Menakar 100 Hari Kinerja Menkes Terawan
A
A
A
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI
SALAH PILIH , sebuah judul novel karya Nur Sutan Iskandar (angkatan Balai Pustaka), patut disematkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat memilih Terawan Putranto sebagai Menteri Kesehatan (Menkes). Aspek kesalahpilihan Jokowi dalam memilih Terawan sebagai menkes bisa ditengarai dalam beberapa hal, baik dari sisi etik moral, profesionalitas, bahkan kapasitas.Dan, kini, setelah 100 hari kerja, fenomena itu makin kentara bahwa Terawan tidak mengantongi kapabilitas yang memadai untuk duduk di singgasana Kementerian Kesehatan. Ada beberapa catatan mengapa Menkes Terawan patut diberikan catatan khusus, yakni dari sisi etik moral sudah gamblang, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) telah meluncurkan surat kepada Terawan saat dirinya masih sebagai Direktur RSPAD Gatot Soebroto.Program cuci otak atau brain wash dinyatakan sebagai inovasi yang tidak relevan pada konteks kedokteran. Masih terkait dengan hal itu, saat wacana Terawan sebagai calon menteri kesehatan menguat, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PBIDI) juga telah melayangkan surat keberatan kepada Presiden Jokowi untuk mempertimbangkan kembali memilih Terawan sebagai menkes. Berbasis dari sanksi profesi yang diberikan oleh MKDKI dan atau surat rekomendasi dari PBIDI tersebut, secara etik moral, profesionalitas dan kapabilitas Terawan tak mempunyai kredibilitas dalam ranah komunitas kedokteran. Belum lagi yang bersangkutan tak mempunyai pengalaman akademis maupun interes dalam konteks kesehatan publik (public health ). Sebuah prasyarat mutlak untuk menjadi seorang menkes.
Atas dasar fenomena yang demikian, selama 100 hari pertama Menkes Terawan tampak tidak jelas visinya sebagai seorang menkes, baik saat memberikan pernyataan dan atau kebijakan yang akan ditelurkan. Misalnya, pertama, respons terhadap defisit finansial BPJS Kesehatan, yang sungguh absurd dan menggelikan, yakni mendonasikan gaji pertamanya sebagai menkes untuk menyelamatkan BPJS Kesehatan.Bagaimana tidak menggelikan jika aksi tersebut hanyalah menunjukkan ketidakmampuannya dalam menyelesaikan defisit BPJS Kesehatan. Apakah dengan mendonasikan gajinya kemudian persoalan defisit BPJS Kesehatan bisa teratasi? Apalagi, BPJS Kesehatan bukan lembaga sosial, yang boleh menerima sumbangan. Sebagai menkes seharusnya menelurkan kebijakan-kebijakan visioner untuk mengatasi BPJS Kesehatan. Dan, ironisnya, akhirnya menkes justru menyerah tak mampu mengatasi persoalan yang membelit BPJS Kesehatan. Pantas saja Menkes Terawan disemprot oleh Anggota Komisi IX DPR.
Kedua, dalam suatu diskusi, Menkes Terawan juga tidak menunjukkan "kenegarawanannya" sebagai menkes manakala menjawab bahaya rokok, yang menyatakan bahwa rokok tidak selalu menyebabkan penyakit kanker. Secara medis, apa yang dinyatakan Menkes Terawan memang benar.Namun, dalam kapasitasnya sebagai menkes, pernyataan tersebut tidak pantas keluar dari mulut seorang menkes. Pernyataan tersebut hanya pantas keluar dari seorang menteri perindustrian, yang acap kali memang menjadi corong industri rokok. Jangan-jangan visi Menkes Terawan telah disusupi oleh visi industri rokok? Hal senada juga terjadi manakala Menkes Terawan memberikan pernyataan virus korona, yang kini tengah menjadi sorotan dunia. Respons Terawan sungguh menggelikan bahwa untuk mengantisipasi serangan virus korona kita harus banyak berdoa. Lah , ini pernyataan seorang menkes atau seorang menteri agama?
Kini juga terbetik kabar, Menkes Terawan akan mendatangkan dokter dari China, yang akan ditempatkan di daerah pinggiran Indonesia seperti di Papua. Dari sisi praktis, langkah Terawan bisa dimengerti mengingat di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal; kebutuhan terhadap profesi dokter masih sangat signifikan, apalagi dokter spesialis.Namun, ironisnya, mayoritas dokter di Indonesia, apalagi dokter spesialis, enggan untuk ditempatkan di daerah-daerah tersebut. Faktor keamanan dan ekstremnya lokasi dan geografis menjadi salah satu alasannya. Tetapi, alasan utamanya adalah alasan ekonomi seorang dokter. Kita tahu, biaya sekolah/kuliah dokter sangatlah mahal.Jika ditempatkan di pinggiran Indonesia, kapan seorang dokter akan mengembalikan "investasinya"? Apalagi belum ada insentif yang memadai dari Kemenkes dan pemerintah daerah setempat untuk profesi dokter. Atas pertimbangan itu, langkah Menkes Terawan bisa dimaklumi. Namun, yang harus dipersoalkan adalah dokter yang diimpor dari China itu bukanlah dokter yang belum tersertifikasi, belum mengantongi izin praktik sebagai dokter.Pertanyaannya, mentang-mentang untuk daerah tertinggal terus begitu saja dipasok profesi dokter yang abal-abal? Apalagi, dokter dari China tersebut belum memahami geografis dan penyakit-penyakit endemis di Indonesia, misalnya, malaria, chikungunya, dll. Oleh karena itu, wacana Menkes Terawan untuk mengimpor dokter dari China harus dihentikan.Janganlah keselamatan pasien sebagai konsumen dijadikan objek uji coba dan dipertaruhkan. Yang harus dilakukan justru bagaimana Menkes Terawan membuat kebijakan yang komprehensif untuk mendorong agar profesi dokter di Indonesia mau dan mampu berpraktik di daerah-daerah pinggiran Indonesia. Benahi persoalan-persoalan hilir dan hulu bidang kedokteran di Indonesia. Bukan malah mencari jalan pintas yang berisiko tinggi karena mempertaruhkan keselamatan pasien.Dengan konfigurasi seperti itu, langkah terbaik bagi Menkes Terawan adalah jangan bersikap egois, apalagi jemawa. Menkes Terawan harus banyak mendengar, bukan hanya dari kalangan internal, tetapi juga eksternal, seperti akademisi, pakar, ataupun pemerhati kesehatan publik. Jika bersikap sebaliknya, apalagi bersikap arogan, akan semakin terbukti bahwa dirinya tidak cukup kapabel sebagai seorang menteri kesehatan.
Oleh karenanya, Presiden Jokowi harus memelototi kinerja Menkes Terawan secara seksama. Jangan dipertaruhkan masalah pengelolaan kesehatan publik di Indonesia, oleh seorang Menkes yang tidak mempunyai visi besar bagaimana menata dan menyelesaikan kompleksitas kesehatan di Indonesia: tingginya prevalensi penyakit tidak menular, tingginya prevalensi merokok, tingginya prevalensi stunting , dan seabrek-abrek persoalan di bidang kesehatan. Defisit BPJS Kesehatan hanyalah persoalan permukaan. Indonesia memerlukan seorang menteri kesehatan yang bervisi besar dan jangka panjang.
Ketua Pengurus Harian YLKI
SALAH PILIH , sebuah judul novel karya Nur Sutan Iskandar (angkatan Balai Pustaka), patut disematkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat memilih Terawan Putranto sebagai Menteri Kesehatan (Menkes). Aspek kesalahpilihan Jokowi dalam memilih Terawan sebagai menkes bisa ditengarai dalam beberapa hal, baik dari sisi etik moral, profesionalitas, bahkan kapasitas.Dan, kini, setelah 100 hari kerja, fenomena itu makin kentara bahwa Terawan tidak mengantongi kapabilitas yang memadai untuk duduk di singgasana Kementerian Kesehatan. Ada beberapa catatan mengapa Menkes Terawan patut diberikan catatan khusus, yakni dari sisi etik moral sudah gamblang, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) telah meluncurkan surat kepada Terawan saat dirinya masih sebagai Direktur RSPAD Gatot Soebroto.Program cuci otak atau brain wash dinyatakan sebagai inovasi yang tidak relevan pada konteks kedokteran. Masih terkait dengan hal itu, saat wacana Terawan sebagai calon menteri kesehatan menguat, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PBIDI) juga telah melayangkan surat keberatan kepada Presiden Jokowi untuk mempertimbangkan kembali memilih Terawan sebagai menkes. Berbasis dari sanksi profesi yang diberikan oleh MKDKI dan atau surat rekomendasi dari PBIDI tersebut, secara etik moral, profesionalitas dan kapabilitas Terawan tak mempunyai kredibilitas dalam ranah komunitas kedokteran. Belum lagi yang bersangkutan tak mempunyai pengalaman akademis maupun interes dalam konteks kesehatan publik (public health ). Sebuah prasyarat mutlak untuk menjadi seorang menkes.
Atas dasar fenomena yang demikian, selama 100 hari pertama Menkes Terawan tampak tidak jelas visinya sebagai seorang menkes, baik saat memberikan pernyataan dan atau kebijakan yang akan ditelurkan. Misalnya, pertama, respons terhadap defisit finansial BPJS Kesehatan, yang sungguh absurd dan menggelikan, yakni mendonasikan gaji pertamanya sebagai menkes untuk menyelamatkan BPJS Kesehatan.Bagaimana tidak menggelikan jika aksi tersebut hanyalah menunjukkan ketidakmampuannya dalam menyelesaikan defisit BPJS Kesehatan. Apakah dengan mendonasikan gajinya kemudian persoalan defisit BPJS Kesehatan bisa teratasi? Apalagi, BPJS Kesehatan bukan lembaga sosial, yang boleh menerima sumbangan. Sebagai menkes seharusnya menelurkan kebijakan-kebijakan visioner untuk mengatasi BPJS Kesehatan. Dan, ironisnya, akhirnya menkes justru menyerah tak mampu mengatasi persoalan yang membelit BPJS Kesehatan. Pantas saja Menkes Terawan disemprot oleh Anggota Komisi IX DPR.
Kedua, dalam suatu diskusi, Menkes Terawan juga tidak menunjukkan "kenegarawanannya" sebagai menkes manakala menjawab bahaya rokok, yang menyatakan bahwa rokok tidak selalu menyebabkan penyakit kanker. Secara medis, apa yang dinyatakan Menkes Terawan memang benar.Namun, dalam kapasitasnya sebagai menkes, pernyataan tersebut tidak pantas keluar dari mulut seorang menkes. Pernyataan tersebut hanya pantas keluar dari seorang menteri perindustrian, yang acap kali memang menjadi corong industri rokok. Jangan-jangan visi Menkes Terawan telah disusupi oleh visi industri rokok? Hal senada juga terjadi manakala Menkes Terawan memberikan pernyataan virus korona, yang kini tengah menjadi sorotan dunia. Respons Terawan sungguh menggelikan bahwa untuk mengantisipasi serangan virus korona kita harus banyak berdoa. Lah , ini pernyataan seorang menkes atau seorang menteri agama?
Kini juga terbetik kabar, Menkes Terawan akan mendatangkan dokter dari China, yang akan ditempatkan di daerah pinggiran Indonesia seperti di Papua. Dari sisi praktis, langkah Terawan bisa dimengerti mengingat di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal; kebutuhan terhadap profesi dokter masih sangat signifikan, apalagi dokter spesialis.Namun, ironisnya, mayoritas dokter di Indonesia, apalagi dokter spesialis, enggan untuk ditempatkan di daerah-daerah tersebut. Faktor keamanan dan ekstremnya lokasi dan geografis menjadi salah satu alasannya. Tetapi, alasan utamanya adalah alasan ekonomi seorang dokter. Kita tahu, biaya sekolah/kuliah dokter sangatlah mahal.Jika ditempatkan di pinggiran Indonesia, kapan seorang dokter akan mengembalikan "investasinya"? Apalagi belum ada insentif yang memadai dari Kemenkes dan pemerintah daerah setempat untuk profesi dokter. Atas pertimbangan itu, langkah Menkes Terawan bisa dimaklumi. Namun, yang harus dipersoalkan adalah dokter yang diimpor dari China itu bukanlah dokter yang belum tersertifikasi, belum mengantongi izin praktik sebagai dokter.Pertanyaannya, mentang-mentang untuk daerah tertinggal terus begitu saja dipasok profesi dokter yang abal-abal? Apalagi, dokter dari China tersebut belum memahami geografis dan penyakit-penyakit endemis di Indonesia, misalnya, malaria, chikungunya, dll. Oleh karena itu, wacana Menkes Terawan untuk mengimpor dokter dari China harus dihentikan.Janganlah keselamatan pasien sebagai konsumen dijadikan objek uji coba dan dipertaruhkan. Yang harus dilakukan justru bagaimana Menkes Terawan membuat kebijakan yang komprehensif untuk mendorong agar profesi dokter di Indonesia mau dan mampu berpraktik di daerah-daerah pinggiran Indonesia. Benahi persoalan-persoalan hilir dan hulu bidang kedokteran di Indonesia. Bukan malah mencari jalan pintas yang berisiko tinggi karena mempertaruhkan keselamatan pasien.Dengan konfigurasi seperti itu, langkah terbaik bagi Menkes Terawan adalah jangan bersikap egois, apalagi jemawa. Menkes Terawan harus banyak mendengar, bukan hanya dari kalangan internal, tetapi juga eksternal, seperti akademisi, pakar, ataupun pemerhati kesehatan publik. Jika bersikap sebaliknya, apalagi bersikap arogan, akan semakin terbukti bahwa dirinya tidak cukup kapabel sebagai seorang menteri kesehatan.
Oleh karenanya, Presiden Jokowi harus memelototi kinerja Menkes Terawan secara seksama. Jangan dipertaruhkan masalah pengelolaan kesehatan publik di Indonesia, oleh seorang Menkes yang tidak mempunyai visi besar bagaimana menata dan menyelesaikan kompleksitas kesehatan di Indonesia: tingginya prevalensi penyakit tidak menular, tingginya prevalensi merokok, tingginya prevalensi stunting , dan seabrek-abrek persoalan di bidang kesehatan. Defisit BPJS Kesehatan hanyalah persoalan permukaan. Indonesia memerlukan seorang menteri kesehatan yang bervisi besar dan jangka panjang.
(nag)