Nasionalisme Ekonomi

Senin, 09 Maret 2020 - 06:45 WIB
Nasionalisme Ekonomi
Nasionalisme Ekonomi
A A A
Prof Candra Fajri Ananda, PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia


Merebaknya novel coronavirus atau Covid-19 yang dimulai dari China tidak hanya seketika meluas mengancam kesehatan masyarakat, melainkan juga berdampak luas terhadap berbagai sektor dalam dunia usaha. Virus corona yang melumpuhkan sebagian dari kegiatan operasional perusahaan, apalagi perusahaan yang sistem produksinya berbasis international supply chain, tentu akan sangat mengganggu karena sudah saling tergantung.

Para analis memproyeksikan bahwa saat ini investor tengah bersiap menghadapi kejatuhan ekonomi global yang berpotensi lebih parah daripada saat wabah SARS pada 2003 silam. Hal itu terjadi karena perekonomian China sedang tumbuh lebih besar dan sedang membangun koneksi dengan hampir sebagian besar negara. Hampir seperlima dari pertumbuhan global dipengaruhi China.

Bagi Indonesia, persebaran virus corona yang semakin meluas tak pelak membuat Pemerintah Indonesia panas-dingin mengingat China merupakan mitra utama Indonesia dalam segala lini bisnis. Ketergantungan ekonomi antarkedua negara sangat besar. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat China sebagai negara yang menanamkan investasi terbesar di Indonesia sepanjang kuartal IV/2019. Nilai investasi China di Indonesia mencapai USD1,4 miliar atau 20,4% dari seluruh investasi. BKPM juga mencatat realisasi investasi China pada 2019 sebesar 83%.

Di bidang ekspor-impor, Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan bahwa selama ini 16% komoditas ekspor Indonesia dikirim ke Negeri Panda. Pun sebaliknya, 22% produk impor yang masuk ke Indonesia berasal dari China. Pada 2019 lalu total ekspor nonmigas Indonesia mencapai USD154,99 miliar (92,52% dari total ekspor). Dari jumlah ini negara tujuan terbesar ekspor nonmigas Indonesia adalah China dengan nilai USD25,85 miliar atau 16,68%.

Situasi yang sama terjadi pada impor. Tahun 2019, total impor nonmigas Indonesia mencapai USD148,84 miliar (87,18% dari total impor). Dari jumlah itu negara asal impor terbesar kembali adalah China dengan nilai USD44,58 miliar atau 29,95%. Bahkan, secara langsung, “guncangan” ekonomi tersebut langsung berdampak terhadap penurunan volume ekspor-impor yang menyebabkan keterisian ruang muat kapal kargo berkurang hingga 10%.

Tak hanya hubungan perdagangan yang erat, di bidang pariwisata pun Indonesia bisa dibilang tergantung kepada China. Turis China menempati urutan paling banyak bertandang ke Indonesia setelah turis Malaysia dan Singapura. Tahun 2019 Indonesia didatangi oleh 16,1 juta wisatawan mancanegara atau turis asing yang 2 juta atau 12,8% di antaranya merupakan turis asal China. Bahkan sejumlah hotel di Bali mulai kehilangan tamu karena 1,4 juta dari 2 juta turis Cina memiliki destinasi ke Bali.

Melihat besarnya ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap China, bukan hal yang mudah bagi Indonesia untuk mampu bertahan di tengah ancaman badai ekonomi. Bank Indonesia telah merevisi pertumbuhan ekonomi 2020 menjadi lebih rendah, yaitu pada kisaran 5,0–5,4% dari sebelumnya 5,1–5,5%. Revisi tersebut dilakukan karena pengaruh jangka pendek tertahannya prospek pemulihan ekonomi dunia setelah meluasnya Covid-19.

Keseimbangan Demand dan Supply

Demand-side economics berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi paling efektif diciptakan oleh permintaan yang tinggi untuk produk dan jasa. Secara teoretis ekonomi sisi permintaan, output-nya, sangat ditentukan oleh permintaan efektif. Sementara itu pengeluaran konsumen yang lebih tinggi akan mendorong pengusaha untuk melakukan ekspansi bisnis yang menghasilkan peluang kerja yang lebih besar. Tingkat pekerjaan yang lebih tinggi menciptakan multiplier effect yang selanjutnya mendorong permintaan agregat menuju pertumbuhan ekonomi yang lebih besar.

Tingkat konsumsi publik merupakan penunjang utama produk domestik bruto (PDB) Indonesia agar selalu baik. Tercatat konsumsi menyumbang 56,8% terhadap PDB Indonesia. Bank Mandiri dalam riset terbarunya EconMark2020 Economic Outlook memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan ditopang konsumsi rumah tangga pada sepanjang semester I/2020. Sayangnya seiring semakin dahsyatnya guncangan ekonomi yang terjadi akibat wabah virus corona, optimisme konsumen di awal 2020 kian lemah. Lantas prospek pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebagai penopang pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama tahun ini juga terancam kian turun.

Sebagai upaya menjaga konsumsi rumah tangga, pemerintah dengan segala upaya saat ini mendorong sisi permintaan dengan mempertahankan daya beli masyarakat, terutama untuk masyarakat kelas bawah. Daya beli masyarakat kelas bawah bisa berasal dari kegiatan ekonomi ataupun belanja pemerintah yang diarahkan kepada kelompok tersebut. Pemerintah dapat mengupayakan peningkatan daya beli masyarakat melalui front loading anggaran di awal tahun anggaran, pencegahan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga pemberian insentif untuk sektor pariwisata, termasuk hotel dan restoran. Belanja pemerintah tersebut diharapkan dapat memberikan stimulus terhadap tingkat konsumsi masyarakat.

Selain sisi demand, pemerintah juga tetap harus menjaga sisi supply dengan memastikan terjaganya ketersediaan bahan baku industri. Rencana pemerintah untuk memberikan stimulus kepada industri di tengah situasi perlambatan ekonomi saat ini merupakan arah yang tepat. Khususnya untuk mempermudah impor bagi industri yang memang masih membutuhkan bahan baku dari luar negeri. Kondisi pasar Indonesia kini sedang dalam kondisi kekurangan ketersediaan bahan baku dan pendukung produksi karena disrupsi produksi di China. Apabila impor tidak dilancarkan dari sekarang, kondisi kelangkaan pasokan menjadi hal yang tidak dapat terelak.

Permasalahan supply semakin menjadi hal yang rumit mengingat China merupakan suplier berbagai material mentah untuk Indonesia. Berdasarkan data yang disampaikan Biro Statistik Nasional setempat, Purchasing Managers’ Index (PMI) China berada di rekor terendah pada 36,6 saat Februari, lalu turun drastis bila dibandingkan dengan Januari yang menyentuh angka 50,0. Bahkan subindeks produksi manufaktur berada di level 27,8 pada Februari. Sebelumnya berada di titik 51,3 pada Januari. Angka-angka tersebut merupakan gambaran bahwa proses produksi di China terhenti. Dampaknya, negara lain, termasuk Indonesia, akan kesulitan mencari bahan baku.

Kini, para produsen perlu segera mempersiapkan diri dan mencari substitusi ke negara lain sebelum persediaan industri tersebut habis, meskipun membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Di sisi lain pemerintah perlu mengupayakan minimalisasi terjadinya disrupsi dari sisi supply melalui relaksasi di sektor perdagangan melalui simplifikasi rangkaian prosedur arus impor.

Konsistensi Penindakan dan Kerja Sama

Kepanikan masyarakat dalam berita di medsos cukup mengkhawatirkan karena akan membuat pasar oleng atau bahkan memicu panic buying di pasar. Di tengah kepanikan tersebut ternyata ada berbagai pihak yang mencoba untuk meraup keuntungan dengan melambungkan harga pada barang-barang tertentu. Pemerintah tentu harus bertindak cepat dan cepat segera menindak pelaku secara tegas sesuai dengan aturan. Kenaikan harga secara tak wajar di tengah kepanikan masyarakat tersebut mengindikasikan adanya tindakan mengambil untung berlebihan atau excessivemargin yang dilarang oleh Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pada kondisi saat ini ketegasan pemerintah tersebut sangat diperlukan untuk menjaga tindakan rush yang terus-menerus dan membahayakan perekonomian.

Kini saatnya memunculkan kebersamaan nasional kita untuk menghadapi gelombang ekonomi yang sedang terjadi. Pemerintah pusat dan daerah, kementrian, dan lembaga perlu hand in hand untuk menanggulangi permasalahan ini. Ancaman kondisi ekonomi yang ada di depan mata kini tak bisa bergantung hanya pada kementerian tertentu saja atau hanya pada pemerintah pusat saja. Perlu kebersamaan langkah berbagai instansi dari pusat hingga daerah untuk memperkuat daya tahan perekonomian nasional kita. Semoga.
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4569 seconds (0.1#10.140)