Menuntaskan Tambang Ilegal
A
A
A
Rio ChristiawanDosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
Rencana pemerintah menuntaskan persoalan tambang ilegal di lokasi calon ibu kota negara baru di Kalimantan Timur ramai diberitakan berbagai media beberapa hari ini. Perlu dipahami bahwa saat ini persoalan tambang ilegal tidak hanya terjadi pada lokasi calon ibu kota negara, melainkan juga di hampir semua pulau besar di Indonesia, seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua.
Tambang ilegal juga bukan hal baru di Tanah Air. Mengacu pada laporan Asian Development Bank (ADB) 2019, persoalan ini telah terjadi sejak zaman kolonial Belanda dan kini tambang ilegal justru merambah industri yang menopang ekonomi Indonesia. Seperti contohnya di Jambi, keberadaan tambang ilegal justru merongrong perkebunan kelapa sawit yang menjadi penyumbang devisa utama bagi Indonesia.
Selain menimbulkan kerugian ekonomi, keberadaan tambang ilegal juga menimbulkan persoalan lingkungan, seperti contohnya bencana tanah longsor di Lebak-Banten. Persoalan lingkungan lainnya adalah punah maupun terganggunya ekosistem akibat bahan maupun cara yang dipergunakan pada tambang ilegal. Hal ini terjadi karena tambang ilegal tidak memiliki analisis mengenai dampak lingkungan sehingga menyebabkan kerusakan pada lingkungan maupun bencana alam.
Niat pemerintah menuntaskan persoalan tambang ilegal mestinya tidak hanya dilakukan di lokasi sekitar ibu kota yang baru di Kalimantan Timur. Akan jauh lebih baik jika pemerintah menggunakan momentum ini untuk menuntaskan seluruh area tambang ilegal di seluruh wilayah Tanah Air.
Menurut Whitehead (2010), tambang ilegal bukan saja kejahatan terhadap lingkungan, tetapi merupakan kejahatan terhadap seluruh populasi yang ada di bumi. Sejalan dengan pendapat tersebut, tambang ilegal merupakan kejahatan yang menimbulkan kerugian sangat besar jika dihitung secara ekonomis.
Fritjof Capra (2002) menyebutkan, menuntaskan persoalan lingkungan jika tidak dibarengi dengan keseriusan pemerintah, maka tidak akan menghasilkan titik balik (turning point) untuk ekosistem lingkungan dan kehidupan manusia yang lebih baik. Artinya, persoalan menuntaskan tambang ilegal ini terletak pada kemauan dan keseriusan pemerintah saja, karena dalam konteks ini negara memiliki kedaulatan untuk mengatur seluruh wilayahnya.
Faktor dan Solusi
Tiga faktor menyebabkan terjadinya tambang ilegal. Pertama, persoalan regulasi di bidang pertambangan. Kedua, persoalan pengawasan terhadap keberadaan tambang ilegal. Ketiga, persoalan lemahnya penegakan hukum terhadap tambang ilegal. Dari aspek regulasi, tampaknya pertambangan memang sektor yang juga perlu mendapat perhatian pemerintah terkait penyederhanaan perizinan. Sudah tepat rencana pemerintah membentuk omnibus law pada beberapa sektor strategis, salah satunya terkait sumber daya alam.
Pada konteks ini pengertian ilegal dapat dimaknai sebagai tambang yang tidak memiliki perizinan secara resmi sebagaimana diatur oleh pemerintah melalui peraturan perundang-undangan. Persoalannya sekarang investor yang hendak melakukan investasi di bidang tambang memerlukan waktu lama dan investasi biaya yang besar (di samping potensi adanya pungutan liar) dalam mengurus perizinan. Biaya yang besar tersebut tidak disertai dengan adanya kepastian pada investor.
Misalnya, pengurusan izin eksplorasi berbeda dengan izin eksploitasi. Demikian halnya dengan izin pemurnian maupun pembangunan smelter. Semuanya merupakan hak subjektif pemerintah untuk memberikan izin. Pada persoalan ini pemerintah harus membenahi regulasi perizinan pembukaan tambang secara legal, sebab dengan regulasi dan perizinan yang mudah dan murah, maka dibandingkan melakukan tambang ilegal dengan segala risikonya, aktivitas tambang secara legal akan menjadi pilihan utama.
Sebaliknya, jika pengurusan perizinan masih mahal dan sulit untuk dijangkau, berakibat pada pengurusan tambang legal yang transaksional. Pelaku tambang ilegal juga akan lebih memilih transaksi meskipun menghadapi risiko pelanggaran hukum. Hal ini akan berujung pada tindakan koruptif sehingga menyederhanakan perizinan tambang legal menjadi sebuah keharusan guna menuntaskan persoalan tambang ilegal.
Persoalan kedua, terkait lemahnya pengawasan terhadap tambang ilegal ini. Ini merupakan sebuah ironi ketika ada tambang ilegal yang diketahui pemerintah dan dinas terkait namun selama bertahun-tahun tidak ada tindakan untuk menuntaskannya.
Sebagai contoh nyata, persoalan tambang ilegal di Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi, yang sudah masuk tahap sangat mengkhawatirkan, tapi pemerintah setempat tidak melakukan tindakan apapun.
Pengawasan yang optimal, selain bisa menyelesaikan tambang ilegal, juga guna mencegah munculnya pelaku tambang ilegal baru. Demikian juga pengawasan dimaksudkan untuk memberi pemahaman kepada masyarakat akan bahaya tambang ilegal bagi ekosistem lingkungan dan kehidupan manusia itu sendiri. Dengan begitu, pada akhirnya seluruh masyarakat akan berpartisipasi mencegah dan memerangi munculnya tambang ilegal.
Persoalan ketiga, penegakan hukum yang lemah terhadap pelaku tambang ilegal. Indikatornya sangat jelas. Berapa persen dari jumlah
laporan polisi terkait adanya tambang ilegal yang ditindaklanjuti minimal hingga tahap penyidikan? Demikian juga terkait proses di pengadilan.
Penyelesaian persoalan ini harus dibarengi dengan upaya reformasi birokrasi. Pada beberapa daerah justru aparat penegak hukum menjadi bagian dari tambang ilegal tersebut, baik secara langsung menjadi pemilik maupun sekadar hanya menjadi beking dan menerima setoran dari aktivitas tambang ilegal.
Penegakan hukum maksimal dan aparat yang memiliki integritas akan menghasilkan penegakan hukum optimal bagi pelaku tambang ilegal sehingga akan menghasilkan efek jera. Pada bagian ini tim gerakan nasional penyelamatan sumber daya alam (GNPSDA) yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa diaktifkan guna mendukung sektor ini.
Sebaliknya, tanpa penegakan hukum yang memadai, tambang ilegal akan semakin meluas dan pelaku tambang ilegal akan memilih menempuh jalan koruptif transaksional bersama oknum aparat penegak hukum.
Niat pemerintah untuk segera menuntaskan permasalahan tambang ilegal merupakan momentum baik dan harus dikawal bersama-sama agar bisa diwujudkan, tidak saja di lokasi calon ibu kota negara, tetapi di seluruh lokasi tambang ilegal di Indonesia.
Demikian juga penting bagi pemerintah untuk merehabilitasi dan merestorasi lingkungan serta ekosistem sumber daya alam perkampungan masyarakat terdampak tambang ilegal maupun bekas tambang ilegal. Dalam hal ini guna menghindari okupasi secara liar, maka pemerintah perlu mengembalikan lingkungan dan ekosistem sumber daya alam pada fungsi aslinya dengan melakukan rehabilitasi dan restorasi.
Rencana pemerintah menuntaskan persoalan tambang ilegal di lokasi calon ibu kota negara baru di Kalimantan Timur ramai diberitakan berbagai media beberapa hari ini. Perlu dipahami bahwa saat ini persoalan tambang ilegal tidak hanya terjadi pada lokasi calon ibu kota negara, melainkan juga di hampir semua pulau besar di Indonesia, seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua.
Tambang ilegal juga bukan hal baru di Tanah Air. Mengacu pada laporan Asian Development Bank (ADB) 2019, persoalan ini telah terjadi sejak zaman kolonial Belanda dan kini tambang ilegal justru merambah industri yang menopang ekonomi Indonesia. Seperti contohnya di Jambi, keberadaan tambang ilegal justru merongrong perkebunan kelapa sawit yang menjadi penyumbang devisa utama bagi Indonesia.
Selain menimbulkan kerugian ekonomi, keberadaan tambang ilegal juga menimbulkan persoalan lingkungan, seperti contohnya bencana tanah longsor di Lebak-Banten. Persoalan lingkungan lainnya adalah punah maupun terganggunya ekosistem akibat bahan maupun cara yang dipergunakan pada tambang ilegal. Hal ini terjadi karena tambang ilegal tidak memiliki analisis mengenai dampak lingkungan sehingga menyebabkan kerusakan pada lingkungan maupun bencana alam.
Niat pemerintah menuntaskan persoalan tambang ilegal mestinya tidak hanya dilakukan di lokasi sekitar ibu kota yang baru di Kalimantan Timur. Akan jauh lebih baik jika pemerintah menggunakan momentum ini untuk menuntaskan seluruh area tambang ilegal di seluruh wilayah Tanah Air.
Menurut Whitehead (2010), tambang ilegal bukan saja kejahatan terhadap lingkungan, tetapi merupakan kejahatan terhadap seluruh populasi yang ada di bumi. Sejalan dengan pendapat tersebut, tambang ilegal merupakan kejahatan yang menimbulkan kerugian sangat besar jika dihitung secara ekonomis.
Fritjof Capra (2002) menyebutkan, menuntaskan persoalan lingkungan jika tidak dibarengi dengan keseriusan pemerintah, maka tidak akan menghasilkan titik balik (turning point) untuk ekosistem lingkungan dan kehidupan manusia yang lebih baik. Artinya, persoalan menuntaskan tambang ilegal ini terletak pada kemauan dan keseriusan pemerintah saja, karena dalam konteks ini negara memiliki kedaulatan untuk mengatur seluruh wilayahnya.
Faktor dan Solusi
Tiga faktor menyebabkan terjadinya tambang ilegal. Pertama, persoalan regulasi di bidang pertambangan. Kedua, persoalan pengawasan terhadap keberadaan tambang ilegal. Ketiga, persoalan lemahnya penegakan hukum terhadap tambang ilegal. Dari aspek regulasi, tampaknya pertambangan memang sektor yang juga perlu mendapat perhatian pemerintah terkait penyederhanaan perizinan. Sudah tepat rencana pemerintah membentuk omnibus law pada beberapa sektor strategis, salah satunya terkait sumber daya alam.
Pada konteks ini pengertian ilegal dapat dimaknai sebagai tambang yang tidak memiliki perizinan secara resmi sebagaimana diatur oleh pemerintah melalui peraturan perundang-undangan. Persoalannya sekarang investor yang hendak melakukan investasi di bidang tambang memerlukan waktu lama dan investasi biaya yang besar (di samping potensi adanya pungutan liar) dalam mengurus perizinan. Biaya yang besar tersebut tidak disertai dengan adanya kepastian pada investor.
Misalnya, pengurusan izin eksplorasi berbeda dengan izin eksploitasi. Demikian halnya dengan izin pemurnian maupun pembangunan smelter. Semuanya merupakan hak subjektif pemerintah untuk memberikan izin. Pada persoalan ini pemerintah harus membenahi regulasi perizinan pembukaan tambang secara legal, sebab dengan regulasi dan perizinan yang mudah dan murah, maka dibandingkan melakukan tambang ilegal dengan segala risikonya, aktivitas tambang secara legal akan menjadi pilihan utama.
Sebaliknya, jika pengurusan perizinan masih mahal dan sulit untuk dijangkau, berakibat pada pengurusan tambang legal yang transaksional. Pelaku tambang ilegal juga akan lebih memilih transaksi meskipun menghadapi risiko pelanggaran hukum. Hal ini akan berujung pada tindakan koruptif sehingga menyederhanakan perizinan tambang legal menjadi sebuah keharusan guna menuntaskan persoalan tambang ilegal.
Persoalan kedua, terkait lemahnya pengawasan terhadap tambang ilegal ini. Ini merupakan sebuah ironi ketika ada tambang ilegal yang diketahui pemerintah dan dinas terkait namun selama bertahun-tahun tidak ada tindakan untuk menuntaskannya.
Sebagai contoh nyata, persoalan tambang ilegal di Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi, yang sudah masuk tahap sangat mengkhawatirkan, tapi pemerintah setempat tidak melakukan tindakan apapun.
Pengawasan yang optimal, selain bisa menyelesaikan tambang ilegal, juga guna mencegah munculnya pelaku tambang ilegal baru. Demikian juga pengawasan dimaksudkan untuk memberi pemahaman kepada masyarakat akan bahaya tambang ilegal bagi ekosistem lingkungan dan kehidupan manusia itu sendiri. Dengan begitu, pada akhirnya seluruh masyarakat akan berpartisipasi mencegah dan memerangi munculnya tambang ilegal.
Persoalan ketiga, penegakan hukum yang lemah terhadap pelaku tambang ilegal. Indikatornya sangat jelas. Berapa persen dari jumlah
laporan polisi terkait adanya tambang ilegal yang ditindaklanjuti minimal hingga tahap penyidikan? Demikian juga terkait proses di pengadilan.
Penyelesaian persoalan ini harus dibarengi dengan upaya reformasi birokrasi. Pada beberapa daerah justru aparat penegak hukum menjadi bagian dari tambang ilegal tersebut, baik secara langsung menjadi pemilik maupun sekadar hanya menjadi beking dan menerima setoran dari aktivitas tambang ilegal.
Penegakan hukum maksimal dan aparat yang memiliki integritas akan menghasilkan penegakan hukum optimal bagi pelaku tambang ilegal sehingga akan menghasilkan efek jera. Pada bagian ini tim gerakan nasional penyelamatan sumber daya alam (GNPSDA) yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa diaktifkan guna mendukung sektor ini.
Sebaliknya, tanpa penegakan hukum yang memadai, tambang ilegal akan semakin meluas dan pelaku tambang ilegal akan memilih menempuh jalan koruptif transaksional bersama oknum aparat penegak hukum.
Niat pemerintah untuk segera menuntaskan permasalahan tambang ilegal merupakan momentum baik dan harus dikawal bersama-sama agar bisa diwujudkan, tidak saja di lokasi calon ibu kota negara, tetapi di seluruh lokasi tambang ilegal di Indonesia.
Demikian juga penting bagi pemerintah untuk merehabilitasi dan merestorasi lingkungan serta ekosistem sumber daya alam perkampungan masyarakat terdampak tambang ilegal maupun bekas tambang ilegal. Dalam hal ini guna menghindari okupasi secara liar, maka pemerintah perlu mengembalikan lingkungan dan ekosistem sumber daya alam pada fungsi aslinya dengan melakukan rehabilitasi dan restorasi.
(nag)