Mayoritarianisme
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)
DALAM khazanah pemikiran politik, mayoritarianisme adalah paham yang berpandangan bahwa warga mayoritas sebuah negara paling berhak menentukan kebijakan politik. Mayoritas dari segi apa? Bisa dari segi etnis ataupun agama.
Lebih kuat lagi pengaruhnya kalau dua kategori itu bersinergi, mayoritas etnis bertemu dengan mayoritas agama. Politik populisme yang dimunculkan di berbagai negara, misalnya Amerika Serikat (AS) dan India, memiliki keterkaitan dengan alur pemikiran ini sekalipun mereka menganut paham demokrasi. Justru dalam demokrasi paham mayoritarianisme memiliki pintu masuk cukup lebar.
Bagaimana Indonesia? Ketika ruang demokrasi dibuka lebar-lebar yang kemudian diikuti dengan pemilu dan pilkada langsung, semakin terlihat munculnya politik identitas yang menyuarakan semangat mayoritarianisme.
Pada tingkat nasional ketika berlangsung pemilu, solidaritas emosional atas nama agama dan etnis, yaitu Islam dan Jawa, masih cukup signifikan pengaruhnya. Sedangkan pada peristiwa pilkada di tingkat daerah akan mengacu pada mayoritas etnis lokal dan agama yang mereka peluk. Misalnya di Bali, tokoh lokal yang beragama Hindu pasti paling unggul.
Paham ini memiliki kelebihan dan kelemahannya sekaligus. Secara teoritis, orang memang cenderung ingin berkawan dan bekerja sama dengan kelompok yang memiliki kesamaan identitas misalnya identitas agama, etnis, profesi, ormas, atau almamater. Semakin banyak kemiripan, semakin kuat kecenderungan mereka untuk membangun koalisi dan asosiasi.
Begitu pun seorang pemimpin akan merasa lebih nyaman memiliki anak buah atau bekerja dengan tim yang memiliki banyak kesamaan identitas. Tentu saja akan sangat bagus jika kesamaan identitas itu berdampak bagi kuatnya kohesi sebuah organisasi, produktivitas kerja, serta tercipta high trust community.
Namun, yang terjadi kadang sebaliknya, yang populer dengan istilah koncoisme atau kroniisme. Alih-alih produktif dan efisien, justru korupsi dan inefisiensi yang menonjol.
Kelemahan cukup signifikan dari paham mayoritarianisme adalah suara mayoritas yang belum tentu benar, berbobot, dan bermutu, yang akan dijadikan rujukan akhir dalam membuat kebijakan dan keputusan publik. Dalam praktiknya juga tercermin dalam pemilu dan pilkada. Yaitu, presiden, gubernur, dan bupati terpilih semata berdasarkan suara terbanyak, padahal para pemilih itu banyak yang tidak tahu seluk-beluk politik.
Lebih parah lagi kalau mereka menentukan pilihan karena faktor uang atau kesamaan identitas, tanpa mempertimbangkan kompetensi. Begitu pun dalam pemilihan anggota legislatif. Padahal, kita semua tahu bahwa kebenaran itu justru sering dimunculkan oleh suara minoritas yang terdidik dan tercerahkan.
Perubahan sejarah selalu diinisiasi dan digerakkan oleh sekelompok minoritas yang tercerahkan. Dengan demikian, suara mayoritas tidak berarti suara paling benar.Di sinilah kritik tajam yang dialamatkan pada model pemilihan langsung "one man one vote" yang mengedepankan kemenangan kuantitas suara, namun yang bisa mengancam calon yang berkualitas, tetapi tidak populer atau tidak punya modal uang.
Di Indonesia, isu "mayoritas-minoritas" ini masih bertahan, namun memiliki kategori dan variabel yang beragam sehingga pantas dimajukan pertanyaan: Mayoritas dan minoritas dari segi apa?
Ada sekelompok mayoritas etnis dan agama, namun minoritas dalam penguasaan aset. Ada sekelompok minoritas etnis, namun mayoritas dalam jaringan bisnis dan penguasaan aset. Ada sekelompok kecil elite parpol, namun mengendalikan emosi dan arah pilihan politik mayoritas rakyat.
Idealnya, di atas isu mayoritas-minoritas serta pluralitas identitas sosial, pada tataran bernegara tampil pemerintahan yang mengedepankan prinsip profesionalisme dan meritokrasi sehingga kualitas dan integritas lebih menonjol ketimbang solidaritas kelompok. Lalu, pada tataran masyarakat, kekuatan etika sosial mesti diperkuat agar masyarakat memiliki kekuatan moral untuk menjaga integritas dirinya dan untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Hanya dengan keseimbangan yang sama-sama sehat antara masyarakat dan pemerintahan, maka bangsa dan negara ini akan mampu bangkit, bukannya sibuk bertengkar dengan sesama anak bangsa. Lebih parah lagi, bukan saja bertengkar, melainkan saling mengintip dan menciptakan peluang untuk melakukan korupsi yang semakin marak sekalipun di sana sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)
DALAM khazanah pemikiran politik, mayoritarianisme adalah paham yang berpandangan bahwa warga mayoritas sebuah negara paling berhak menentukan kebijakan politik. Mayoritas dari segi apa? Bisa dari segi etnis ataupun agama.
Lebih kuat lagi pengaruhnya kalau dua kategori itu bersinergi, mayoritas etnis bertemu dengan mayoritas agama. Politik populisme yang dimunculkan di berbagai negara, misalnya Amerika Serikat (AS) dan India, memiliki keterkaitan dengan alur pemikiran ini sekalipun mereka menganut paham demokrasi. Justru dalam demokrasi paham mayoritarianisme memiliki pintu masuk cukup lebar.
Bagaimana Indonesia? Ketika ruang demokrasi dibuka lebar-lebar yang kemudian diikuti dengan pemilu dan pilkada langsung, semakin terlihat munculnya politik identitas yang menyuarakan semangat mayoritarianisme.
Pada tingkat nasional ketika berlangsung pemilu, solidaritas emosional atas nama agama dan etnis, yaitu Islam dan Jawa, masih cukup signifikan pengaruhnya. Sedangkan pada peristiwa pilkada di tingkat daerah akan mengacu pada mayoritas etnis lokal dan agama yang mereka peluk. Misalnya di Bali, tokoh lokal yang beragama Hindu pasti paling unggul.
Paham ini memiliki kelebihan dan kelemahannya sekaligus. Secara teoritis, orang memang cenderung ingin berkawan dan bekerja sama dengan kelompok yang memiliki kesamaan identitas misalnya identitas agama, etnis, profesi, ormas, atau almamater. Semakin banyak kemiripan, semakin kuat kecenderungan mereka untuk membangun koalisi dan asosiasi.
Begitu pun seorang pemimpin akan merasa lebih nyaman memiliki anak buah atau bekerja dengan tim yang memiliki banyak kesamaan identitas. Tentu saja akan sangat bagus jika kesamaan identitas itu berdampak bagi kuatnya kohesi sebuah organisasi, produktivitas kerja, serta tercipta high trust community.
Namun, yang terjadi kadang sebaliknya, yang populer dengan istilah koncoisme atau kroniisme. Alih-alih produktif dan efisien, justru korupsi dan inefisiensi yang menonjol.
Kelemahan cukup signifikan dari paham mayoritarianisme adalah suara mayoritas yang belum tentu benar, berbobot, dan bermutu, yang akan dijadikan rujukan akhir dalam membuat kebijakan dan keputusan publik. Dalam praktiknya juga tercermin dalam pemilu dan pilkada. Yaitu, presiden, gubernur, dan bupati terpilih semata berdasarkan suara terbanyak, padahal para pemilih itu banyak yang tidak tahu seluk-beluk politik.
Lebih parah lagi kalau mereka menentukan pilihan karena faktor uang atau kesamaan identitas, tanpa mempertimbangkan kompetensi. Begitu pun dalam pemilihan anggota legislatif. Padahal, kita semua tahu bahwa kebenaran itu justru sering dimunculkan oleh suara minoritas yang terdidik dan tercerahkan.
Perubahan sejarah selalu diinisiasi dan digerakkan oleh sekelompok minoritas yang tercerahkan. Dengan demikian, suara mayoritas tidak berarti suara paling benar.Di sinilah kritik tajam yang dialamatkan pada model pemilihan langsung "one man one vote" yang mengedepankan kemenangan kuantitas suara, namun yang bisa mengancam calon yang berkualitas, tetapi tidak populer atau tidak punya modal uang.
Di Indonesia, isu "mayoritas-minoritas" ini masih bertahan, namun memiliki kategori dan variabel yang beragam sehingga pantas dimajukan pertanyaan: Mayoritas dan minoritas dari segi apa?
Ada sekelompok mayoritas etnis dan agama, namun minoritas dalam penguasaan aset. Ada sekelompok minoritas etnis, namun mayoritas dalam jaringan bisnis dan penguasaan aset. Ada sekelompok kecil elite parpol, namun mengendalikan emosi dan arah pilihan politik mayoritas rakyat.
Idealnya, di atas isu mayoritas-minoritas serta pluralitas identitas sosial, pada tataran bernegara tampil pemerintahan yang mengedepankan prinsip profesionalisme dan meritokrasi sehingga kualitas dan integritas lebih menonjol ketimbang solidaritas kelompok. Lalu, pada tataran masyarakat, kekuatan etika sosial mesti diperkuat agar masyarakat memiliki kekuatan moral untuk menjaga integritas dirinya dan untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Hanya dengan keseimbangan yang sama-sama sehat antara masyarakat dan pemerintahan, maka bangsa dan negara ini akan mampu bangkit, bukannya sibuk bertengkar dengan sesama anak bangsa. Lebih parah lagi, bukan saja bertengkar, melainkan saling mengintip dan menciptakan peluang untuk melakukan korupsi yang semakin marak sekalipun di sana sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
(poe)