Percayalah Media Mainstream!

Sabtu, 08 Februari 2020 - 08:31 WIB
Percayalah Media Mainstream!
Percayalah Media Mainstream!
A A A
Abdul Hakim

Jurnalis KORAN SINDO/Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina

JUDUL di atas agak agitatif. Tapi begitulah tampaknya diksi yang cukup tepat untuk menggambarkan sekaligus mendorong kesadaran baru masyarakat Indonesia di tengah sengkarut banjir informasi saat ini. Kesadaran itu penting karena sejatinya telah terjadi perubahan arah kepercayaan publik terhadap media saat ini. Dalam perkembangannya, publik tak lagi terlalu percaya dengan media sosial. Gambaran ini berbeda dibandingkan empat hingga enam tahun lalu, di mana media sosial begitu merajai terpaan informasi. Saat ini publik mulai lebih percaya lagi dengan media arus utama(mainstream)seperti koran, televisi, radio, atau mediadaring.

Kembalinya dominasi mediamainstreamatas media sosial ini menarik karenadalam kurun satu dekade terakhir, peran dan pengaruh antara keduanya terhadap kepercayaan publik sempat saling menekan. Media sosial dengan fitur kemudahan akses dan kecepatan penyebaran informasinya mampu menggerus dominasi mediamainstream.

Seiring masifnya perkembangan media sosial sepertiblog,Twitter, BlackBerry Message, Facebook, WhatsApp, YouTube, Telegram,hinggaInstagram, posisi mediamainstreamkian terseok-seok. Puncaknya pada 2015, merujukEdelman Trust Barometer Reportdan sejumlah lembaga survei media, angka kepercayaan publik terhadap mediamainstreammencapai titik terendah.

Secara detail, data survei dari Edelman menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap mediamainstreamdi Indonesia pada 2010 mencapai 86%. Angka ini sangat tinggi, bahkan di tingkat global. Pada 2011, kepercayaan publik mulai menurun mencapai 80%.Di sisi lain, tingkat kepercayaan publik pada media sosial dan mesin pencari pada 2012 masih tergolong rendah yakni 53%, kemudian 2013 menurun jadi 50%. Setahun kemudian, persentase ini terus naik mencapai 53%. Tren kenaikan ini terus berlangsung pada 2015 yang mencapai puncaknya yakni 54%. Pada 2016, pengaruh ini terus terjaga di posisi 54%. Tren pelemahan pengaruh media sosial mulai terjadi pada 2017 yang berada di 53% dan pada 2018 di 51%. Data terbaru Edelman menunjukkan, kepercayaan pada 2019 di 54%.

Sementara itu, tingkat kepercayaan pada jurnalis atau mediamainstream(termasuk mediadaring) pada 2012 adalah 54%, turun pada 2013 menjadi 52%. Pada 2014, kepercayaan ini masih terjaga di atas pengaruh media sosial dan mesin pencari yakni mencapai 54%. Namun, kepercayaan publik ini anjlok tajam hingga 51% atau kalah dari media sosial pada 2015.

Baru pada 2016, kepercayaan atas mediamainstreamkembali pulih di angka 56% melampaui media sosial. Pada 2017, kepercayaan sedikit mengalami penurunan lagi yakni 54%, namun masih di atas media sosial atau mesin pencari. Pada 2018, angka kepercayaan publik terhadap mediamainstreamini melambung sangat tinggi di angka 59%, jauh mengalahkan media sosial yang di angka 51%. Pada 2019, kepercayaan publik mencapai titik tertinggi yakni 60%.

Keyakinan akan optimisnya masa depan mediamainstreamjuga tergambar dari survei tentang kepercayaan publik terhadap media di Indonesia yang dilakukan oleh Dewan Pers pada 2019. Dari survei yang dirilis akhir November itu, tampak bahwa kualitas penyajian data informasi menjadi basis penting meningkatnya kepercayaan tersebut. Dari survei itu terlihat, ada 65,2% responden berupaya selalu mengonfirmasi ulang informasi yang muncul di media sosial. Sebanyak 33,8% responden juga kadang-kadang berupaya melakukan langkah serupa. Dari data ini, tercatat hanya 1% responden yang tidak sama sekali berupaya mengecek ulang kebenaran informasi yang mereka terima. Untuk prosescrosscheckinformasi, media siber (online) menjadi rujukan paling utama yang mencapai 37,5%. Jika tak melalui media siber, penerima informasi juga berupaya memastikan kebenaran berita lewat siaran di televisi, termasuk mengakses via saluranstreaming. Persentasenya pun masih tinggi yakni 26,7%.

Surat kabar harian atau koran pun di antara yang menjadi pilihan untuk mengonfirmasi sebuah kebenaran isu atau informasi yang tengah berkembang di publik. Kepercayaan terhadap koran tergolong masih tinggi. Mereka yang cukup percaya mencapai 47,9%. Kemudian responden yang percaya (31,1%). Tercatat hanya 14,9% mereka yang kurang percaya terhadap informasi di koran. Kepercayaan yang tinggi juga tampak pada informasi di televisi. Mereka yang sangat percaya (7,5%), percaya (40,9%) dan cukup percaya (29,1%); sedangkan mereka yang kurang percaya informasi di televisi hanya 17,9%.

Gambaran tak jauh beda diplatformradio. Dari survei Dewan Pers, terlihat mereka yang cukup percaya pada informasi via audio ini mencapai 48,5% dan percaya (28,4%); sedangkan responden yang kurang percaya kisarannya 16,4%. Kepercayaan publik paling tinggi diraih media siber ataudaring. Mereka yang memilih opsi cukup percaya mencapai 50,5%, sedangkan responden yang percaya 18,9% dan kurang percaya (26,5%).

Lantas, mengapa media arus utama masih saja menarik bagi publik? Survei Dewan Pers menunjukkan bahwa mayoritas publik masih memiliki kepercayaan yang sangat tinggi terhadap data dan fakta yang disajikan oleh mediamainstream. Survei itu menunjukkan ada 61,1% responden yang memilih opsi ini. Selanjutnya, pilihan ketertarikan ke mediamainstreamkarena persoalan nama dan media tepercaya (21,2%) dan narasumber berita (13,6%).

Masih tingginya kepercayaan publik, khususnya terhadap media cetak, juga dikuatkan dalamsurveiNielsen Consumer & Media View padakuartal III/2017lalu. Survei-survei itu berkorelasi dengan temuan Richard Fletcher dan Sora Park (2017) yang mengemukakan bahwapublik yang memiliki tingkat kepercayaan rendah cenderung lebih suka sumber berita nonarus utama seperti media sosial,blog, dan penyedia kelahiran digital.

Di era banjir informasi kini, data terbukti memiliki peran utama. Tak sekadar data lapangan, keakuratan sebuah informasi harus dikuatkan melalui proses verifikasi yang tidak instan. Ceruk inilah yang hingga kini baru bisa dilakukan oleh mediamainstream. Ada beberapa karakteristik data mediamainstreamyang membuat publik masih begitu menaruh harapan besar akan nilai keakuratan kepercayaan.Pertama, lebih lengkap dan mendalam.Kedua, ada klarifikasi, konfirmasi, dan komparasi. Merujuk istilah Ketua Dewan Pers periode 2016–2019 Yosep Adi Prasetyo, pers Indonesia harus terus meneguhkan komitmennya menjadi “verifikator”.Ketiga, sifat data universal atau kepentingan umum. Ini berbeda dengan media sosial yang cenderung menguatkan data untuk kepentingan kelompok tertentu, mediamainstreamberupaya meminimalisasi aspek ini. Dalam pandangan Ashadi Siregar (2019),media harus mempertajam konten dari orientasi kepentingan pragmatis dan psikis atas dunia faktual dan objektif.Keempat, menjadikan data sebagai sumber referensi baru. Tren beberapa mediamainstreamsaat ini membuat terobosan dari sisi konten. Ini antara lain ditandai dengan perubahan mencolok pada sisi penguatan data, penyajian data yang lebih sederhana, dan serta visualisasi data secara atraktif.

Perlu Diperkukuh

Kurva kepercayaan publik yang kian berpihak ke mediamainstreamini tentu menjadi nilai yang sangat berharga. Fakta ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat Indonesia akan kebutuhan informasi yang valid telah meningkat. Di sisi lain, hal ini juga menggambarkan bahwa masyarakat telah memiliki literasi yang baik.

Pun demikian bagi pengelola media massa, meningkatnya kepercayaan publik ini adalah sebuah nilai lebih. Yang lebih penting, kekuatan data faktual yang menjadi basis naiknya kurva kepercayaan itu jangan henti ditempa sehingga publik merasa terus terpenuhi kebutuhan informasi yang benar-benar terverifikasi. Sekali awak redaksi lemah dalam proses verifikasi dan penyajian data pemberitaan, maka publik mudah untuk berpaling. Apalagi, perkembangan media sosial juga tak henti. Dengan kecanggihan fitur misalnya, platformmedia sosial akan berupaya menjawab kelemahan-kelemahan yang terjadi selama ini.

Pengelola mediamainstreamjuga tidak boleh antipati dengan media sosial. Di tengah banyaknya sisi negatif itu, media sosial masih menyimpan banyak keunggulan lain. Kelebihan itu antara lain dalam hal kecepatan, kemudahan akses, terpancar secara global, dan efektif membangun emosi publik.

Kehadiran media sosial adalah sebuah keniscayaan zaman yang tak mungkin ditahan oleh siapa pun. Mediamainstreambisa memanfaatkan fitur layaknya di media sosial atau berkolaborasi dengan media sosial dalam menyebarkan informasi. Bisa jadi ke depan, sebuah media massa akan menggandengWhatsAppatauTwitterdalam menyampaikan informasi yang sifatnya cepat. Langkah ini kemungkinan efektif untuk membendung informasi yang sumir atau hoaks.

Upaya memperkukuh konten mediamainstreamini pun membutuhkan kesadaran bersama. Awak redaksi bersama pemilik media perlu memiliki kesadaran dasar yang kuat bahwa bisnis media adalah bisnis informasi. Untuk itu, penguatan konten secara berkelanjutan adalah sebuah keharusan. Pada bisnis mediadaringmisalnya, tak sekadar mengejar jurnalismeclickbaitatau mengutamakangoogle friendlyyang cenderung mengorbankan sisi kualitas. Penekanan ini menjadi penting karena kerap membaiknya kepercayaan publik terhadap mediamainstreamini seolah tak berarti apa-apa. Apalagi jika pengelola media tak menyadari bahwa model bisnis menuntut berubah ketika datang teknologi baru. MengutipClayton M Christensen, sang pencetus teori gangguan (disruption), penyiapan sumber daya manusia yang luwes atau adaptif dengan teknologi ini lebih penting ketimbang teknologi baru itu sendiri.

Untuk itu, membaiknya kepercayaan publik ini sejatinya harus jadi momentum besar bagi pers Indonesia untuk bangkit membuat langkah-langkah penyelamatan dan kemudian mengukuhkan posisinya sebagai kekuatan bangsa. Banyak pihak telah menunggu tren pulihnya kepercayaan ini. Puncak peringatan Hari Pers Nasional 2020 yang dipusatkan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan hari ini, semoga menjadi forum berharga merumuskan peran dan fungsi pers Indonesia ke depan di tengah kemajuan teknologi digital saat ini.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5752 seconds (0.1#10.140)