Membangun Infrastruktur Sosial

Sabtu, 15 Februari 2020 - 06:30 WIB
Membangun Infrastruktur Sosial
Membangun Infrastruktur Sosial
A A A
Asrudin Azwar
Peneliti, Pendiri The Asrudian Center


BELUM lama ini (7/2), Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengutarakan niatnya membangun terowongan bawah tanah untuk menghubungkan Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral yang lokasinya berseberangan. Hal itu dilakukan Jokowi guna mempererat hubungan silaturahmi antaragama, baik muslim maupun nonmuslim.

Meski Jokowi bermaksud baik dengan bangunan terowongan bawah tanahnya, kritik atas niatan tersebut tetap mengalir deras. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, misalnya, meminta Presiden Jokowi meninjau ulang rencana pembangunan terowongan yang disebut sebagai terowongan silaturahmi "Katedral-Istiqlal".

Abdul Mu’ti mempertanyakan nilai strategis dari pembuatan terowongan itu. Menurutnya, masyarakat saat ini tidak membutuhkan "silaturahmi" dalam bentuk fisik berupa terowongan, tetapi silaturahmi dalam bentuk "infrastruktur sosial". Infrastruktur sosial itu, kata Abdul Mu’ti, berupa keberpihakan pemerintah dalam membangun toleransi yang autentik dan hakiki, dan bukan toleransi basa-basi antara tiap-tiap penganut kepercayaan. Abdul Mu’ti meyakini apabila Indonesia berhasil membangun infrastruktur sosial itu maka sikap terbuka, toleran, dan saling menghormati antara pemeluk agama satu sama lain akan terwujud di Indonesia.

Secara substantif, kritik Abdul Mu’ti terhadap niatan Presiden Jokowi sudah pada tempatnya, sebab data lapangan memang mendukung kritik tersebut. Dan, sebagai solusinya tidak cukup hanya dengan membangun infrastruktur yang sifatnya simbolik. Oleh karena itu, ide membangun infrastruktur sosial Abdul Mu’ti ini akan saya elaborasi lebih jauh lagi sebagai masukan untuk pemerintahan Jokowi di periode kedua pemerintahannya.

Data Lapangan

Pada 8-17 September 2019 lalu, Lembaga Survei Indonesia (LSI) pernah meriset persoalan intoleransi terhadap 1.550 responden dengan margin error kurang lebih 2,5% dan tingkat kepercayaan 95%. Tema yang diangkat LSI, "Modal dan tantangan kebebasan sipil, intoleransi dan demokrasi di pemerintahan Jokowi periode kedua".

Dalam surveinya itu, LSI menemukan kasus intoleransi masyarakat pada periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi terbilang cukup tinggi. Ironisnya, belum ada upaya nyata dari pemerintahan Jokowi untuk memperbaiki intoleransi beragama dan berpolitik di Indonesia.

Padahal, data LSI menunjukkan bahwa terdapat 59,1% responden warga muslim yang keberatan jika warga nonmuslim menjadi presiden. Kemudian, 56,1% keberatan nonmuslim menjadi wakil presiden, 52% keberatan nonmuslim menjadi gubernur, dan 51,6% keberatan nonmuslim menjadi bupati/wali kota. Selain itu, data LSI juga menemukan 53% warga muslim keberatan jika orang nonmuslim membangun tempat peribadatan di sekitar tempat tinggalnya. Dan, hanya 36,8% yang tidak keberatan.

Temuan LSI ini didukung oleh hasil riset SETARA Institute akhir November 2019. SETARA memaparkan data yang mencengangkan terkait pelanggaran kebebasan beragama di 34 provinsi di Indonesia. Hasilnya, selama 12 tahun terakhir, wilayah Jawa Barat menjadi provinsi dengan pelanggaran kebebasan beragama terbanyak dengan 629 kasus. Sementara DKI Jakarta menempati urutan kedua sebanyak 291 kasus. Disusul Jawa Timur 270 kasus, Jawa Tengah 158 kasus, Aceh 121 kasus, Sulawesi Selatan 112 kasus, Sumatera Utara 106 kasus, Sumatera Barat 104 kasus, Banten 90 kasus, dan NTB 76 kasus.

SETARA menyebutkan faktor umum yang menyebabkan terjadinya intoleransi dalam persoalan kebebasan beragama, salah satunya yang paling menonjol adalah politik identitas, sedangkan faktor lainnya adalah aktor-aktor politik yang menanamkan kebencian primordial keagamaan pada konstituennya.

Infrastruktur Sosial


Data LSI dan SETARA Institut di atas semestinya dijadikan alarm oleh Jokowi di periode kedua pemerintahannya. Mengapa? Karena data-data itu menunjukkan kalau demokrasi belum sejalan dengan ide keragaman. Padahal, keragaman adalah sebuah ide yang tidak bisa dipisahkan dari demokrasi.

Menyikapi kondisi Tanah Air yang demikian, Jokowi perlu didorong untuk membangun infrastruktur sosial dengan memasarkan ide keragaman kepada publik luas dan solusi apa yang bisa dilakukan agar intoleransi bisa segera dihapuskan atau minimal diturunkan angkanya.

Sehubungan dengan ide keragaman, hemat saya, ada satu studi brilian yang bisa dipasarkan pemerintah kepada publik luas. Ide itu datang dari pakar biologi terkemuka asal Amerika Serikat, Susan Milius.

Dalam artikelnya yang berjudul Microscopic Menagerie (2013), Milius menunjukkan bahwa apa yang lazim orang pikirkan sebagai tubuh mereka sebenarnya mengandung tidak kurang dari 10 mikrobial untuk setiap satu manusia secara genetik. Berat mikroba di dalam diri seseorang mungkin hanya beberapa gram, tapi dalam pengertian keragaman genetik ada 400 gen mikroba dalam satu orang manusia. Sebagai makhluk multiseluler, manusia merupakan tempat tinggalnya berbagai mikroorganisme. Metabolisme kita juga dialirkan melalui nadi yang berasal dari beberapa mikroba. Mikroba merupakan bagian dari organisme itu sendiri atau dalam istilah Milius, metaorganisme.

Melalui studi Milius, kita bisa berpendapat bahwa mikrobial adalah kemanusiaan itu sendiri. Dengan begitu, melakukan intoleransi terhadap satu kelompok manusia adalah perbuatan yang tidak alami. Perbuatan itu ganjil mengingat tubuh manusia adalah gabungan dari kehidupan yang saling berkoeksistensi. Ia hanya bisa hidup dengan dukungan orang lain. Itu artinya, studi Milius ini sejalan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Selain itu, Presiden Jokowi juga memerlukan solusi konstruktif untuk bisa membangun infrastruktur sosial. Ada tiga hal yang bisa dilakukan (Denny JA, 2014). Pertama solusi jangka pendek, yaitu Presiden Jokowi harus berani menegakkan konstitusi dengan membatalkan semua peraturan daerah (perda) dan amendemen UUD 1945 yang isinya mendiskriminasi minoritas. Kedua solusi jangka menengah, yaitu dengan menguatkan aparat penegak hukum dalam melindungi keragaman. Ketiga solusi jangka panjang, yaitu dengan menguatkan kultur antiintoleransi melalui ruang civil society serta perlunya Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama membuat modul pembelajaran penguatan toleransi dan perdamaian di tingkat SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi.

Jika ide dan solusi tersebut diabaikan, saya khawatir suatu saat Indonesia tercebur ke dalam apa yang diistilahkan oleh ilmuwan politik dari Columbia University Jack Snyder sebagai Nasionalisme SARA. Nasionalisme SARA adalah nasionalisme yang legitimasinya didasarkan pada budaya, ras, agama, pengalaman sejarah, dan/atau mitos nenek moyang yang sama. Nasionalisme SARA itu umumnya digunakan untuk memasukkan atau mengeluarkan orang ke dalam dan dari kelompok nasional. Situasi seperti itu pernah menimpa Yugoslavia (antara suku Slovenia, Kroasia, Bosnia, Serbia, Montenegro, Makedonia) dan Rwanda (antara etnis Tutsi dan Hutu).

Untuk itu, membangun infrastruktur sosial yang seperti itu semestinya menjadi salah satu agenda utama Presiden Jokowi di periode kedua pemerintahannya, sebab Indonesia merupakan tempat bagi bermukimnya suku, agama, ras, dan antargolongan yang beragam. Tanpa itu, sekali lagi saya ingin mengingatkan Indonesia menjadi rawan tercebur konflik SARA. Tentu kita semua tidak menginginkan apa yang pernah dialami oleh Yugoslavia dan Rwanda, juga terjadi di negeri kita yang tercinta ini.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4610 seconds (0.1#10.140)