Harga Gula Naik (Lagi), Ada Apa?

Sabtu, 07 Maret 2020 - 07:10 WIB
Harga Gula Naik (Lagi), Ada Apa?
Harga Gula Naik (Lagi), Ada Apa?
A A A
M Rifki Fadilah
Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute Center for Public Policy Research

SEJENAK kita tinggalkan isu makroekonomi yang sedang mengintai perekonomian dunia. Dari dalam negeri, isu kenaikan harga gula juga patut mendapat perhatian. Pasalnya, berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), harga rata-rata gula secara nasional per Jumat (28/2/2020) sudah mencapai Rp14.900 per kg. Angka tersebut naik Rp300 dari Senin pekan lalu (17/2/2020) yang sebesar 14.600 per kg.

Harga gula di pasaran ini mengalami kenaikan hingga 19,2% jika dibandingkan harga acuan penjualan (ceiling price) di tingkat konsumen dengan besaran Rp12.500/kg sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen.

Dari Teori hingga Bukti Empiris

Lantas, apa yang menyebabkan harga gula semakin melambung tinggi? Tentu saja kita dapat menganalisanya dengan menggunakan analisis teori supply-demand . Pada prinsipnya, jika terjadi suatu kenaikan harga barang dan jasa, lebih banyak disebabkan oleh adanya gangguan pada sisi suplai yang tidak mampu mengimbangi sisi permintaan.

Akibatnya, barang dan jasa tersebut seolah mengalami kelangkaan. Buntut pan­jang­nya, harga barang dan jasa ter­sebut akan terkerek naik lebih tinggi dari harga keseimbangan sebelumnya. Untuk mem­bukt­ikan teori ini, mari kita lihat bagaimana teori ini bekerja untuk kasus gula di Indonesia.

Permintaan gula masyarakat dapat diukur dengan indikator konsumsi gula masyarakat Indonesia. Sebagaimana dikutip dari Proyeksi Produksi, Konsumsi dan Neraca Gula Indonesia 2017-2021 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian, menunjukkan bahwa konsumsi gula domestik tahun 2018 mencapai 5.01 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri hanya mampu menghasilkan sebesar 2.4 juta ton. Dengan hitungan ini, defisit neraca gula mencapai 2.6 juta ton.

Sebelumnya, tahun 2017 diproyeksi mencapai 5,07 juta ton sementara produksi hanya 2,47 juta ton. Alhasil, neraca gula mengalami defisit 2,6 juta ton. Lebih lanjut, konsumsi gula diproyeksikan akan terus meningkat menjadi 5,26 juta ton pada 2021 sementara produksi hanya mencapai 2,48 juta ton, sehingga terjadi defisit 2,78 juta ton.

Akibatnya, harga gula melambung tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), harga rata-rata nasional untuk gula kristal putih di Indonesia mencapai Rp12.386 per kg pada 2018, hampir tiga kali lipat dari harga dunia, yaitu sebesar Rp4.591,48 pada periode yang sama (International Sugar Organization, 2018).

Teori klasik tersebut memang sangat ampuh untuk menjelaskan fenomena yang terjadi. Tahun ini, lagi-lagi masalah melambungnya harga gula disebabkan karena kurangnya pasokan gula di pasar. Berdasarkan informasi yang dihimpun, pihak Kementerian Perdagangan memang mengakui bahwa hingga saat ini sisi suplai masih menghadapi kendala lantaran musim giling belum dimulai. Musim giling sendiri diperkirakan baru akan dilakukan pada akhir Mei 2020, di mana hasil produksinya baru akan masuk ke pasar Juli 2020.

Buntut panjang dari harga tinggi tentu berdampak pada konsumen maupun industri makanan dan minuman. Sejumlah pabrik makanan dan minuman geger sejak awal 2020 lantaran stok gula yang menipis dan membuat beberapa pabrik harus berhenti beroperasi, sementara karena kehabisan bahan baku pemanis.

Sebagaimana penjelasan di atas, salah satu masalah yang menyebabkan harga gula melambung tinggi adalah produksi gula dalam negeri belum mampu menyokong kebutuhan gula Tanah Air. Berdasarkan data dari United States Department of Agriculture (USDA) 2018, produktivitas perkebunan tebu di Indonesia hanya mencapai 68,29 ton per hektare pada 2017.

Menengok Kebijakan Impor

Guna mengatasi kurangnya pasokan gula domestik, pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 117/2015 telah memberlakukan kebijakan impor untuk menstabilkan harga gula (Pasal 4). Lebih lanjut, Pasal 3 dari peraturan tersebut menetapkan bahwa kuantitas gula impor ditentukan melalui rapat koordinasi menteri. Kemudian Pasal 5 (2) menyatakan bahwa lisensi impor gula hanya diperuntukkan bagi badan usaha milik negara (BUMN) yang memiliki Angka Pengenal Importir Umum (API-U).

Sayangnya, menurut hemat penulis, peraturan ini membuat mekanisme impor berjalan tidak efektif. Hal ini dikarenakan ruang bagi pemerintah untuk mengintervensi pasar terlalu besar. Misalnya, di dalam peraturan ini pemerintah terlalu mengambil alih kebijakan untuk mengontrol kuantitas gula yang diimpor.

Cara yang digunakan untuk membatasi impor dapat ditempuh melalui sistem kuota maupun dengan meminimalkan peran sektor swasta dalam kegiatan impor gula. Dengan besarnya porsi intervensi pemerintah untuk mengatur impor justru berakibat tingkat persaingan dalam memperoleh lisensi impor menjadi tidak kompetitif. Bahkan, perizinan impor gula konsumsi yang diberikan pemerintah acap tertahan di Kementerian Perdagangan.

Misalnya tahun ini keputusan impor gula untuk konsumsi rumah tangga diambil dalam rapat koordinasi pada September 2019 masih belum mendapatkan tindak lanjut hingga pertengahan Februari kemarin alih-alih melakukan diversifikasi pasokan impor. Alhasil, biasanya pemberian lisensi impor dari pemerintah kepada pihak swasta sering diberikan ketika industri gula dalam negeri su­dah memasuki masa panen se­hingga para importir ini kerap menjadi bulan-bulanan petani tebu dalam negeri (CIPS, 2018).

Rekomendasi Kebijakan

Untuk mengatasi persoalan tersebut, penulis akan mencoba memberikan beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat diambil. Pertama, dalam pemerintah harus segera mederegulasi perizinan impor. Caranya dengan membuka keran perizinan impor kepada para importir swasta yang memenuhi syarat. Namun, pemerintah juga harus memperhatikan betul rule of the game guna mencegah terjadinya praktik kartel dan permainan yang tidak sehat oleh para importir swasta.

Selain itu, pemerintah juga harus secara transparan dan terbuka untuk memberikan informasi publik mengenai prosedur dan proses dalam mendapatkan lisensi impor ini. Dengan membuka akses pasar kepada pemain swasta maka tingkat persaingan dalam memperoleh lisensi impor menjadi lebih kompetitif dan lebih terbuka.

Memang kebijakan impor ini bukan kebijakan populis untuk membesarkan hati para petani tebu. Ibarat meminum obat, kebijakan akan terasa pahit di awal akan tetapi jika dilakukan dengan benar kebijakan ini akan mampu menekan deadweight loss konsumen di pasar. Dengan kondisi defisit produksi gula dalam negeri yang selalu menganga, maka impor adalah salah satu cara paling efektif untuk mencegah melambung­nya harga gula di pasaran.

Kedua, meningkatkan produktivitas pertanian tebu dan revitalisasi pabrik gula. Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas adalah dengan meningkatkan teknologi. Karena itu, dalam jangka menengah maka pemerintah perlu memberikan insentif berupa alat-alat produksi yang lebih canggih guna melakukan efisiensi dan meningkatkan hasil petani tebu.

Kemudian, dari sisi pabrikan gula, pihak swasta pabrikan gula dapat melakukan upgrade teknologi yang mereka gunakan untuk mengolah tebu tadi menjadi gula yang lebih efisien. Misalnya, dengan memperbarui kapital berupa mesin-mesin yang lebih canggih guna meningkatkan output yang dihasilkan.

Ketiga, ada satu hal yang lebih penting selain meningkatkan teknologi, yaitu modernisasi sumber daya manusia (pekerja pabrik dan petani tebu). Dengan mel­ak­ukan modernisasi sumber daya manusia tersebut kemajuan teknologi akan meresap ke dalam diri (embodied technology) dan mendorong peningkatan efisiensi.

Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan insentif berupa pelatihan dan juga pendidikan untuk melakukan pengembangan cara produksi dan juga bertani. Dengan demikian, produktivitas pekerja di pabrik gula dan hasil panen petani tebu tadi akan meningkat seiring dengan meningkatnya kemajuan teknologi. Upaya ini memer­lu­kan waktu yang cukup lama. Karenanya, diperlukan political will dari pemerintah untuk memperbaiki produktivitas gula dalam negeri.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3881 seconds (0.1#10.140)