Urgensi Wakil Gubernur DKI

Senin, 27 Januari 2020 - 07:35 WIB
Urgensi Wakil Gubernur DKI
Urgensi Wakil Gubernur DKI
A A A
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

TARIK-ulur soal pengisian jabatan wakil gubernur DKI Jakarta yang kosong sejak 27 Agustus 2018 sangat berlarut-larut. Maju-mundur sejumlah nama yang digadang-gadangkan menggantikan posisi Sandiaga Uno yang mengundurkan diri karena maju menjadi kandidat wakil presiden mendampingi calon presiden Prabowo Subianto, terus menuai polemik.

Perkembangan terbarunya muncul dua nama yang akan diusulkan untuk dipilih DPRD, yakni Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria dan politikus PKS Nurmansjah Lubis. Sudah terlalu lama kursi wagub DKI kosong. Kurang lebih 1,5 tahun sudah dilalui tanpa ada kepastian siapa yang mendampingi Anies Baswedan mengatasi ragam persoalan yang mengemuka di DKI.

Duduk Persoalan
Apa urgensi pengisian jabatan wagub DKI? Paling tidak ada tiga argumen yang bisa disampaikan. Pertama, aspek legal formalistis, yang mengacu pada UU dan peraturan yang berlaku. Mekanisme pengisian kekosongan jabatan wakil gubernur DKI Jakarta itu diatur dalam Pasal 176 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Mengacu ke UU tersebut, dalam hal wakil gubernur DKI Jakarta berhenti karena permintaan sendiri, pengisian wakil gubernur dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi DKI Jakarta berdasarkan usulan dari partai politik atau gabungan partai politik pengusung. Dengan demikian, partai yang berhak mengusulkan nama hanya dua yakni Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), karena kedua partai inilah yang mengusung pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dalam Pilkada DKI pada 2017.

Pengisian kekosongan jabatan wakil gubernur DKI Jakarta itu dilaksanakan apabila sisa masa jabatannya lebih dari 18 bulan terhitung sejak kosongnya jabatan tersebut. Oleh karena saat Sandiaga Uno mengundurkan diri jabatan wagub DKI masih lebih dari 18 bulan, maka ada urgensi untuk diisi oleh nama yang diusulkan partai pengusung dan dipilih melalui DPRD DKI.

Proses pemilihan wakil gubernur DKI Jakarta melalui rapat paripurna telah diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Kedua pasal itu intinya menjelaskan bahwa pemilihan wakil gubernur DKI Jakarta diselenggarakan melalui rapat paripurna DPRD dan hasil pemilihannya ditetapkan dengan keputusan DPRD DKI Jakarta.

Yang publik harus tahu, pengisian kekosongan posisi wakil gubernur DKI berbeda aturan mainnya dengan era Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang saat itu mengangkat Djarot Saiful Hidayat sebagai wakilnya. Pada saat itu, Ahok naik menjadi gubernur menggantikan Joko Widodo (Jokowi) yang terpilih sebagai presiden RI. Era Ahok, UU yang menjadi rujukannya adalah UU Nomor 1 Tahun 2015 dan Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2014. Intinya, pengangkatan wakil gubernur merupakan wewenang penuh gubernur.

Kedua, aspek moral etis. Hal ini terkait dengan komitmen partai pengusung yang sudah menyodorkan dua nama sebagai paket dalam Pilkada DKI 2017. Saat itu warga sudah menentukan pilihan kepada pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Artinya, warga DKI sudah memandatkan kuasa mereka kepada pasangan ini untuk bekerja optimal lima tahun sebagai pasangan, bukan per seorangan!

Jika kemudian realitasnya wagub mengundurkan diri karena maju sebagai kandidat wakil presiden dalam Pemilu 2019, partai pengusung seharusnya dengan sigap dan tanggap mempercepat proses komunikasi politik antara kedua partai untuk menentukan dua nama yang diusulkan sebagai pengganti.

Ini bukan soal asumsi Anies Baswedan bisa berjalan sendiri, melainkan menjadi tanggung jawab politik partai pengusung dan DPRD DKI yang harus memilih agar tak merugikan warga DKI yang telah memandatkan kekuasaan kepada mereka. Jika ego sektoral yang lebih dominan di antara kedua partai pengusung sehingga proses pengisian menjadi berlarut-larut, itu sama artinya ada persoalan moral etis yang harus mereka pertanggungjawabkan di hadapan warga DKI, terutama yang sudah memilih.

Kita perlu memperkuat etos demokratis di samping sistem demokratis agar tidak terjebak pada kondisi demokrasi elusif. Meminjam istilah dari Alberto J Olvera dalam tulisannya, "The Elusive Democracy: Political Parties, Democratic Institutions, and Civil Society in Mexico", dalam Latin American Research Review , Volume 45 (2010), elusive democracy, yakni keadaan yang ditandai dengan penurunan kualitas demokrasi sebagai konsekuensi dari melambatnya konsolidasi, baik soal pemantapan kapasitas institusi demokrasi maupun kematangan budaya politik, termasuk kiprah partai politik di dalamnya.

Tak cukup hanya membangun sistem demokratis, seperti birokrasi, hukum, dan lain-lain, partai juga harus memiliki tanggung jawab sosial atas mandat kuasa yang sudah didapatnya dari rakyat. Ada tanggung jawab moral etis partai pengusung untuk mengisi jabatan wagub DKI dengan segera sehingga tak mengganggu konsentrasi.

Ketiga, hal fundamental terkait dengan tata kelola pemerintahan DKI yang menghadapi segudang persoalan. Mulai banjir, kemacetan, kriminalitas, kemiskinan warga kota, hingga sejumlah persoalan lainnya. Artinya, butuh fokus dan kerja sama yang maksimal terutama dari mereka yang menjadi nakhoda birokrasi Pemerintahan Provinsi DKI.

Di sinilah letak urgensi pengisian jabatan wagub DKI. Ada pembagian tugas di antara gubernur dan wakil gubernur. Misalnya satu orang fokus ke pembenahan internal birokrasi untuk menggenjot performa kinerja pemerintah. Satunya lagi fokus ke eksternal, berjejaring secara intens dengan stakeholders pembangunan di DKI.

Jebakan Transaksional
Hal yang harus diingatkan dalam gonjang-ganjing pengisian posisi wagub DKI ini adalah jebakan politik transaksional. Politik transaksional berpotensi terjadi di antara dua partai pengusung.

Jika solusinya adalah mencari nama yang bisa menjembatani kepentingan partai dan para politisi di dalamnya melalui konsesi apalagi uang, maka ini tentu akan menambah masalah DKI di kemudian hari. Ingat! Tak ada makan siang yang gratis. Jika pengisian jabatan dianggap sebagai investasi maka pertimbangannya bukan soal kompetensi, integritas, dan profesionalitas lagi, melainkan formula M-C-M (money-commodity-more money ).

Jabatan wagub DKI bukan komoditi transaksi. Ini adalah tanggung jawab partai pengusung untuk turut menentukan pilihan pada mereka yang bisa bekerja sama mengatasi persoalan-persoalan di DKI. Jika memilih lebih karena pertimbangan transaksi yang bersifat ekonomis maka sudah barang tentu akan menjadi kotak pandora kejahatan dari mereka yang memiliki jabatan.

Jebakan politik transaksional juga bisa menerpa para politisi lintas partai di DPRD DKI. Rapat paripurna pemilihan di DPRD DKI baru bisa digelar jika jumlah anggota dewan yang hadir memenuhi syarat kuorum. Dalam tata tertib pemilihan wagub DKI, kuorum yakni 50 persen plus 1 dari jumlah anggota DPRD DKI sebanyak 106 orang.

Jadi, rapat dianggap kuorum jika dihadiri minimal 54 anggota. Partai pengusung pernah mengusulkan dua nama ke DPRD, yakni Ahmad Syaikhu dan Agung Yulianto. Keduanya berasal dari PKS. Tetapi rapat-rapat DPRD DKI periode sebelumnya selalu mengalami kebuntuan akibat alotnya tarik-menarik kepentingan.

Situasi seperti ini kerap melahirkan model "pasar" dalam politik. Saat permintaan meningkat, barang pun menjadi mahal. Dampaknya ada mekanisme penyelesaian yang di luar ketentuan, yakni di "pasar gelap" atau operasi senyap mengegolkan nama yang akan disepakati di DPRD. Kerawanan politik transaksional inilah yang mesti diingatkan agar tak terjadi di DKI. Komunikasi politik harus dioptimalkan guna menghindari jalan buntu pengisian wagub DKI.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3666 seconds (0.1#10.140)