Dua RUU Prioritas 2020
A
A
A
ADA lima usulan rancangan undang-undang (RUU) yang diajukan Kementerian Dalam Negeri ke Komisi II DPR RI untuk dimasukkan dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2020–2024. Namun, dari lima RUU tersebut, dua di antaranya diharapkan bisa selesai pada 2020.“Dua RUU itu terkait Otsus (Otonomi Khusus) Papua dan RUU bidang politik,” kata Bahtiar, Pelaksana Tugas Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum, Kementerian Dalam Negeri, kepada SINDO Weekly, Kamis pekan lalu.
Alasan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengusulkan dua RUU ini menjadi prioritas pada 2020 karena kedua RUU tersebut dianggap sudah sangat urgen untuk direvisi. Bahtiar yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri ini mencontohkan UU Otsus Papua, khususnya menyangkut dana otsus untuk Papua yang akan berakhir pada 2021 mendatang. “Kalau mau memperpanjang, harus direvisi dan dibahas revisinya tahun ini,” ujarnya. Berikut petikan wawancaranya.
Apa saja lima RUU yang diusulkan Kemendagri masuk prolegnas 2020-2024?
Kemendagri memang punya sejumlah peraturan perundang-undangan yang diajukan untuk direvisi. Bukan hanya soal UU Politik, tetapi juga termasuk soal UU Administrasi Kependudukan (UU No. 23/2006), Otonomi Daerah (UU No. 33/2004), UU Otsus Papua (UU No. 21/2001), dan UU Provinsi Bali karena UU ini dulunya dibentuk masih berdasarkan UU sementara pada 1958. Semua ini harus melalui perencanaan dan harus dibahas bersama DPR sesuai amanat UUD yang nantinya difasilitasi Baleg.
Khusus di bidang Politik, memang beberapa kali dilakukan pembahasan, baik dengan Baleg maupun Komisi II. Jadi, ada lima peraturan perundang-undangan yang sempat dibicarakan untuk “Dua RUU Prioritas 2020” disederhanakan. Ini dalam rangka memperkuat sistem politik kita. UU yang dimaksud di sini adalah UU Partai Politik (UU No. 2/2008), UU Pemilu (UU No.7/2017), dan UU Pemilihan Kepala Daerah (UU No. 10/2016).
Kemudian, ada UU MD3 (sekarang MD2 yang isinya tentang DPR dan DPD). Kalau untuk DPRD sendiri, sekarang sudah masuk dalam UU Pemda. Terkait rapat kerja (raker) dengan Komisi II kemarin, Kemendagri mengusulkan dua RUU prioritas untuk 2020 ini.
UU apa saja itu?
RUU No. 21/2001 tentang Otsus Papua dan Revisi UU No. 7/2017 tentang Pemilu. Untuk UU Otsus Papua, dalam pasal 34 disebutkan bahwa dana otsus Papua berlaku selama 20 tahun. Artinya, akan berakhir pada 2021. Kalau Otsus Papua itu harus terus ada karena menyangkut kelembagaan, sistem pemerintahan, dan sebagainya. Namun, untuk dana otsus, itu hanya sampai 20 tahun saja. Kalau mau memperpanjang, harus direvisi. Revisinya pun harus dilakukan tahun ini. Apakah yang dibahas nanti hanya terkait pasal pendanaan atau hal lain, nanti ada masukan dari pemerintah daerah, ada MRP (Majelis Rakyat Papua), masyarakat, termasuk Kemendagri sendiri pasti punya pandangan-pandangan.
Apa urgensinya UU Politik itu sehingga harus direvisi?
Terkait bidang-bidang politik, baik UU Pemilu, UU Pilkada, UU Partai Politik, dan MD3 ini memang kita hendak membangun sistem politik yang lebih baik. Pemilu dan Pilkada ini prinsipnya kan dikelola oleh lembaga penyelenggara pemilu yang sama, KPU, Bawaslu, dan DKPP. Tentu harus ada pengaturan-pengaturan yang disinergikan. Nanti tinggal diatur saja.
Sebut saja misalnya UU No. 7/2017 tentang Pemilu mengatur soal penyelenggaraan pemilu serentak setiap lima tahun sekali. Berarti penyelenggaraannya pada 2024. Nah, dalam UU No. 10/2016 juga disebutkan bahwa pilkada serentak nasional untuk 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi pada 2024. Di sini bisa dibayangkan kondisinya: pileg, pilpres, dan pilkada digelar secara bersamaan pada 2024 itu. Oleh karena itu, perlu dikondisikan.
Lalu, apa rencana Kemendagri?
Kami sudah mendengarkan masukanmasukan dari partai-partai politik, termasuk masukan dari tujuh sekjen parpol yangtidak masuk Senayan pada 2019. Memang dominan aspirasinya itu mendorong supaya antara pileg dan pilpres itu tidak bersamaan seperti yang lalu. Apakah misalnya nanti pilpres bersamaan dengan pilkada atau legislatifnya bersamaan DPR, DPD, dan DPRD, itu bisa saja. Bisa juga pada 2024 itu hanya fokus pilpres dan pileg misalnya.
Pastinya, rencana penyederhanaan UU Politik itu bertujuan membuat sistem politik kita menjadi lebih sederhana, lebih sehat, dan lebih berkualitas. Tentu juga memperkuat sistem pemerintahan presidensial sehingga kualitas demokrasi kita menjadi lebih baik sehingga berdampak terhadap pencapaian kesejahteraan masyarakat.
Bagaimana dengan Pilkada 2024?
Kalau mengacu pada UU sekarang, pilkada akan berlangsung tahun ini dan ada sebagian lagi yang masa jabatannya akan berakhir pada 2021.Nah, kalau dilantik tahun depan dan jika mengacu pada UU sekarang, tentu akan berakhir pada 2024. Berarti, masa jabatannya hanya tiga tahun. Kalau hanya tiga tahun juga kan kasihan energi yang sudah dikeluarkan saat pilkada.
Akan tetapi, kalaupun harus ada pengunduran menjadi 2025 atau 2026, UU-nya harus direvisi. Jadi, diskusinya masih terus berkembang. Nah, tugas kami sebagai pemerintah sekarang belum berkaitan dengan posisi terhadap seluruh gagasan-gagasan itu. Sebab, posisi resmi pemerintah itu nanti kalau sudah ada pengajuan DIM (draf inventaris masalah) ke DPR. Sampai saat ini, kami baru belanja masukan, yakni melakukan kajian-kajian, mengidentifikasi isu-isu krusial, dan isu-isu substantif.
Berapa banyak pasal yang direvisi di UU Pemilu?
Bisa banyak, bisa juga sedikit. Kalau kami lihat representasi anggota DPR kemarin, itu kan ada penambahan jumlah kursi dari 560 menjadi 575. Nantinya, untuk daerah pemilihan (dapil) apakah harus tetap 80? Alokasi tiap dapil juga apakah harus tetap 38 untuk nasional, 310 untuk provinsi, 313 untuk kabupaten/kota, atau mau diubah? Parliamentary threshold-nya juga apakah tetap 4% atau harus dikurangi? Apakah presiden threshold tetap dipertahankan 20% kursi atau 25% suara? Kalau menurut teman-teman para sekjen partai politik yang tidak masuk Senayan itu, 20% kursi oke. Namun, 25% suaranya itu kalau bisa diturunkan. Jadi, banyak aspek yang harus didiskusikan.
Alasan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengusulkan dua RUU ini menjadi prioritas pada 2020 karena kedua RUU tersebut dianggap sudah sangat urgen untuk direvisi. Bahtiar yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri ini mencontohkan UU Otsus Papua, khususnya menyangkut dana otsus untuk Papua yang akan berakhir pada 2021 mendatang. “Kalau mau memperpanjang, harus direvisi dan dibahas revisinya tahun ini,” ujarnya. Berikut petikan wawancaranya.
Apa saja lima RUU yang diusulkan Kemendagri masuk prolegnas 2020-2024?
Kemendagri memang punya sejumlah peraturan perundang-undangan yang diajukan untuk direvisi. Bukan hanya soal UU Politik, tetapi juga termasuk soal UU Administrasi Kependudukan (UU No. 23/2006), Otonomi Daerah (UU No. 33/2004), UU Otsus Papua (UU No. 21/2001), dan UU Provinsi Bali karena UU ini dulunya dibentuk masih berdasarkan UU sementara pada 1958. Semua ini harus melalui perencanaan dan harus dibahas bersama DPR sesuai amanat UUD yang nantinya difasilitasi Baleg.
Khusus di bidang Politik, memang beberapa kali dilakukan pembahasan, baik dengan Baleg maupun Komisi II. Jadi, ada lima peraturan perundang-undangan yang sempat dibicarakan untuk “Dua RUU Prioritas 2020” disederhanakan. Ini dalam rangka memperkuat sistem politik kita. UU yang dimaksud di sini adalah UU Partai Politik (UU No. 2/2008), UU Pemilu (UU No.7/2017), dan UU Pemilihan Kepala Daerah (UU No. 10/2016).
Kemudian, ada UU MD3 (sekarang MD2 yang isinya tentang DPR dan DPD). Kalau untuk DPRD sendiri, sekarang sudah masuk dalam UU Pemda. Terkait rapat kerja (raker) dengan Komisi II kemarin, Kemendagri mengusulkan dua RUU prioritas untuk 2020 ini.
UU apa saja itu?
RUU No. 21/2001 tentang Otsus Papua dan Revisi UU No. 7/2017 tentang Pemilu. Untuk UU Otsus Papua, dalam pasal 34 disebutkan bahwa dana otsus Papua berlaku selama 20 tahun. Artinya, akan berakhir pada 2021. Kalau Otsus Papua itu harus terus ada karena menyangkut kelembagaan, sistem pemerintahan, dan sebagainya. Namun, untuk dana otsus, itu hanya sampai 20 tahun saja. Kalau mau memperpanjang, harus direvisi. Revisinya pun harus dilakukan tahun ini. Apakah yang dibahas nanti hanya terkait pasal pendanaan atau hal lain, nanti ada masukan dari pemerintah daerah, ada MRP (Majelis Rakyat Papua), masyarakat, termasuk Kemendagri sendiri pasti punya pandangan-pandangan.
Apa urgensinya UU Politik itu sehingga harus direvisi?
Terkait bidang-bidang politik, baik UU Pemilu, UU Pilkada, UU Partai Politik, dan MD3 ini memang kita hendak membangun sistem politik yang lebih baik. Pemilu dan Pilkada ini prinsipnya kan dikelola oleh lembaga penyelenggara pemilu yang sama, KPU, Bawaslu, dan DKPP. Tentu harus ada pengaturan-pengaturan yang disinergikan. Nanti tinggal diatur saja.
Sebut saja misalnya UU No. 7/2017 tentang Pemilu mengatur soal penyelenggaraan pemilu serentak setiap lima tahun sekali. Berarti penyelenggaraannya pada 2024. Nah, dalam UU No. 10/2016 juga disebutkan bahwa pilkada serentak nasional untuk 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi pada 2024. Di sini bisa dibayangkan kondisinya: pileg, pilpres, dan pilkada digelar secara bersamaan pada 2024 itu. Oleh karena itu, perlu dikondisikan.
Lalu, apa rencana Kemendagri?
Kami sudah mendengarkan masukanmasukan dari partai-partai politik, termasuk masukan dari tujuh sekjen parpol yangtidak masuk Senayan pada 2019. Memang dominan aspirasinya itu mendorong supaya antara pileg dan pilpres itu tidak bersamaan seperti yang lalu. Apakah misalnya nanti pilpres bersamaan dengan pilkada atau legislatifnya bersamaan DPR, DPD, dan DPRD, itu bisa saja. Bisa juga pada 2024 itu hanya fokus pilpres dan pileg misalnya.
Pastinya, rencana penyederhanaan UU Politik itu bertujuan membuat sistem politik kita menjadi lebih sederhana, lebih sehat, dan lebih berkualitas. Tentu juga memperkuat sistem pemerintahan presidensial sehingga kualitas demokrasi kita menjadi lebih baik sehingga berdampak terhadap pencapaian kesejahteraan masyarakat.
Bagaimana dengan Pilkada 2024?
Kalau mengacu pada UU sekarang, pilkada akan berlangsung tahun ini dan ada sebagian lagi yang masa jabatannya akan berakhir pada 2021.Nah, kalau dilantik tahun depan dan jika mengacu pada UU sekarang, tentu akan berakhir pada 2024. Berarti, masa jabatannya hanya tiga tahun. Kalau hanya tiga tahun juga kan kasihan energi yang sudah dikeluarkan saat pilkada.
Akan tetapi, kalaupun harus ada pengunduran menjadi 2025 atau 2026, UU-nya harus direvisi. Jadi, diskusinya masih terus berkembang. Nah, tugas kami sebagai pemerintah sekarang belum berkaitan dengan posisi terhadap seluruh gagasan-gagasan itu. Sebab, posisi resmi pemerintah itu nanti kalau sudah ada pengajuan DIM (draf inventaris masalah) ke DPR. Sampai saat ini, kami baru belanja masukan, yakni melakukan kajian-kajian, mengidentifikasi isu-isu krusial, dan isu-isu substantif.
Berapa banyak pasal yang direvisi di UU Pemilu?
Bisa banyak, bisa juga sedikit. Kalau kami lihat representasi anggota DPR kemarin, itu kan ada penambahan jumlah kursi dari 560 menjadi 575. Nantinya, untuk daerah pemilihan (dapil) apakah harus tetap 80? Alokasi tiap dapil juga apakah harus tetap 38 untuk nasional, 310 untuk provinsi, 313 untuk kabupaten/kota, atau mau diubah? Parliamentary threshold-nya juga apakah tetap 4% atau harus dikurangi? Apakah presiden threshold tetap dipertahankan 20% kursi atau 25% suara? Kalau menurut teman-teman para sekjen partai politik yang tidak masuk Senayan itu, 20% kursi oke. Namun, 25% suaranya itu kalau bisa diturunkan. Jadi, banyak aspek yang harus didiskusikan.
(ysw)