Kemhan Menuju Perbaikan?
A
A
A
Hariqo Wibawa Satria
Pengamat Media Sosial dari Komunikonten, Institut Media Sosial dan Diplomasi, Co-founder dan CEO Global Influencer School
LAYAKNYA pelayan yang menyuguhkan jamu, begitulah posisi pengkritik. Sayangnya, beberapa pembantu Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto tidak hanya menjawab kritik, tetapi juga "memarahi" pengkritik.
Seperti dilakukan Johannes Suryo Prabowo (Komite Kebijakan Industri Pertahanan), Dahnil Anzar Simanjuntak (Staf Khusus Menhan), dan Andre Rosiade, anak buah Prabowo di Partai Gerindra, dalam merespons kritik terkait polemik Natuna dan kunjungan Prabowo ke luar negeri.
Lewat akun Twitter @bertemanM, Suryo Prabowo menulis pada 23 Januari 2020: "Dalam pelaksanaan tugasnya Menhan RI bertanggungjawab kepada Presiden RI. Bukan kepada netizen yang gak bisa move on dan baper."
Sesuai tulisan di bio akun Twitter Suryo Prabowo, yaitu "bukan penjilat dan tidak berteman dengan penjilat. "Dari banyak postingannya, terlihat Surya Prabowo mengkritik, menyindir apa yang dianggapnya tidak pas. Membaca karier militernya, Suryo Prabowo memang keras sejak muda, bahkan pernah hampir mati dalam pertempuran lapangan membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun, sekarang dia adalah pejabat publik, yang semestinya baper (membawa perasaan) sebelum mem-posting sesuatu di media sosial, sebaliknya ia tak boleh baper jika dirinya, menterinya, presidennya dikritik. Bukan dibalik.
Menurut saya, pejabat publik tidak perlu memikirkan masyarakat move on atau belum. Pejabat publik harus memikirkan bagaimana agar negara ini move on dari negara berkembang menjadi negara maju, move on dari negara menengah jadi negara kuat yang berdaulat.
Lakukanlah aksi serius agar masyarakat cepat move on dari kemiskinan menuju kemakmuran, move on dari banyak korupsi menjadi bebas korupsi. Perlu kiranya menggunakan kata move on selain untuk kegalauan asmara dan politik dukung-mendukung.
Andre Rosiade begitu juga, ia justru menggunakan kritik terhadap Prabowo untuk menghantam pengkritik. Dengan gagah berani, ia katakan: "Gajah di depan mata tidak terlihat, semut di seberang lautan terlihat. Pak Mardani (PKS) mengkritik Pak Prabowo yang ke luar negeri karena perintah Presiden. Sementara ada gubernur Sumbar yang dari PKS itu, hampir tiap bulan ke luar negeri, bahkan sebulan bisa dua kali," kata Andre Rosiade di sebuah televisi nasional.
Menurut saya, Andre Rosiade ini mengalami kesalahan logika yang dikenal dengan Ad Hominem, salah fokus atau mungkin lebih dekat dengan Tu Quoqoue yang lebih kurang artinya terlalu fokus mencari kelemahan pengkritik bukan pada isi kritiknya, sibuk memeriksa pikiran orang lain, namun abai memeriksa asumsi di benak sendiri.
Merespons kritik tanpa apresiasi terhadap kritik masyarakat, juga dilakukan oleh Dahnil Anzar Simanjuntak lewat tulisannya berjudul "Pertahanan Itu Bukan Opini dan Tagar Sosmed." Tulisan ini mengalir laksana air, berbicara dengan posisi penulis duduk di atas, sementara kita sebagai masyarakat lesehan di bawah.
Saat saya mengikuti kursus nonviolent communication pada 2012, kami diminta memejamkan mata selama 15 menit, kemudian "dihipnotis" untuk merasakan berbagai posisi dalam masyarakat. Untuk menjawab kritik, pemateri mengajarkan agar dimulai dengan apresiasi (calm and accept), kemudian barulah diklarifikasi.
Pastilah tidak semua pengkritik adalah pembenci. Bahkan, kritik adalah kesempatan untuk memberikan jawaban terbaik untuk melakukan simetrisme informasi, dan meraih dukungan otentik dari publik.
Jika pun ada kritik atau pertanyaan terkait informasi yang dikecualikan, sampaikan saja tautan tentang Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 pasal 17 tentang Informasi Publik yang dikecualikan demi keamanan negara, sebagaimana beberapa kali disampaikan Cecep Suryadi, komisioner Komisi Informasi Pusat.
Prabowo sendiri tidak banyak bicara sejak jadi menhan. Diam saja ketika publik mengkritiknya terkait Natuna dan kunjungan kerjanya ke luar negeri. Pembelaan justru datang dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dugaan bahwa ia akan tidak akur dengan wakil menterinya ternyata meleset.
Yang paling menonjol adalah ketika Prabowo meminta wakil menteri pertahanan membuka secara resmi Rapat Pimpinan Kementerian Pertahanan (Rapim Kemhan) Tahun 2020 yang berlangsung pada 22-23 Januari 2020 lalu di Kantor Kemhan, Jakarta.
Jangan lupa, Survei SMRC tahun 2018 menyebutkan bahwa 67% responden setuju bila Prabowo dijadikan wakil presidennya Jokowi. Sekarang Prabowo sudah menjadi wakil Jokowi di bidang pertahanan. Posisi yang tidak kalah strategisnya dengan wakil presiden.
Jika konsisten dengan pengarusutamaan kepentingan nasional, saya yakin lima tahun ini akan banyak perbaikan dan kemajuan. Hal ini sudah mulai terlihat dari kemajuan alutsista Indonesia dalam 100 hari masa kerja Kemhan. Selamat mengabdi!
Pengamat Media Sosial dari Komunikonten, Institut Media Sosial dan Diplomasi, Co-founder dan CEO Global Influencer School
LAYAKNYA pelayan yang menyuguhkan jamu, begitulah posisi pengkritik. Sayangnya, beberapa pembantu Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto tidak hanya menjawab kritik, tetapi juga "memarahi" pengkritik.
Seperti dilakukan Johannes Suryo Prabowo (Komite Kebijakan Industri Pertahanan), Dahnil Anzar Simanjuntak (Staf Khusus Menhan), dan Andre Rosiade, anak buah Prabowo di Partai Gerindra, dalam merespons kritik terkait polemik Natuna dan kunjungan Prabowo ke luar negeri.
Lewat akun Twitter @bertemanM, Suryo Prabowo menulis pada 23 Januari 2020: "Dalam pelaksanaan tugasnya Menhan RI bertanggungjawab kepada Presiden RI. Bukan kepada netizen yang gak bisa move on dan baper."
Sesuai tulisan di bio akun Twitter Suryo Prabowo, yaitu "bukan penjilat dan tidak berteman dengan penjilat. "Dari banyak postingannya, terlihat Surya Prabowo mengkritik, menyindir apa yang dianggapnya tidak pas. Membaca karier militernya, Suryo Prabowo memang keras sejak muda, bahkan pernah hampir mati dalam pertempuran lapangan membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun, sekarang dia adalah pejabat publik, yang semestinya baper (membawa perasaan) sebelum mem-posting sesuatu di media sosial, sebaliknya ia tak boleh baper jika dirinya, menterinya, presidennya dikritik. Bukan dibalik.
Menurut saya, pejabat publik tidak perlu memikirkan masyarakat move on atau belum. Pejabat publik harus memikirkan bagaimana agar negara ini move on dari negara berkembang menjadi negara maju, move on dari negara menengah jadi negara kuat yang berdaulat.
Lakukanlah aksi serius agar masyarakat cepat move on dari kemiskinan menuju kemakmuran, move on dari banyak korupsi menjadi bebas korupsi. Perlu kiranya menggunakan kata move on selain untuk kegalauan asmara dan politik dukung-mendukung.
Andre Rosiade begitu juga, ia justru menggunakan kritik terhadap Prabowo untuk menghantam pengkritik. Dengan gagah berani, ia katakan: "Gajah di depan mata tidak terlihat, semut di seberang lautan terlihat. Pak Mardani (PKS) mengkritik Pak Prabowo yang ke luar negeri karena perintah Presiden. Sementara ada gubernur Sumbar yang dari PKS itu, hampir tiap bulan ke luar negeri, bahkan sebulan bisa dua kali," kata Andre Rosiade di sebuah televisi nasional.
Menurut saya, Andre Rosiade ini mengalami kesalahan logika yang dikenal dengan Ad Hominem, salah fokus atau mungkin lebih dekat dengan Tu Quoqoue yang lebih kurang artinya terlalu fokus mencari kelemahan pengkritik bukan pada isi kritiknya, sibuk memeriksa pikiran orang lain, namun abai memeriksa asumsi di benak sendiri.
Merespons kritik tanpa apresiasi terhadap kritik masyarakat, juga dilakukan oleh Dahnil Anzar Simanjuntak lewat tulisannya berjudul "Pertahanan Itu Bukan Opini dan Tagar Sosmed." Tulisan ini mengalir laksana air, berbicara dengan posisi penulis duduk di atas, sementara kita sebagai masyarakat lesehan di bawah.
Saat saya mengikuti kursus nonviolent communication pada 2012, kami diminta memejamkan mata selama 15 menit, kemudian "dihipnotis" untuk merasakan berbagai posisi dalam masyarakat. Untuk menjawab kritik, pemateri mengajarkan agar dimulai dengan apresiasi (calm and accept), kemudian barulah diklarifikasi.
Pastilah tidak semua pengkritik adalah pembenci. Bahkan, kritik adalah kesempatan untuk memberikan jawaban terbaik untuk melakukan simetrisme informasi, dan meraih dukungan otentik dari publik.
Jika pun ada kritik atau pertanyaan terkait informasi yang dikecualikan, sampaikan saja tautan tentang Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 pasal 17 tentang Informasi Publik yang dikecualikan demi keamanan negara, sebagaimana beberapa kali disampaikan Cecep Suryadi, komisioner Komisi Informasi Pusat.
Prabowo sendiri tidak banyak bicara sejak jadi menhan. Diam saja ketika publik mengkritiknya terkait Natuna dan kunjungan kerjanya ke luar negeri. Pembelaan justru datang dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dugaan bahwa ia akan tidak akur dengan wakil menterinya ternyata meleset.
Yang paling menonjol adalah ketika Prabowo meminta wakil menteri pertahanan membuka secara resmi Rapat Pimpinan Kementerian Pertahanan (Rapim Kemhan) Tahun 2020 yang berlangsung pada 22-23 Januari 2020 lalu di Kantor Kemhan, Jakarta.
Jangan lupa, Survei SMRC tahun 2018 menyebutkan bahwa 67% responden setuju bila Prabowo dijadikan wakil presidennya Jokowi. Sekarang Prabowo sudah menjadi wakil Jokowi di bidang pertahanan. Posisi yang tidak kalah strategisnya dengan wakil presiden.
Jika konsisten dengan pengarusutamaan kepentingan nasional, saya yakin lima tahun ini akan banyak perbaikan dan kemajuan. Hal ini sudah mulai terlihat dari kemajuan alutsista Indonesia dalam 100 hari masa kerja Kemhan. Selamat mengabdi!
(thm)