Menjaga Netralitas ASN di Tahun Pilkada

Jum'at, 24 Januari 2020 - 07:00 WIB
Menjaga Netralitas ASN di Tahun Pilkada
Menjaga Netralitas ASN di Tahun Pilkada
A A A
Dayanto, Pegiat Hukum dan Demokrasi, Tim Asistensi Bawaslu RI

SESUAI dengan kalender demokrasi, 2020 merupakan tahun pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada) untuk memilih kepala daerah hasil pemilihan tahun 2015. Untuk mewujudkan pilkada yang berkualitas, netralitas aparatur sipil negara (ASN) merupakan salah satu aspek yang penting untuk disoroti, sebab pelanggaran asas netralitas ASN dalam pilkada kerap menjadi problem yang berulang dan menjadi fenomena yang berpengaruh signifikan terhadap menurunnya kualitas pilkada demokratis. Dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada 2018, Bawaslu RI memberikan perhatian khusus pada pelibatan ASN dalam kegiatan kampanye pasangan calon ataupun rotasi jabatan yang dilakukan pada enam bulan sebelum pilkada sebagai salah satu aspek penting untuk menilai tingkat kerawanan pilkada.

Sebagai deskripsi, pada penyelenggaraan pilkada serentak 2018 (Bawaslu RI:2018), tercatat 721 kasus pelanggaran netralitas ASN yang ditangani oleh pengawas pemilihan dengan sebaran aktor ASN yang melanggar, yaitu staf/bidan (34 %), kepala badan/dinas (26 %), camat/lurah (14 %), dan kepala bidang/seksi (14 %).

Penyakit Kambuhan

Perilaku partisan atau ketidaknetralan ASN dalam demokrasi elektoral sesungguhnya merupakan penyakit lama dalam praktik demokrasi di Tanah Air. Perilaku partisan atau ketidaknetralan ASN (dulu pegawai negeri sipil/PNS) merupakan problem sistemik, terutama pada masa kekuasaan Orde Baru. Pada saat itu, sumber daya birokrasi pemerintahan;yang di dalamnya terdapat para PNS;dimobilisasi secara terstruktur, sistematis, dan masif untuk menjaga kepentingan kekuasaan, termasuk dalam memenangkan kepentingan politik rezim.

Digulirkannya reformasi politik dalam rangka penguatan demokrasi lokal melalui pilkada dalam kenyataannya belum sepenuhnya diikuti oleh netralitas dan profesionalisme ASN kendati UU Nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang mengandung semangat reformasi birokrasi telah diberlakukan. ASN atau birokrasi pemerintah daerah pada umumnya kerap ikut "bermain" dalam politik dukung-mendukung kontestan pilkada, baik karena terpaksa akibat masih kentalnya kultur patron-klien dalam sistem birokrasi pemerintahan ataupun karena motivasi untuk mencari keuntungan (rent seeking ) yakni demi mendapatkan jabatan atau keistimewaan (privilege ) dari kontestan pilkada yang dimenangkan. Walhasil, perilaku partisan atau ketidaknetralan ASN ini menjadi semacam penyakit kambuhan yang selalu muncul berulang dalam setiap momentum pilkada.

Jika dicermati, setidaknya terdapat dua efek buruk akibat perilaku partisan atau ketidaknetralan ASN dalam pilkada: Pertama , menggerogoti kualitas legitimasi pilkada demokratis. Padahal, demokrasi elektoral dirancang sebagai mekanisme legal-konstitusional suksesi kekuasaan dalam pemerintahan demokratis untuk melahirkan kepala daerah dengan derajat legitimasi yang tinggi. Bagaimana mungkin akan lahir kepala daerah dengan derajat legitimasi yang tinggi jika praktik partisan atau ketidaknetralan ASN yang secara moral merupakan kecurangan dan secara normatif dilarang masih mengotori legitimasi pilkada demokratis. Infeksi demokrasi seperti ini berpotensi menghasilkan efek domino seperti protes publik terhadap kualitas pilkada, menurunnya tingkat partisipasi pemilih pada pilkada selanjutnya ataupun menurunnya tingkat partisipasi publik terhadap agenda-agenda pemerintahan daerah dalam arti luas, dan pada gilirannya menggerogoti kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi secara umum.

Kedua , merusak tatanan birokrasi yang berbasis merit system . Praktik partisan atau ketidaknetralan ASN sering kali didasari oleh motif konsesi jabatan birokrasi yang diberikan kepada aktor ASN. Konsesi ini biasanya menjadi alat tukar politik bagi calon kepala daerah yang mengapitalisasi jasa politik aktor ASN yang terlibat dalam kepentingan pemenangannya sebagai kontestan dan merupakan konsesi jabatan bagi aktor ASN yang terlibat. Pada gilirannya, jabatan-jabatan prestisius di lingkungan birokrasi pemerintahan daerah tidak lagi merupakan arena untuk mengembangkan birokrasi yang merit system di mana pengisian jabatan berbasis pada kompetensi dan profesionalisme.

Larangan

Dalam konteks normatif, terdapat berbagai kerangka hukum yang substansinya dirancang untuk menjaga netralitas ASN dalam pilkada baik pada konteks legislasi maupun regulasi. Pada konteks legislasi, Pertama , UU Nomor 5/2014 tentang ASN. Pasal 9 ayat (2) mengatur bahwa ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.

Kedua , UU Nomor 10/2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Pasal 70 ayat (1) huruf b dan pasal 70 ayat (1) huruf c melarang pasangan calon dalam kampanye melibatkan ASN, anggota kepolisian dan TNI serta kepala desa atau sebutan lain/lurah dan perangkat desa atau sebutan lain/perangkat kelurahan. Demikian pula pasal 71 ayat (1) yang melarang pejabat negara, pejabat daerah, pejabat ASN, anggota TNI/Polri, kepada desa atau sebutan lain/lurah membuat keputusan dan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

Ini diperkuat lagi dengan pasal 71 ayat (2) yang melarang gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri, dan pasal 71 ayat (3) yang melarang kepala daerah petahana menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih. Pasal 71 ayat (5) mengajukan ancaman sanksi tegas bagi kepala daerah petahana yang melanggar yakni pembatalan sebagai calon.

Pada konteks regulasi, pertama, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, yang mana pada pasal 11 huruf c terdapat rumusan mengenai aturan etika PNS terhadap diri sendiri, yakni menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan. Bagi PNS yang melanggar kode etik ini maka akan dikenakan sanksi moral maupun tindakan administratif sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 16.

Kedua , Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, pasal 1 angka 1 merumuskan disiplin pegawai negeri sipil sebagai kesanggupan PNS untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin. Sedangkan pelanggaran disiplin sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 1 angka 3 adalah setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan PNS yang tidak menaati kewajiban dan/atau melanggar larangan ketentuan disiplin PNS, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja.

Komitmen

Problem berulangnya praktik partisan atau ketidaknetralan ASN dalam pilkada sudah harus diakhiri demi meningkatkan derajat peradaban demokrasi lokal melalui Pilkada 2020 yang berkualitas maupun akselerasi yang berkelanjutan dalam merealisasi proposal reformasi birokrasi yang berintikan profesionalisme dan integritas aktor ASN di daerah. Untuk mewujudkannya, hal paling mendasar yang dibutuhkan adalah komitmen yang nyata dari seluruh stakeholder pilkada untuk menjaga dan memastikan penyelenggaraan pilkada yang netral dari praktik partisan ASN.

ASN harus berkomitmen untuk memenuhi janji netralitasnya sebagaimana yang diikrarkan dalam sumpah profesi ASN maupun yang diamanatkan secara normatif dalam berbagai kerangka hukum yang mengatur. Pilkada bagi aktor ASN di daerah harus mampu dijadikan sebagai batu uji sejarah untuk memegang teguh profesionalisme dan sikap ketidakberpihakan dari segala bentuk pengaruh politik mana pun dan kepentingan politik siapa pun. Demikian pula, kontestan pilkada tidak lagi menggunakan cara-cara curang atau kotor untuk memperalati dan memobilisasi sumber daya ASN sebagai mesin partisan untuk memenangkan kepentingan politiknya.
(jon)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0845 seconds (0.1#10.140)