Musik, Politik, dan Negara

Senin, 09 Maret 2020 - 06:25 WIB
Musik, Politik, dan Negara
Musik, Politik, dan Negara
A A A
Eko Sulistyo

Sejarawan, Deputi di Kantor Staf Presiden (2015-2019)

SEJAK 9 Maret 2013, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2013, Indonesia memperingati Hari Musik Nasional. Tanggal 9 Maret dipilih untuk mengenang jasa Wage Rudolf Supratman, pencipta lagu Indonesia Raya yang lahir 9 Maret 1903. Pemilihan tokoh Sumpah Pemuda ini sekaligus menjadi penanda dimulainya lagu dan musik sebagai pengikat politik identitas kebangsaan.

Setelah dinyanyikan pada Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, lagu Indonesia Raya dinyanyikan sebagai ekspresi kehendak merdeka di berbagai pertemuan sosial, budaya, dan politik oleh kaum pergerakan. Pada 1930 Pemerintah Hindia Belanda melarang lagu ini karena dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban. Inilah untuk pertama kali sebuah lagu dianggap sebagai ancaman politik bagi penguasa kolonial.

Di masa pendudukan fasisme Jepang, Indonesia Raya juga sempat dilarang hingga jelang proklamasi kemerdekaan 1945. Pemerintah militer Jepang menggunakan lagu dan musik sebagai propaganda untuk mendukung Perang Asia Timur Raya. Di radio diputarlah lagu-lagu propaganda Jepang seperti Maju Putra-Putri Indonesia , Asia Sudah Bangun , dan Hancurkan Musuh Kita .

Suasana revolusi kemerdekaan juga melahirkan lagu-lagu perjuangan bernafaskan revolusioner. Satu di antara lagu yang sangat populer di era revolusi adalah Darah Rakyat . Lagu ini menggambarkan jiwa revolusi ketika kekuasaan negara kolonial sudah runtuh, namun negara baru bernama Republik Indonesia belum terkonsolidasi.

Rakyat berinisiatif untuk mengambil alih kekuasaan negara dan membuat hukumnya sendiri pada anasir yang dianggap mewakili negara lama yang membuat rakyat sengsara. Lagu ini bisa dianggap sebagai himne revolusi sosial di Indonesia pascakemerdekaan. Darah Rakyat disebarkan dan dinyanyikan oleh ribuan orang dalam rapat umum di Lapangan Ikada (Monas) 19 September 1945 bersama lagu Indonesia Raya .

Musisi dan Politik

Di era Soekarno, menurut Denny Sakrie dalam 100 Tahun Musik Indonesia (2015), pemerintah mulai mengkhawatirkan budaya bangsa termasuk lagu-lagu daerah terlupakan, digantikan budaya Barat. Soekarno menjuluki lagu-lagu Barat musik "ngak-ngik-ngok " sebagai skenario kaum imperialis ingin merusak moral bangsa Indonesia melalui penetrasi kebudayaan. Hal ini menunjukkan bahwa politik Soekarno pascakemerdekaan tetap memandang musuh utama Indonesia adalah kekuasaan kolonialisme dan imperialisme (Neokolim).

Pada 1950-an lagu-lagu asing, terutama musik rock and roll berbahasa Inggris, banyak disiarkan radio luar negeri seperti ABC Australia, Hilversum Belanda , dan Voice of Amerika (V o A ). Termasuk musik latar film-film Barat yang diimpor ke Indonesia. Sejak Oktober 1959 siaran Radio Republik Indonesia (RRI) ditegaskan untuk tidak lagi memutar atau memperdengarkan lagu-lagu rock and roll , Cha-Cha, Tango , hingga Mambo .

Sesuai dengan sikap ideologisnya menentang Nekolim dalam musik dan lagu, di era Soekarno berbagai lagu nasionalisme revolusioner yang menolak dominasi asing menjadi populer seperti lagu Nasakom Bersatu yang diciptakan oleh Soebroto Ki Atmojo dalam peringatan Sumpah Pemuda 1961. Atjungkan tinju kita, satu padu/Bulat semangat kita, hajo terus maju /Nasakom Bersatu, singkirkan kepala batu/Nasakom satu tjita, sosialisme pasti jaya.

Transisi kekuasaan kepada Soeharto di era Orde Baru juga mengubah lanskap Indonesia secara politik, ekonomi, budaya, termasuk musik. Rezim otoriterian Orde Baru menjalankan politik stabilitas dalam berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara. Pencekalan dan pelarangan dilakukan sebagai kontrol politik stabilitas atas musisi dan konser yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan pemerintah.

Para musisi terpaksa dan secara sukarela mendekatkan diri pada kekuasaan untuk bisa tampil di RRI dan TVRI . Pada 1971 Golongan Karya (Golkar) sebagai partai pemerintah mengorganisasikan program "Safari" membawa para musisi dan penyanyi untuk kampanye pemilu dan program-program pemerintah ke berbagai daerah. Ratusan seniman ini lalu bergabung dalam Tim Kesenian Safari Golkar.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak mau ketinggalan melihat musisi sangat strategis dalam memobilisasi pemilih di akar rumput. PPP merekrut Raja Dangdut Rhoma Irama sebagai juru kampanye. Pemerintah melihat sosok Rhoma Irama sebagai ancaman dan melarang tampil di RRI maupun TVRI , dan mempersulit perizinan konsernya. Rhoma menyerah, pada 1992 dia keluar dari PPP dan menjadi juru kampanye Golkar.

Politik Kegembiraan

Musik dan politik kembali meramaikan jagat politik di Indonesia sejak 2014. Mobilisasi musisi dalam kompetisi politik pasca-Reformasi menjadi fenomena dalam Pilpres 2014. Para musisi dengan kreatif menciptakan lagu untuk mendukung calonnya masing-masing.

Persaingan melalui ekspresi seni seperti mengonfirmasi bahwa setiap orang bisa menunjukkan demokrasi secara riang gembira. Seperti pernah disampaikan oleh Jokowi, "Kita selalu ingin kampanye dalam keadaan gembira. Pesta demokrasi adalah kegembiraan sehingga yang kita sampaikan mestinya hal-hal yang menyejukkan, mengenai persatuan, persaudaraan, kerukunan, jangan sampai kita kehilangan orientasi gara-gara pilpres atau pileg."

Pernyataan politik sebagai kegembiraan dan membangun persaudaraan seolah menjadi antitesis dari fenomena politik ketakutan dan politik kebencian yang disebar oleh para elite politik, terutama melalui media sosial. Fenomena politik ketakutan muncul dengan menggunakan isu-isu politik identitas menggunakan agama, suku, dan ras yang membuat politik menjadi saling membenci dan memusuhi.

Pada 2014 para musisi yang menamakan komunitas Revolusi Harmoni untuk Revolusi Mental mendeklarasikan dukungannya pada Jokowi-Jusuf Kalla. Dari ratusan musisi yang bergabung satu di antaranya grup band Slank yang memiliki penggemar anak-anak muda di berbagai kota. Slank menciptakan lagu Salam Dua Jari sebagai ekspresi politik mereka mendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla.

Sementara musisi kenamaan yang mendukung Prabowo adalah Ahmad Dani dan para musisi dangdut yang bergabung dalam Selendang Putih. Mereka antara lain, Jaja Miharja, Mansyur S, Hamdan ATT, Mega Mustika, Joni Iskandar, dan Raslina Rasyidin. "Kami dari Selendang Putih memberikan dukungan kepada pasangan Prabowo-Hatta."

Kompetisi politik yang melibatkan para musisi melalui musik dan lagu yang gembira menjadi pembelajaran demokrasi yang menciptakan suasana rivalitas politik menjadi sejuk dan damai. Keterlibatan para musisi dalam proses politik juga berlaku di banyak negara. Mereka tidak hanya menjadi juru kampanye, tapi juga memobilisasi dana melalui konser-konser musik.

Ketika politik menjadi penuh kebencian dan ketakutan, saatnya musik bicara. Selamat Hari Musik Nasional.
(jon)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4918 seconds (0.1#10.140)