Peran KPU dan Bawaslu di Pilwagub DKI
A
A
A
Achmad Fachrudin
Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia DKI Jakarta
ADA hal menarik yang agaknya luput dari perhatian publik dalam proses Pemilihan Wakil Gubernur (Pilwagub) DKI Jakarta yang lowong sejak 9 Agustus 2018 setelah ditinggalkan Wagub Sandiaga Salahuddin Uno karena maju menjadi calon wakil presiden di Pemilihan Presiden 2019.
Pertama, mendiskusikan peran dan fungsi penyelenggara pemilu (KPU DKI dan Bawaslu DKI). Apakah secara peraturan perundangan KPU dan Bawaslu DKI tidak mempunyai fungsi dan peran sama sekali dalam proses Pilwagub DKI 2020? Dalam perspektif perundangan, pada Pilwagub DKI 2020 terjadi ambiguitas sebab di satu sisi, Pilgub DKI Jakarta 2017 yang ketika itu Sandiaga berpasangan dengan Anies Baswedan dilakukan secara langsung. Dasar hukumnya mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU. Serta, UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
Di sisi lain, untuk mengisi kursi kosong wagub DKI yang ditinggalkan Sandiaga menggunakan UU sama, yakni UU Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 176, namun dilakukan secara tidak langsung melalui DPRD DKI. Persisnya Pasal 176 dari UU itu berbunyi, "jika wagub berhenti karena permintaan sendiri, pengisian kursi wagub dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD provinsi". Selanjutnya, pada ayat (2) dari UU Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan, "partai politik atau gabungan partai politik pengusung mengusulkan dua orang calon wagub ke DPRD melalui gubernur untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD".
Dengan ada Pasal 176 dari UU Nomor 10 Tahun 2016, pihak DPRD DKI menafsirkan Pilwagub DKI sepenuhnya menjadi domainnya. Sama sekali tidak ada peran dan fungsi KPU dan Bawaslu DKI. Padahal, UU Nomor 10 Tahun 2016 mengatur dengan jelas mengenai tugas KPU provinsi sebagai penyelenggara seluruh tahapan pemilihan dan Bawaslu provinsi sebagai pengawas atas pelaksanaan seluruh tahapan pemilu.
Dampak Negatif
Akibat seluruh proses Pilwagub DKI 2020 menjadi domain sepenuhnya DPRD DKI, terjadi dampak negatif meskipun dipastikan dampak positifnya juga ada. Di antara dampak negatifnya adalah proses pemilihan tidak berlangsung mulus, alias molor lebih dari satu setengah tahun dengan alasan rapat dengan agenda pembahasan Pilwagub DKI selalu tidak mencapai kuorum. Padahal, dua nama bakal cawagub (Agung Yulianto dan Ahmad Syaikhu) sudah diserahkan ke DPRD DKI sejak Maret 2019.
Mencermati bertele-telenya pengisian cawagub DKI, mendorong Michael, seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Michael mengajukan permohonan pengujian Pasal 176 UU Nomor 10 Tahun 2016. Dalam alasan permohonan, Michael memaparkan penunjukan wakil kepala daerah oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol pengusung memakan waktu lebih lama daripada pemilu. Pemohon menyebut jabatan wagub DKI kosong sejak 27 Agustus 2018 atau selama satu tahun delapan bulan. Sebagian warga menuding, bertele-telenya Pilwagub DKI merugikan warga Jakarta. Telah mengakibatkan Gubernur DKI Anies dibiarkan memimpin sendirian. Padahal, problem Jakarta demikian banyak dan kompleks.
Potensi Kerawanan
Kini bisa dikatakan proses Pilwagub DKI sudah tidak ada lagi hambatan yuridis, politis, psikologis, dan sebagainya. Semua wakil-wakil rakyat di Kebon Sirih sudah sepakat bulat untuk menggelar Pilwagub DKI. Hal ini tidak terlepas sebagai dampak dari terjadi kesepakatan Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bernomor 18/B/Gerindra-PKS/I/2020.
Dalam nota kesepakatan tersebut, dua partai politik tersebut sepakat mengusulkan Ahmad Riza Patria dari Gerindra, dan Nurmasyah Lubis dari PKS kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Selanjutnya, dua nama tersebut akan dikirimkan ke DPRD DKI untuk dilakukan pemilihan dalam suatu rapat paripurna dengan mekanisme pemungutan suara (voting ) secara tertutup.
Apakah semua proses Pilwagub DKI bisa dijamin 100% akan berlangsung sebagaimana yang diharapkan? Jika belajar dari pengalaman pemilihan kepala daerah secara langsung maupun tidak langsung (melalui DPRD), acapkali terjadi potensi kerawanan, baik yang terkait dengan tahapan maupun nontahapan pemilihan.
Khusus nontahapan, problemnya jauh lebih kompleks. Di antaranya potensi pelibatan atau keterlibatan aparatur sipil negara (ASN)/TNI/Polri, maraknya hoaks dan ujaran kebencian, konflik horizontal, dan sebagainya. Hal ini menjadi tugas khusus dari Bawaslu provinsi dalam melakukan pencegahan.
Potensi kerawanan lainnya, sebagaimana disinyalir oleh Menko Polhukam Mahfud MD, adalah terkait dengan politik uang (money politics ). Bedanya antara di Era Reformasi dengan Orde Baru, lebih pada subjek hukumnya. Menurut Mahfud, jika praktik money politics pada pilkada di era Orde Baru berlangsung di DPRD, saat ini berpindah ke pimpinan parpol.
Problem Kewenangan
Dengan asumsi setiap perhelatan pemilihan kepala daerah mempunyai potensi kerawanan yang harus dipetakan, diantisipasi, dan bahkan harus dilakukan penegakan hukum manakala terjadi pelanggaran, maka pertanyaannya terkait dengan proses Pilwagub DKI, institusi mana yang mempunyai tugas dan wewenang melakukan fungsi dan peran tersebut? Secara yuridis, baik mengacu pada UU Nomor 10 Tahun 2016 maupun UU Nomor 7 Tahun 2017, mestinya hal ini menjadi tugas dan wewenang Bawaslu DKI. Sebab, Pilwagub DKI ini masih satu rangkaian dengan proses Pilgub DKI 2017 di mana Bawaslu DKI dan KPU DKI berperan penting di dalamnya.
Hanya, tafsir seperti ini tampaknya tidak bisa diberlakukan dalam proses Pilwagub DKI 2020. Buktinya, sejauh ini KPU/Bawaslu RI/ DKI tidak melakukan tugas dan fungsi apa pun terkait dengan proses Pilwagub DKI. Satu di antara alasannya, sangat mungkin karena beranggapan tidak ada kewenangan konstitusional untuk merealisasikan fungsi tersebut karena pemilihan dilakukan oleh DPRD DKI. Mengacu pada UU Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 176, kewenangan pelaksanaan dan pengawasan pilwagub ditafsirkan diambil sepenuhnya oleh DPRD DKI.
Dengan kata lain, jika terjadi masalah terkait dengan proses pemilihan, maka menjadi tanggung jawab sepenuhnya DPRD DKI. Sementara sebagian rakyat Jakarta sendiri sepertinya permisif dengan proses politik yang tengah terjadi di DPRD DKI. Akibatnya, proses Pilwagub DKI 2020 ini menjadi sangat elitis: seolah-olah hanya menjadi urusan pimpinan parpol dan DPRD DKI. Realitas politik ini sekaligus menganulir dan merampas kedaulatan rakyat sebelumnya di mana Pilgub DKI 2017 dilakukan secara langsung.
Manakala terjadi problem serius dalam proses Pilwagub DKI, apalagi hingga menggugat secara hukum terhadap proses atau hasilnya karena dianggap tidak sesuai dengan peraturan perundangan, apakah kemudian masalah atau gugatannya hanya bisa diajukan kepada DPRD DKI dan institusi ini pula yang berhak sepenuhnya memproses dan mengambil keputusan disebabkan DPRD DKI yang mempunyai gawe kegiatan penting ini?
Atau, bisa ke instansi lain, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, kejaksaan, PTUN, atau instansi lainnya yang dianggap berwenang? Sangat mungkin, instansi tersebut akan lepas tangan karena menganggap tidak memiliki legal standing untuk menangani kasus ini. Sementara berharap kepada Bawaslu (DKI) untuk menerima dan memproses gugatan hukum, tidak mungkin dilakukan. Sebab, Bawaslu sejak proses Pilwagub DKI bergulir di DPRD DKI memilih sikap tidak memainkan fungsi dan wewenangnya karena menganggap Pilwagub DKI menjadi domain sepenuhnya partai politik dan DPRD DKI.
Jika proses Pilwagub DKI ini menjadi domain dari tanggung jawab Bawaslu DKI dalam melakukan pengawasan, pencegahan, dan penegakan potensi pelanggaran, tentu sejak dari awal ketika proses Pilwagub DKI bergulir, sudah dilakukan fungsi tersebut. Jika Bawaslu dan KPU DKI berperan, hampir bisa dipastikan tidak mungkin jadwal Pilwagub DKI molor hingga lebih dari satu tahun.
Pada akhirnya, rakyat Jakarta hanya berharap dan berdoa, semoga proses Pilwagub DKI 2020 melalui DPRD DKI berjalan dengan konstitusional, demokratis, lancar, aman dan damai, serta menghasilkan wagub DKI yang bisa menjadi mitra berkualitas bagi Gubernur DKI Anies Baswedan. Siapa pun yang terpilih menjadi wagub DKI, semua fraksi di DPRD DKI harus dapat menerimanya dengan legawa.
Memang agak menjadi problematis dan krusial manakala proses Pilwagub DKI terjadi masalah serius dan pelanggaran, dan apalagi bergulir gugatan hukum dari pihak yang tidak puas dengan hasilnya. Sementara peranti hukum yang ada terjadi kekosongan hukum, khususnya terkait institusi mana yang berwenang dalam menanganinya. Jika hal ini dianggap terjadi kekosongan hukum, tentu DPR, KPU, dan Bawaslu serta stakeholders pemilihan lainnya layak mendiskusikan dan mencarikan solusinya.
Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia DKI Jakarta
ADA hal menarik yang agaknya luput dari perhatian publik dalam proses Pemilihan Wakil Gubernur (Pilwagub) DKI Jakarta yang lowong sejak 9 Agustus 2018 setelah ditinggalkan Wagub Sandiaga Salahuddin Uno karena maju menjadi calon wakil presiden di Pemilihan Presiden 2019.
Pertama, mendiskusikan peran dan fungsi penyelenggara pemilu (KPU DKI dan Bawaslu DKI). Apakah secara peraturan perundangan KPU dan Bawaslu DKI tidak mempunyai fungsi dan peran sama sekali dalam proses Pilwagub DKI 2020? Dalam perspektif perundangan, pada Pilwagub DKI 2020 terjadi ambiguitas sebab di satu sisi, Pilgub DKI Jakarta 2017 yang ketika itu Sandiaga berpasangan dengan Anies Baswedan dilakukan secara langsung. Dasar hukumnya mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU. Serta, UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
Di sisi lain, untuk mengisi kursi kosong wagub DKI yang ditinggalkan Sandiaga menggunakan UU sama, yakni UU Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 176, namun dilakukan secara tidak langsung melalui DPRD DKI. Persisnya Pasal 176 dari UU itu berbunyi, "jika wagub berhenti karena permintaan sendiri, pengisian kursi wagub dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD provinsi". Selanjutnya, pada ayat (2) dari UU Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan, "partai politik atau gabungan partai politik pengusung mengusulkan dua orang calon wagub ke DPRD melalui gubernur untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD".
Dengan ada Pasal 176 dari UU Nomor 10 Tahun 2016, pihak DPRD DKI menafsirkan Pilwagub DKI sepenuhnya menjadi domainnya. Sama sekali tidak ada peran dan fungsi KPU dan Bawaslu DKI. Padahal, UU Nomor 10 Tahun 2016 mengatur dengan jelas mengenai tugas KPU provinsi sebagai penyelenggara seluruh tahapan pemilihan dan Bawaslu provinsi sebagai pengawas atas pelaksanaan seluruh tahapan pemilu.
Dampak Negatif
Akibat seluruh proses Pilwagub DKI 2020 menjadi domain sepenuhnya DPRD DKI, terjadi dampak negatif meskipun dipastikan dampak positifnya juga ada. Di antara dampak negatifnya adalah proses pemilihan tidak berlangsung mulus, alias molor lebih dari satu setengah tahun dengan alasan rapat dengan agenda pembahasan Pilwagub DKI selalu tidak mencapai kuorum. Padahal, dua nama bakal cawagub (Agung Yulianto dan Ahmad Syaikhu) sudah diserahkan ke DPRD DKI sejak Maret 2019.
Mencermati bertele-telenya pengisian cawagub DKI, mendorong Michael, seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Michael mengajukan permohonan pengujian Pasal 176 UU Nomor 10 Tahun 2016. Dalam alasan permohonan, Michael memaparkan penunjukan wakil kepala daerah oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol pengusung memakan waktu lebih lama daripada pemilu. Pemohon menyebut jabatan wagub DKI kosong sejak 27 Agustus 2018 atau selama satu tahun delapan bulan. Sebagian warga menuding, bertele-telenya Pilwagub DKI merugikan warga Jakarta. Telah mengakibatkan Gubernur DKI Anies dibiarkan memimpin sendirian. Padahal, problem Jakarta demikian banyak dan kompleks.
Potensi Kerawanan
Kini bisa dikatakan proses Pilwagub DKI sudah tidak ada lagi hambatan yuridis, politis, psikologis, dan sebagainya. Semua wakil-wakil rakyat di Kebon Sirih sudah sepakat bulat untuk menggelar Pilwagub DKI. Hal ini tidak terlepas sebagai dampak dari terjadi kesepakatan Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bernomor 18/B/Gerindra-PKS/I/2020.
Dalam nota kesepakatan tersebut, dua partai politik tersebut sepakat mengusulkan Ahmad Riza Patria dari Gerindra, dan Nurmasyah Lubis dari PKS kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Selanjutnya, dua nama tersebut akan dikirimkan ke DPRD DKI untuk dilakukan pemilihan dalam suatu rapat paripurna dengan mekanisme pemungutan suara (voting ) secara tertutup.
Apakah semua proses Pilwagub DKI bisa dijamin 100% akan berlangsung sebagaimana yang diharapkan? Jika belajar dari pengalaman pemilihan kepala daerah secara langsung maupun tidak langsung (melalui DPRD), acapkali terjadi potensi kerawanan, baik yang terkait dengan tahapan maupun nontahapan pemilihan.
Khusus nontahapan, problemnya jauh lebih kompleks. Di antaranya potensi pelibatan atau keterlibatan aparatur sipil negara (ASN)/TNI/Polri, maraknya hoaks dan ujaran kebencian, konflik horizontal, dan sebagainya. Hal ini menjadi tugas khusus dari Bawaslu provinsi dalam melakukan pencegahan.
Potensi kerawanan lainnya, sebagaimana disinyalir oleh Menko Polhukam Mahfud MD, adalah terkait dengan politik uang (money politics ). Bedanya antara di Era Reformasi dengan Orde Baru, lebih pada subjek hukumnya. Menurut Mahfud, jika praktik money politics pada pilkada di era Orde Baru berlangsung di DPRD, saat ini berpindah ke pimpinan parpol.
Problem Kewenangan
Dengan asumsi setiap perhelatan pemilihan kepala daerah mempunyai potensi kerawanan yang harus dipetakan, diantisipasi, dan bahkan harus dilakukan penegakan hukum manakala terjadi pelanggaran, maka pertanyaannya terkait dengan proses Pilwagub DKI, institusi mana yang mempunyai tugas dan wewenang melakukan fungsi dan peran tersebut? Secara yuridis, baik mengacu pada UU Nomor 10 Tahun 2016 maupun UU Nomor 7 Tahun 2017, mestinya hal ini menjadi tugas dan wewenang Bawaslu DKI. Sebab, Pilwagub DKI ini masih satu rangkaian dengan proses Pilgub DKI 2017 di mana Bawaslu DKI dan KPU DKI berperan penting di dalamnya.
Hanya, tafsir seperti ini tampaknya tidak bisa diberlakukan dalam proses Pilwagub DKI 2020. Buktinya, sejauh ini KPU/Bawaslu RI/ DKI tidak melakukan tugas dan fungsi apa pun terkait dengan proses Pilwagub DKI. Satu di antara alasannya, sangat mungkin karena beranggapan tidak ada kewenangan konstitusional untuk merealisasikan fungsi tersebut karena pemilihan dilakukan oleh DPRD DKI. Mengacu pada UU Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 176, kewenangan pelaksanaan dan pengawasan pilwagub ditafsirkan diambil sepenuhnya oleh DPRD DKI.
Dengan kata lain, jika terjadi masalah terkait dengan proses pemilihan, maka menjadi tanggung jawab sepenuhnya DPRD DKI. Sementara sebagian rakyat Jakarta sendiri sepertinya permisif dengan proses politik yang tengah terjadi di DPRD DKI. Akibatnya, proses Pilwagub DKI 2020 ini menjadi sangat elitis: seolah-olah hanya menjadi urusan pimpinan parpol dan DPRD DKI. Realitas politik ini sekaligus menganulir dan merampas kedaulatan rakyat sebelumnya di mana Pilgub DKI 2017 dilakukan secara langsung.
Manakala terjadi problem serius dalam proses Pilwagub DKI, apalagi hingga menggugat secara hukum terhadap proses atau hasilnya karena dianggap tidak sesuai dengan peraturan perundangan, apakah kemudian masalah atau gugatannya hanya bisa diajukan kepada DPRD DKI dan institusi ini pula yang berhak sepenuhnya memproses dan mengambil keputusan disebabkan DPRD DKI yang mempunyai gawe kegiatan penting ini?
Atau, bisa ke instansi lain, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, kejaksaan, PTUN, atau instansi lainnya yang dianggap berwenang? Sangat mungkin, instansi tersebut akan lepas tangan karena menganggap tidak memiliki legal standing untuk menangani kasus ini. Sementara berharap kepada Bawaslu (DKI) untuk menerima dan memproses gugatan hukum, tidak mungkin dilakukan. Sebab, Bawaslu sejak proses Pilwagub DKI bergulir di DPRD DKI memilih sikap tidak memainkan fungsi dan wewenangnya karena menganggap Pilwagub DKI menjadi domain sepenuhnya partai politik dan DPRD DKI.
Jika proses Pilwagub DKI ini menjadi domain dari tanggung jawab Bawaslu DKI dalam melakukan pengawasan, pencegahan, dan penegakan potensi pelanggaran, tentu sejak dari awal ketika proses Pilwagub DKI bergulir, sudah dilakukan fungsi tersebut. Jika Bawaslu dan KPU DKI berperan, hampir bisa dipastikan tidak mungkin jadwal Pilwagub DKI molor hingga lebih dari satu tahun.
Pada akhirnya, rakyat Jakarta hanya berharap dan berdoa, semoga proses Pilwagub DKI 2020 melalui DPRD DKI berjalan dengan konstitusional, demokratis, lancar, aman dan damai, serta menghasilkan wagub DKI yang bisa menjadi mitra berkualitas bagi Gubernur DKI Anies Baswedan. Siapa pun yang terpilih menjadi wagub DKI, semua fraksi di DPRD DKI harus dapat menerimanya dengan legawa.
Memang agak menjadi problematis dan krusial manakala proses Pilwagub DKI terjadi masalah serius dan pelanggaran, dan apalagi bergulir gugatan hukum dari pihak yang tidak puas dengan hasilnya. Sementara peranti hukum yang ada terjadi kekosongan hukum, khususnya terkait institusi mana yang berwenang dalam menanganinya. Jika hal ini dianggap terjadi kekosongan hukum, tentu DPR, KPU, dan Bawaslu serta stakeholders pemilihan lainnya layak mendiskusikan dan mencarikan solusinya.
(cip)