Menyoal Manajemen Risiko di Sekolah

Kamis, 27 Februari 2020 - 08:16 WIB
Menyoal Manajemen Risiko di Sekolah
Menyoal Manajemen Risiko di Sekolah
A A A
Saiful Maarif
Pegiat Literasi, Bekerja pada Ditjen Pendidikan Islam Kemenag

INSIDEN maut susur sungai yang menewaskan 10 siswa (sindonews.com , 21/2/2020) sungguh memilukan. Para siswa yang semestinya mendapatkan ilmu, pengetahuan, dan keterampilan dalam pramuka malah mengalami nasib nahas. Momen ceria dan riang gembira bagi para siswa seketika berubah jadi bencana yang begitu menyedihkan. Jelas, diperlukan pemahaman dan pelaksanaan manajemen risiko yang memadai dari semua pihak terkait agar kejadian serupa tidak terulang.

Risiko dipahami sebagai akibat buruk dari sebuah kejadian atau rencana. Karena sifat risiko yang tidak pasti, risiko berkecenderungan mengakibatkan kerugian. Risiko tentu tidak bisa diatur-atur karena di luar kemampuan manusia, namun meminimalkan konteks, dampak, dan skala risiko, tetap bisa dilakukan. Dalam kasus susur sungai itu, upaya untuk menjangka risiko itu tidak tampak.

Padahal salah satu unsur dari ketidakpastian itu adalah alam. Alam sering kali tidak memberi tanda-tanda yang cukup mampu ditangkap indera manusia tentang bencana yang akan terjadi. Namun, manusia diberi peluang untuk belajar dari peristiwa yang telah terjadi sebelumnya dengan mewujudkannya dalam bentuk manajemen risiko. Dengan manajemen risiko, potensi kerugian materiil dan nonmateriil setidaknya bisa dikurangi.

Secara umum manajemen risiko dipahami sebagai upaya menghindari risiko. Upaya ini ditempuh dalam rangkaian kegiatan yang dimulai dari perencanaan hingga pelaksanaan kegiatan sekolah dengan mempertimbangkan berbagai kejadian atau situasi buruk yang mungkin terjadi sesuai tipikal kegiatan, lokasi, dan waktu.

Dengan pilihan kegiatan di luar sekolah yang melibatkan ratusan siswa, risiko membesar dengan kemungkinan kecelakaan dan kemungkinan lain. Tiadanya perencanaan kegiatan yang dimatangkan, manajemen risiko menjadikan kegiatan tersebut sepenuhnya mengandalkan nasib baik.

Kasus susur sungai ini seyogianya juga jangan berhenti sebatas ditetapkannya tersangka atau proses hukum yang akan dijalani. Kasus ini harus menjadi pelajaran berharga bersama. Pelajaran ini harus tumbuh dari kesadaran bahwa memang ada yang salah dalam kasus tersebut dan tidak perlu saling tunjuk hidung untuk mengakuinya. Dengan "menunggu" pihak berwenang menetapkan tersangka atas kasus itu, bisa jadi sesungguhnya tidak ada SOP (standard operating procedure ) yang menyertai kegiatan seperti ini.

Aktivitas secara masif dalam pramuka seperti susur sungai niscaya banyak ditemui di berbagai lembaga pendidikan lain. Pramuka memang menekankan kerja tim, di dalamnya cenderung terdapat banyak siswa dengan kolektivitas kebersamaan yang intens, sebutlah hiking misalnya. Artinya, tanpa berharap kejadian serupa terulang, tetap terbuka risiko terjadinya kembali peristiwa tersebut di tempat lain. Dibutuhkan pemahaman memadai mengenai tata kelola kegiatan sekolah yang berbasis manajemen risiko.

Minim Pemahaman Risiko

Kegiatan susur sungai yang berubah menjadi insiden maut tersebut merupakan kegiatan pramuka. Perangkat regulasi terkait hal ini adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 63 Tahun 2014 Tentang Pendidikan Kepramukaan Sebagai Ekstrakurikuler Wajib. Artinya, kegiatan pramuka harus dijalankan di sekolah pada jalur luar kurikulum.

Disebutkan dalam regulasi itu bahwa pramuka, sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib, dapat dijalankan di lingkungan sekolah (intramural) dan di luar sekolah (ekstramural). Kegiatan ini dimaksudkan sebagai upaya memperkuat proses pembentukan karakter bangsa yang berbudi pekerti luhur sesuai dengan nilai dan moral Pancasila.

Kegiatan ekstrakurikuler adalah program pendidikan yang alokasi waktunya tidak ditetapkan dalam kurikulum. Kegiatan ekstrakurikuler merupakan perangkat operasional (supplement dan complements ) kurikulum yang perlu disusun dan dituangkan dalam rencana kerja tahunan atau kalender pendidikan satuan pendidikan.

Kegiatan ekstrakurikuler diposisikan sebagai jembatan kebutuhan perkembangan peserta didik yang berbeda, seperti perbedaan antara rasa nilai moral, sikap, kemampuan, dan kreativitas. Melalui partisipasinya dalam kegiatan ekstrakurikuler, peserta didik bisa belajar dan mengembangkan kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dengan orang lain, serta menemukan dan mengembangkan potensinya.

Regulasi ini dimaksudkan sebagai rujukan normatif dan programatik semua unsur pemangku kepentingan pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten-kota, dan satuan pendidikan. Sebagai arahan dan pedoman pelaksanaan kegiatan, regulasi ini sudah mencakup banyak hal, mulai dari bagaimana kegiatan pramuka selayaknya dipersiapkan hingga bagaimana jambore bisa dilaksanakan secara on air (Jota) dan lewat internet (Joti).

Terlihat, pramuka berusaha maksimal untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan generasi milenial. Sayangnya, tidak satu pun afirmasi yang menyebut risiko di dalamnya. Dengan sendirinya, penting manajemen risiko kegiatan ekstrakurikuler yang ekstramular terabaikan.

Sebagai pedoman ekstrakurikuler wajib, regulasi ini sepatutnya mewarnai setiap rencana tahunan sekolah. Sekolah tentu saja memiliki kebebasan dan otonomi dalam mengembangkan kegiatan ekstrakurikuler, termasuk pramuka. Dengan rencana tahunan, pemangku kepentingan bisa mengukur konteks dan dampak kegiatan.

Namun demikian, absennya manajemen risiko dalam hierarki dan konten regulasi yang menjadi pedoman bersama tersebut menyebabkan sekolah ikut-ikutan abai dalam mengukur skala risiko. Akibatnya, bencana dan insiden yang mestinya bisa dihindari dengan kacamata bersama dan logika keselamatan tidak terhindarkan.

Sekolah tidak bisa hanya mendasarkan alasan pelaksanaan kegiatan sebagai kegiatan rutin yang sudah dijalankan bertahun-tahun dan menganggap tragedi hanyalah insiden. Alasan naif seperti ini sungguh tidak menghargai jatuhnya korban jiwa, luka, dan trauma pada siswa.

Kegiatan ekstrakurikuler siswa beragam sesuai kebutuhan dan keputusan sekolah. Di luar kegiatan pramuka, sangat mungkin sekolah mengembangkan kegiatan yang bersifat masif dan cenderung outing. Jika kegiatan pramuka, yang merupakan ekstrakurikuler wajib dengan dukungan hierarki regulasi yang lengkap, tetap saja tidak memiliki wawasan manajemen risiko, bagaimana dengan kegiatan ekstrakurikuler lainnya?

Dibutuhkan pemahaman dan edukasi lebih lanjut tentang manajemen risiko dalam berkegiatan di sekolah agar terhindar dari kejadian buruk yang berulang.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3662 seconds (0.1#10.140)