Akhir Drama Perebutan Kursi DKI-2?

Kamis, 23 Januari 2020 - 06:48 WIB
Akhir Drama Perebutan Kursi DKI-2?
Akhir Drama Perebutan Kursi DKI-2?
A A A
A Ahsin Thohari

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta

SETELAH hampir satu setengah tahun terkatung-katung dalam ketidakpastian pengisian jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta (DKI-2), warga Jakarta kini boleh berharap itu segera berakhir dalam beberapa hari ke depan. Seperti diketahui, kursi DKI-2 kosong sejak 27 Agustus 2018 setelah ditinggalkan Sandiaga Uno yang berniat maju menjadi calon wakil presiden. Akan tetapi, sayangnya, dua partai politik pemilik hak untuk mengusulkan kandidat pengganti Sandi tak kunjung mencapai kesepakatan politik.

Akhirnya, pada 20 Januari 2020, surat resmi dari Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bernomor 18/B/Gerindra-PKS/I/2020 yang diserahkan kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengusulkan Ahmad Riza Patria berasal dari Partai Gerindra dan Nurmansjah Lubis berasal dari PKS untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD DKI Jakarta. Surat itu sekaligus membatalkan surat terdahulu bertanggal 22 Februari 2019 yang mengusulkan dua kader PKS, yaitu Agung Yulianto dan Ahmad Syaikhu sebagai pengganti Sandi. Akankah ini menjadi akhir sebuah drama perebutan kursi DKI-2 sehingga Anies Baswedan tidak lagi menjalankan amanah beratnya memimpin Jakarta dengan segenap kompleksitas persoalan yang menderanya dalam kesendirian?

Dari Gubernur ke DPRD

Akrobat politik dari Partai Gerindra dan PKS yang kental mewarnai pengisian jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini memang tak terhindarkan sebagai resultan dari beralihnya wewenang pengusulan calon untuk mengisi jabatan wakil gubernur yang kosong. Jika dulu gubernur menjadi pemegang wewenang untuk mengusulkan calon wakil gubernur kepada presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk diangkat menjadi wakil gubernur, maka kini pengisian jabatan wakil gubernur dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD provinsi berdasarkan usulan dari partai politik atau gabungan partai politik pengusung.

Pasal 176 Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1/2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang, menentukan bahwa dalam hal wakil gubernur berhenti karena permintaan sendiri, pengisian jabatannya dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD provinsi berdasarkan usulan dari partai politik atau gabungan partai politik pengusung.

Partai politik atau gabungan partai politik pengusung harus mengusulkan dua orang calon kepada DPRD provinsi melalui gubernur untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD provinsi. Pengisian jabatan Wakil Gubernur DKI melalui rapat paripurna DPRD provinsi ini mesti dilakukan karena sisa masa jabatannya lebih dari 18 bulan terhitung sejak kosongnya jabatan itu. Berlalunya waktu nyaris satu setengah tahun tanpa wakil gubernur yang bertindak selaku wakil kepala daerah di provinsi sepenting DKI Jakarta jelas bukan praktik ketatanegaraan di tingkat daerah yang patut dibanggakan apalagi dicontoh daerah lain.

Berdasarkan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, wakil kepala daerah mempunyai tugas (a) membantu kepala daerah memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan, mengoordinasikan kegiatan perangkat daerah, dan memantau serta mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah; (b) memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah; (c) melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara; dan (d) melaksanakan tugas lain.

Tugas-tugas sevital itu semestinya menjadi pertimbangan utama bagi partai politik atau gabungan partai politik pengusung untuk menyampingkan ego politiknya. Kita sepenuhnya menyadari bahwa gabungan partai politik yang mengusung kandidat kepala daerah adalah koalisi rapuh yang penuh dengan warna pragmatisme politik sehingga mudah goyah oleh orientasi dan preferensi politik yang bersifat taktis belaka. Acap kali beberapa partai politik bergabung hanya sekadar dilatari kepentingan jangka pendek untuk memenangi kontestasi elektoral di tingkat lokal, bukan memenangi perjuangan ideologi strategis yang dapat ditawarkan untuk membangun daerah.

Bukan "Asosiasi Swasta"

Dalam konteks perebutan kursi DKI-2, rasa sesal patut kita alamatkan kepada Partai Gerindra dan PKS yang gagal membangun konsensus politik dengan cepat untuk memutuskan wakil gubernur pengganti Sandi sehingga seluruh warga Jakarta harus menanggung akibatnya karena kehilangan figur wakil gubernur yang tentu menghambat eksekusi pembangunan yang dijanjikan pada saat kampanye. Kita telah menyaksikan bahwa gubernur seorang diri tanpa kehadiran wakilnya terbukti tidak efektif dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Pimpinan pengurus pusat kedua partai politik itu secara kasatmata telah mempraktikkan gejala personalisasi partai politik yang menempatkan ketua umum sebagai sosok utama yang mengatasi segala hal di luar dirinya. Dengan begitu, dapat mengambil kebijakan politik dalam satu kesempatan atau bahkan memutar haluan kebijakan politik itu dalam kesempatan lain sama mudahnya. Pada sisi lain, pimpinan pengurus kedua partai politik itu di tingkat provinsi hanya menampilkan peran sekunder dalam proses kandidasi yang hampir tidak diberi porsi memadai untuk menampakkan aspirasi politik sesungguhnya.

Padahal, menurut Pippa Norris dalam Building Political Parties: Reforming Legal Regulation and Internal Rules (2004), internal partai politik seharusnya mempromosikan nilai-nilai demokrasi di seluruh tingkatan kepengurusan dalam berbagai isu termasuk kandidasi pemimpin di daerah. Memang, menurut teori liberal, partai politik telanjur dianggap sebagai "asosiasi swasta" yang berhak bersaing secara bebas di bursa demokrasi elektoral serta mengatur struktur dan proses internal mereka sendiri. Akan tetapi, membangun demokrasi pada tingkat internal partai politik sama pentingnya dengan membangun demokrasi pada tingkat negara karena keduanya sama-sama menjadi instrumen pencapaian kesejahteraan rakyat.

Anggapan bahwa partai politik merupakan "asosiasi swasta" ini tentu saja tidak sejalan dengan Pasal 11 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 2/2008 tentang Partai Politik, yang menentukan bahwa salah satu fungsi partai politik adalah rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Ketentuan ini secara tegas ingin mewajibkan partai politik agar mekanisme demokrasi harus ditempuh dalam setiap proses pengisian jabatan politik termasuk wakil gubernur.

Persoalan lain yang juga tampak dalam drama perebutan kursi DKI-2 adalah adanya residu politik hasil Pemilu 2019 yang mengendap begitu tebal, yang akhirnya menjadi kontaminan pengisian jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Seperti diketahui, Partai Gerindra dan PKS adalah sekutu baik di Pilkada DKI Jakarta 2017 maupun Pemilu 2019. Tetapi, di tikungan terakhir, Partai Gerindra justru berbalik arah dengan mendukung seterunya dan bersedia masuk kabinet bentukan Joko Widodo. Adapun PKS tetap bersikukuh meniti jalan sunyi oposisi.

Perubahan konfigurasi politik di tingkat pusat ini sedikit ataupun banyak turut menjelaskan mengapa Partai Gerindra dan PKS batal menjagokan dua kader PKS, yakni Agung Yulianto dan Ahmad Syaikhu menjadi calon pengganti Sandi. Memang, para politisi itu penguasa seni penipuan "Politicians are masters of the art of deception," kata Martin L Gross seperti dikutip Robert W Fearn dalam Amoral America (2007).

Pada akhirnya, kita hanya berharap semoga kemuakan politik warga Jakarta yang telah berbulan-bulan disuguhi drama perebutan kursi DKI-2 tak berkualitas ini akan segera berakhir dengan kebahagiaan karena dalam waktu dekat akan terpilih wakil gubernur yang terbaik.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5474 seconds (0.1#10.140)