juga memuat rubrik tentang keuangan, masalah perkotaan, pendidikan dan pengetahuan tentang masalah perempuan.
Relasi dengan NU
NU lahir diawal abad 20, diawali dengan tiga pendirian Nahdlatur Tujjar (1918), Nahdlatul Wathan (1916), dan Tashwirul Afkar (1914), Tashwirul Afkar adalah kelompok diskusi, dibentuk untuk mewadahi diskursus gagasan di kalangan ulama tradisional di Surabaya. Belakangan Tashwirul Afkar menjadi salah satu lembaga pendidikan terkemuka di Surabaya. Dua tokoh ternama dari Tashwirul Afkar adalah Kyai Ahmad Dahlan dan Kyai Wahab Chasbullah.
Peran Kyai Wahab Chasbullah sangat terlihat saat itu. Komite Hijaz yang merupakan cikal bakal NU, menempatkan Kyai Wahab pada posisi sentral, berhasil melobi penguasa Hijaz saat itu, untuk tetap menjaga Makam Nabi Muhammad SAW setelah runtuhnya Dinasti Usmani tahun 1923.
Peran KyaiW ahab tidak hanya berhenti pada Komite Hijaz dan pendirian tiga institusi cikal bakal NU. Di ranah literasi jejak karyanya dapat dilihat dari keterlibatannya di media massa NU, Swara Nahdlatoel Oelama tahun 1927 dan Berita Nahdlatul Oelama tahun 1931.
Swara NOE, sebagaimana Tesvir Efkar, pada edisi Jumadil Tsani 1346 H, menulis tentang perkembangan Islam di Amerika, Mekkah, Mesir dan Turki. Swara NOE juga memberikan kesempatan secara periodik, rubrik tanya jawab seputar masalah keagamaan. Rubrikasi seperti ini dalam Tesvir Efkar disebut sebagai Hawadist Dhakiliyah dan Hawadist Kharijiah.
Bukan hanya itu. Ungkapan kedekatan NU denganTurki pasca-Usmani, yakni pada Berita NOE yang memberitakan tentang bagaimana kejatuhan Usmani. Salah satu edisi Berita NOE di edisi 15 April 1936 yang memuat reportase berjudul 'Islam di Turki'. Pada reportase tersebut, Berita NOE melaporkan kondisi riil yang mengakibatkan jatuhnya Usmani, dan menggambarkan Mustafa Kemal Ataturk sebagai sosok figur pahlawan dengan tulisan “Pada Masa Itoelah Mostafa Kamal Basja Meniupkan Trompet Aldjihad".
Menariknya, dalam konteks relasi Tesvir Efkar, Swara NOE, dan Berita NOE, persamaannya terletak bukan hanya pada pada gagasan pemikiran sebagaimana maknanya saja, melainkan juga dapat dilihat dari bagaimana tata letak dan rubrik buletin Swara NOE, yang memiliki kesamaan dengan Tesvir Afkar. Hal ini mengindikasikan bahwa Kyai Wahab telah sangat melek perkembangan dunia penerbitan saat itu.
Relasi NU tidak hanya itu, relasi yang cukup kuat antara NU dan Usmani terlihat dari masih dikajinya buku berjudul Al Husun Al Hamidiyah (Benteng Hamid) karya Sayyid Husain Efendi. Buku yang dalam pembukaannya pada halaman 5 menyebut nama Sultan Abdul Hamid Khan (sultan terakhir Dinasti Usmani), secara lugas memberikan pujian dan doa atas kekuasaan Abdul Hamid sebagai penguasa Dinasti Usmani. Buku Karya Husain Efendi ini hingga sekarang masih secara kontinyu dicetak oleh salah satu penerbit di Surabaya dan masih diajarkan di salah satu Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur.
Refleksi bagi NU
Laku intelektual dan gerakan Kyai Wahab mampu menjadi Tesvir Efkar sebagai rujukan dalam perjuangan gerakan NU. Kyai Wahab mampu mentranformasikan gagasan global menjadi gerakan sosial keagamaan di Indonesia.
Lalu bagaimana NU hari ini? NU setidaknya perlu meneruskan apa yang sudah dilakukan Kyai Wahab. Jika dahulu Kyai Wahab berhasil melakukan sintesa wacana global masuk dalam ranah lokal, maka seharusnya hari ini, NU perlu mendiseminasikan gagasan Islam Nusantara ke ranah global. Bukan hanya gagasan tentunya, akan tetapi juga gerakan sosial diaspora NU di luar negeri dengan konsepsi yang komprehensif.
Relasi NU dan Usmani, yang begitu erat, perlu direfleksikan dalam posisi diplomasi politik kekinian. Artinya Indonesia dan Turki hari ini, perlu memainkan hubungan peradaban yang menjadi fondasi kedua negara. Tentunya dengan dimensi berbeda saat ini.Tentu akan menarik jika sebuah negara sekuler berkolaborasi dengan negara Pancasila. Kita tunggu kejutan-kejutan yang akan muncul dari hubungan keduanya. Selamat merayakan Hubungan Indonesia-Turki.
Dosen Kajian Timur Tengah dan Islam-SKSG UI
Alumni Universitas Marmara, Istanbul
JELANG 70 tahun relasi Indonesia dan Turki, menilik kedua negara lebih menarik dengan menggunakan relasi peradaban ketimbang relasi lainnya. Pasalnya, relasi peradaban tersebut melampaui 70 tahun relasi politik-diplomasi kedua negara, fondasinya telah kokoh sejak berabad lampau, di era Usmani tepatnya.
Fondasi relasi dengan dinasti Usmani dapat dilihat dari relasi keilmuan antara ulama nusantara. Pada abad ke-12, Nizamul Muluk, salah satu ulama terkemuka dengan karya populernya bertajuk Siyasatnama (buku politik) pada era Selcuk (cikal bakal Usmani), mendirikan madrasah untuk mencetak para ulama dan pada era Sulayman Al Kanuni dan Murad III, keduanya mengembangkan madrasah sebagai lokus pendidikan Islam (Azra, 1992).
Pada era selanjutnya di Mekah dan Madinah, santri Nusantara belajar kepada ulama kenamaan pada abad 17. Sederet nama ulama yang menjadi guru para santri nusantara itu antara lain, Ahmad Kusasi, Muhammad Tahir dan Ibrahim Kurani.
Tak salah jika kemudian kemudian nama-nama para ulama ini terdapat dalam silsilah keilmuan Nahdlatul Ulama (NU). Jika anda berkunjung ke kantor PBNU, silsilah kelimuan NU yang menyebut ketiga nama ulama ini dapat dilihat di perpustakaannya.
Model pendidikan yang dikembangkan di Mekah dan Madinah serta model madrasah Nizamul Muluk, di masa kemudian menjadi cukup penting di nusantara. Kurikulum dan metode pembelajaran yang diterapkan di kalangan pesantren adalah contoh konkret pengaruh model pendidikan Mekah dan Madinah, begitu juga Al Azhar Kairo (Bruneissen, 2008).
Salah satu topik menarik yang menjadi cikal bakal penting dalam sejarah perkembangan NU adalah Tesvir Efkar, buletin yang diterbitkan Ibrahim Sinasi pada 1862. Setelah 2 tahun terbit, tepatnya pada 1864, Namik Kemal dan Ebu Ziyya Mehmet Tevfik bergabung dalam buletin ini. Sinasi adalah salah seorang tokoh muda Turki (Jon Turk) bersama Ziya Gokalp, Sait Halim Pasa, Namik Kemal, dan lain-lain.
Pada eranya, Tesvir Efkar menjadi buletin dengan oplah sekitar 24.000 eksemplar, cukup besar di masanya. Jangkauan desiminasinya tak hanya wilayah koloni Usmani, tapi juga mencapai Eropa.
Tesvir Efkar sempat berganti nama menjadi beberapa nama Tevhid-i Efkar, Tenvir-i Efkar, Intihab-i Efkar, Tefsir-i Efkar, Tercuman-i Ahval. Tesvir Efkar secara keseluruhan memuat isi tentang masalah dalam negeri (Hawadits Dakhiliyah), yang mayoritas berisi tentang eyalet (provinsi) dan seyahat (reporta seperjalanan), pada bagian ini juga dikemukakan tentang berita dalam negeri seperti berita di Istanbul.
Tesvir Efkar juga memuat tentang Hawadits Kharijiah, pada edisi 4 Rabiul Akhir 1279 H, memuat reportase di beberapa wilayah di dunia, seperti Amerika, Eropa, Asia dan Afrika. Pada bagian akhir Tesvir Efkar juga memuat pemberitahuan (i’lan) tentang berbagai macam hal, seperti koreksi dalam penerbitan buku (edisi 12 Safar 1282). Tesvir Efkar juga memuat rubrik tentang keuangan, masalah perkotaan, pendidikan dan pengetahuan tentang masalah perempuan.
Relasi dengan NU
NU lahir diawal abad 20, diawali dengan tiga pendirian Nahdlatur Tujjar (1918), Nahdlatul Wathan (1916), dan Tashwirul Afkar (1914), Tashwirul Afkar adalah kelompok diskusi, dibentuk untuk mewadahi diskursus gagasan di kalangan ulama tradisional di Surabaya. Belakangan Tashwirul Afkar menjadi salah satu lembaga pendidikan terkemuka di Surabaya. Dua tokoh ternama dari Tashwirul Afkar adalah Kyai Ahmad Dahlan dan Kyai Wahab Chasbullah.
Peran Kyai Wahab Chasbullah sangat terlihat saat itu. Komite Hijaz yang merupakan cikal bakal NU, menempatkan Kyai Wahab pada posisi sentral, berhasil melobi penguasa Hijaz saat itu, untuk tetap menjaga Makam Nabi Muhammad SAW setelah runtuhnya Dinasti Usmani tahun 1923.
Peran KyaiW ahab tidak hanya berhenti pada Komite Hijaz dan pendirian tiga institusi cikal bakal NU. Di ranah literasi jejak karyanya dapat dilihat dari keterlibatannya di media massa NU, Swara Nahdlatoel Oelama tahun 1927 dan Berita Nahdlatul Oelama tahun 1931.
Swara NOE, sebagaimana Tesvir Efkar, pada edisi Jumadil Tsani 1346 H, menulis tentang perkembangan Islam di Amerika, Mekkah, Mesir dan Turki. Swara NOE juga memberikan kesempatan secara periodik, rubrik tanya jawab seputar masalah keagamaan. Rubrikasi seperti ini dalam Tesvir Efkar disebut sebagai Hawadist Dhakiliyah dan Hawadist Kharijiah.
Bukan hanya itu. Ungkapan kedekatan NU denganTurki pasca-Usmani, yakni pada Berita NOE yang memberitakan tentang bagaimana kejatuhan Usmani. Salah satu edisi Berita NOE di edisi 15 April 1936 yang memuat reportase berjudul 'Islam di Turki'. Pada reportase tersebut, Berita NOE melaporkan kondisi riil yang mengakibatkan jatuhnya Usmani, dan menggambarkan Mustafa Kemal Ataturk sebagai sosok figur pahlawan dengan tulisan “Pada Masa Itoelah Mostafa Kamal Basja Meniupkan Trompet Aldjihad".
Menariknya, dalam konteks relasi Tesvir Efkar, Swara NOE, dan Berita NOE, persamaannya terletak bukan hanya pada pada gagasan pemikiran sebagaimana maknanya saja, melainkan juga dapat dilihat dari bagaimana tata letak dan rubrik buletin Swara NOE, yang memiliki kesamaan dengan Tesvir Afkar. Hal ini mengindikasikan bahwa Kyai Wahab telah sangat melek perkembangan dunia penerbitan saat itu.
Relasi NU tidak hanya itu, relasi yang cukup kuat antara NU dan Usmani terlihat dari masih dikajinya buku berjudul Al Husun Al Hamidiyah (Benteng Hamid) karya Sayyid Husain Efendi. Buku yang dalam pembukaannya pada halaman 5 menyebut nama Sultan Abdul Hamid Khan (sultan terakhir Dinasti Usmani), secara lugas memberikan pujian dan doa atas kekuasaan Abdul Hamid sebagai penguasa Dinasti Usmani. Buku Karya Husain Efendi ini hingga sekarang masih secara kontinyu dicetak oleh salah satu penerbit di Surabaya dan masih diajarkan di salah satu Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur.
Refleksi bagi NU
Laku intelektual dan gerakan Kyai Wahab mampu menjadi Tesvir Efkar sebagai rujukan dalam perjuangan gerakan NU. Kyai Wahab mampu mentranformasikan gagasan global menjadi gerakan sosial keagamaan di Indonesia.
Lalu bagaimana NU hari ini? NU setidaknya perlu meneruskan apa yang sudah dilakukan Kyai Wahab. Jika dahulu Kyai Wahab berhasil melakukan sintesa wacana global masuk dalam ranah lokal, maka seharusnya hari ini, NU perlu mendiseminasikan gagasan Islam Nusantara ke ranah global. Bukan hanya gagasan tentunya, akan tetapi juga gerakan sosial diaspora NU di luar negeri dengan konsepsi yang komprehensif.
Relasi NU dan Usmani, yang begitu erat, perlu direfleksikan dalam posisi diplomasi politik kekinian. Artinya Indonesia dan Turki hari ini, perlu memainkan hubungan peradaban yang menjadi fondasi kedua negara. Tentunya dengan dimensi berbeda saat ini.Tentu akan menarik jika sebuah negara sekuler berkolaborasi dengan negara Pancasila. Kita tunggu kejutan-kejutan yang akan muncul dari hubungan keduanya. Selamat merayakan Hubungan Indonesia-Turki.
(poe)