Was-was Indonesia Emas
A
A
A
Arif Budi RahmanPeneliti di Badan Kebijakan
Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan
Presiden Joko Widodo telah menetapkan lima agenda prioritas pada masa kepemimpinannya lima tahun mendatang. Satu di antara agenda tersebut adalah membangun sumber daya manusia (SDM). Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 juga ditekankan komitmen pada pembangunan SDM yang sehat, cerdas, adaptif, dan inovatif.
Kendati tidak jelas benar apa yang dimaksud dengan inovatif, setidaknya banyak rujukan literatur dan praktik baik (best practice) di berbagai negara yang menunjukkan betapa penting inovasi dan kreativitas dalam mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Tentang inovasi, Iftekhar Hasan dan Christopher Tucci dalam The Innovation-Economic Growth Nexus: Global Evidence (2010) yang melakukan metariset di 58 negara antara 1980-2003 menemukan hubungan positif antara inovasi (diukur dari jumlah paten) dan pertumuhan ekonomi suatu negara.
Daya inovasi itu sendiri tidak lepas dari ide-ide kreatif yang relatif baru dan implementatif (Roy Chua dan Jerry Zremski, 2016). Dengan kata lain, inovasi tidak terlepas dari kualitas modal manusia (human capital), yakni tingkat pendidikan dan kesehatan warganya.
Agar bonus demografi yang posisi puncaknya akan berlangsung pada 2021-2024 dapat dimanfaatkan maksimal, kualitas SDM menjadi niscaya. Dalam konteks Indonesia, tantangan ganda menjadi sandungan utama, yakni kualitas pendidikan rendah dan persentase stunting yang masih tinggi.
Kecukupan keterampilan (skill adequacy) tenaga kerja Indonesia masih didominasi tenaga kerja berpendidikan SMP ke bawah. Tambahan pula, saat ini satu dari tiga balita Indonesia mengalami kondisi stunting yang berdampak pada tingkat kecerdasan, produktivitas rendah, dan kerentanan terhadap penyakit degeneratif saat dewasa.
Mewujudkan mimpi Indonesia emas 2045 sebagai lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan produk domestik bruto 7 triliun dolar AS tampaknya masih menyisakan harap-harap cemas. Hal ini tidak lepas dari berbagai indikator capaian yang masih memprihatinkan.
Misalnya, kendati puncak bonus demografi tinggal satu tahun lagi kita tapaki, kualitas modal manusia Indonesia masih jauh dari memadai. Padahal, target pertumbuhan ekonomi rata-rata 5% sampai 6% per tahun mensyaratkan tenaga kerja piawai dan produktivitas mumpuni.
Laporan indeks kualitas SDM yang dirilis bersamaan dengan sidang tahunan World Bank-IMF di Bali 2018 menyebutkan, skor Indonesia dalam Indeks Modal Manusia adalah 0,53. Artinya, seorang anak yang dilahirkan hari ini hanya akan mencapai tingkat produktivitas 53%. Dengan kata lain, sebagai angkatan kerja di masa mendatang, yakni ketika mereka berusia 18 tahun, ada separuh potensi produktivitas yang hilang. Kondisi ini tidak lepas dari kualitas pendidikan dan kesehatan yang mereka terima saat ini.
Laporan ini menunjukkan kualitas pembangunan manusia masih cukup mengkhawatirkan. Apalagi, apabila ditempatkan dalam konteks Revolusi Industri 4.0 yang mensyaratkan kualitas SDM mumpuni. Jika dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN, posisi Indonesia masih di bawah Singapura (1), Vietnam (48), Malaysia (57), Thailand (68), dan Filipina (82).
Setali tiga uang, merujuk pada hasil survei Global Creativity Index, Indonesia belum termasuk dalam kelompok negara kreatif. Berdasarkan hasil survei itu, Indonesia menempati peringkat ke-115 dari 139 negara. Posisi tersebut jauh di bawah negara tetangga seperti Singapura (9), Filipina (52), Malaysia (63), dan Vietnam (80).
Indikator lain yang diinisiasi Cornell University, INSEAD, and the World Intellectual Property Organization (WIPO), bertajuk Global Innovation Index (GII) menunjukkan hasil yang mirip. Indeks ini memberikan skor terhadap kapasitas inovasi dan pertumbuhan ekonomi. Beberapa aspek yang menjadi penilaian termasuk kelembagaan, modal manusia dan kapasitas riset, infrastruktur, pendanaan, investasi, daya kreasi, penyerapan dan penyebaran ilmu pengetahuan, serta produk kreatif.
Riset ini dilakukan karena inovasi memiliki peran sentral sebagai pendorong kemajuan ekonomi. Dari 129 negara yang disurvei, Indonesia menempati peringkat ke-85 atau kedua terendah di kawasan ASEAN. Lagi-lagi fakta ini membuktikan betapa kita masih memiliki pekerjaan rumah begitu banyak sebelum mencapai impian emas.
Beberapa rekomendasi kebijakan yang muncul dari studi tersebut antara lain lemahnya mutu SDM dan kualitas penelitian dan pengembangan (litbang) yang dilihat antara lain dari belanja pendidikan per siswa dan alokasi anggaran untuk riset. Sedangkan dari sisi kelembagaan, kelemahan terutama pada regulasi yang tidak kondusif.
Karena kreativitas dan inovasi berkorelasi positif dengan daya saing dan kemakmuran suatu negara, bisa ditebak bahwa posisi Indonesia dalam daya saing global juga keteteran. Berdasar laporan Global Competitiveness Report 2019 yang dipublikasikan World Economy Forum, Indonesia berada pada peringkat ke-50 dari 141 negara, turun lima peringkat dari satu tahun sebelumnya.
Membangun basis kompetensi SDM tentu tidak terlepas dari sistem pendidikan. Pendidikan merupakan sarana utama mendongkrak produktivitas dan inovasi. Belajar dari China dan Vietnam yang sistem pendidikannya menurut laporan Bank Dunia bertajuk Growing Smarter:
Learning and Equitable Development in East Asia and Pacific (2018) berkinerja di atas rata-rata negara Asia Timur dan Pasifik, mereka memprioritaskan alokasi anggaran pendidikan lebih banyak bagi provinsi dan kabupaten yang memiliki kesulitan geografis tinggi dan daerah tertinggal.
Tunjangan guru juga lebih tinggi di daerah tersebut dibandingkan dengan mereka yang tinggal di kawasan perkotaan. Di dua negara tersebut ada prioritas anggaran untuk pendidikan dasar yang efektif dan berorientasi pemerataan.
Mengapa pemerataan? Perkembangan teknologi dan Revolusi Industri 4.0 tanpa disertai kesetaraan dan kesempatan sejajar bagi semua orang, maka pendapatan hanya akan terakumulasi pada sekelompok kecil masyarakat. Selain faktor pemerataan, metode pembelajaran yang merangsang kreativitas dan kolaborasi berbasis problem-solving dalam kondisi riil dunia nyata perlu menjadi atensi kementerian terkait pada tahun-tahun mendatang.
Mengingat penguasaan teknologi akan menjadi faktor kunci kelestarian pertumbuhan di era disrupsi digital saat ini, sistem pendidikan vokasi juga perlu dibenahi agar sesuai dengan kebutuhan industri. Program pelatihan, magang, dan pemberian insentif bagi kalangan industri yang sudi berpartisipasi dalam upaya mendongkrak kapasitas SDM domestik perlu terus didorong dan dikembangkan.
Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan
Presiden Joko Widodo telah menetapkan lima agenda prioritas pada masa kepemimpinannya lima tahun mendatang. Satu di antara agenda tersebut adalah membangun sumber daya manusia (SDM). Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 juga ditekankan komitmen pada pembangunan SDM yang sehat, cerdas, adaptif, dan inovatif.
Kendati tidak jelas benar apa yang dimaksud dengan inovatif, setidaknya banyak rujukan literatur dan praktik baik (best practice) di berbagai negara yang menunjukkan betapa penting inovasi dan kreativitas dalam mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Tentang inovasi, Iftekhar Hasan dan Christopher Tucci dalam The Innovation-Economic Growth Nexus: Global Evidence (2010) yang melakukan metariset di 58 negara antara 1980-2003 menemukan hubungan positif antara inovasi (diukur dari jumlah paten) dan pertumuhan ekonomi suatu negara.
Daya inovasi itu sendiri tidak lepas dari ide-ide kreatif yang relatif baru dan implementatif (Roy Chua dan Jerry Zremski, 2016). Dengan kata lain, inovasi tidak terlepas dari kualitas modal manusia (human capital), yakni tingkat pendidikan dan kesehatan warganya.
Agar bonus demografi yang posisi puncaknya akan berlangsung pada 2021-2024 dapat dimanfaatkan maksimal, kualitas SDM menjadi niscaya. Dalam konteks Indonesia, tantangan ganda menjadi sandungan utama, yakni kualitas pendidikan rendah dan persentase stunting yang masih tinggi.
Kecukupan keterampilan (skill adequacy) tenaga kerja Indonesia masih didominasi tenaga kerja berpendidikan SMP ke bawah. Tambahan pula, saat ini satu dari tiga balita Indonesia mengalami kondisi stunting yang berdampak pada tingkat kecerdasan, produktivitas rendah, dan kerentanan terhadap penyakit degeneratif saat dewasa.
Mewujudkan mimpi Indonesia emas 2045 sebagai lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan produk domestik bruto 7 triliun dolar AS tampaknya masih menyisakan harap-harap cemas. Hal ini tidak lepas dari berbagai indikator capaian yang masih memprihatinkan.
Misalnya, kendati puncak bonus demografi tinggal satu tahun lagi kita tapaki, kualitas modal manusia Indonesia masih jauh dari memadai. Padahal, target pertumbuhan ekonomi rata-rata 5% sampai 6% per tahun mensyaratkan tenaga kerja piawai dan produktivitas mumpuni.
Laporan indeks kualitas SDM yang dirilis bersamaan dengan sidang tahunan World Bank-IMF di Bali 2018 menyebutkan, skor Indonesia dalam Indeks Modal Manusia adalah 0,53. Artinya, seorang anak yang dilahirkan hari ini hanya akan mencapai tingkat produktivitas 53%. Dengan kata lain, sebagai angkatan kerja di masa mendatang, yakni ketika mereka berusia 18 tahun, ada separuh potensi produktivitas yang hilang. Kondisi ini tidak lepas dari kualitas pendidikan dan kesehatan yang mereka terima saat ini.
Laporan ini menunjukkan kualitas pembangunan manusia masih cukup mengkhawatirkan. Apalagi, apabila ditempatkan dalam konteks Revolusi Industri 4.0 yang mensyaratkan kualitas SDM mumpuni. Jika dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN, posisi Indonesia masih di bawah Singapura (1), Vietnam (48), Malaysia (57), Thailand (68), dan Filipina (82).
Setali tiga uang, merujuk pada hasil survei Global Creativity Index, Indonesia belum termasuk dalam kelompok negara kreatif. Berdasarkan hasil survei itu, Indonesia menempati peringkat ke-115 dari 139 negara. Posisi tersebut jauh di bawah negara tetangga seperti Singapura (9), Filipina (52), Malaysia (63), dan Vietnam (80).
Indikator lain yang diinisiasi Cornell University, INSEAD, and the World Intellectual Property Organization (WIPO), bertajuk Global Innovation Index (GII) menunjukkan hasil yang mirip. Indeks ini memberikan skor terhadap kapasitas inovasi dan pertumbuhan ekonomi. Beberapa aspek yang menjadi penilaian termasuk kelembagaan, modal manusia dan kapasitas riset, infrastruktur, pendanaan, investasi, daya kreasi, penyerapan dan penyebaran ilmu pengetahuan, serta produk kreatif.
Riset ini dilakukan karena inovasi memiliki peran sentral sebagai pendorong kemajuan ekonomi. Dari 129 negara yang disurvei, Indonesia menempati peringkat ke-85 atau kedua terendah di kawasan ASEAN. Lagi-lagi fakta ini membuktikan betapa kita masih memiliki pekerjaan rumah begitu banyak sebelum mencapai impian emas.
Beberapa rekomendasi kebijakan yang muncul dari studi tersebut antara lain lemahnya mutu SDM dan kualitas penelitian dan pengembangan (litbang) yang dilihat antara lain dari belanja pendidikan per siswa dan alokasi anggaran untuk riset. Sedangkan dari sisi kelembagaan, kelemahan terutama pada regulasi yang tidak kondusif.
Karena kreativitas dan inovasi berkorelasi positif dengan daya saing dan kemakmuran suatu negara, bisa ditebak bahwa posisi Indonesia dalam daya saing global juga keteteran. Berdasar laporan Global Competitiveness Report 2019 yang dipublikasikan World Economy Forum, Indonesia berada pada peringkat ke-50 dari 141 negara, turun lima peringkat dari satu tahun sebelumnya.
Membangun basis kompetensi SDM tentu tidak terlepas dari sistem pendidikan. Pendidikan merupakan sarana utama mendongkrak produktivitas dan inovasi. Belajar dari China dan Vietnam yang sistem pendidikannya menurut laporan Bank Dunia bertajuk Growing Smarter:
Learning and Equitable Development in East Asia and Pacific (2018) berkinerja di atas rata-rata negara Asia Timur dan Pasifik, mereka memprioritaskan alokasi anggaran pendidikan lebih banyak bagi provinsi dan kabupaten yang memiliki kesulitan geografis tinggi dan daerah tertinggal.
Tunjangan guru juga lebih tinggi di daerah tersebut dibandingkan dengan mereka yang tinggal di kawasan perkotaan. Di dua negara tersebut ada prioritas anggaran untuk pendidikan dasar yang efektif dan berorientasi pemerataan.
Mengapa pemerataan? Perkembangan teknologi dan Revolusi Industri 4.0 tanpa disertai kesetaraan dan kesempatan sejajar bagi semua orang, maka pendapatan hanya akan terakumulasi pada sekelompok kecil masyarakat. Selain faktor pemerataan, metode pembelajaran yang merangsang kreativitas dan kolaborasi berbasis problem-solving dalam kondisi riil dunia nyata perlu menjadi atensi kementerian terkait pada tahun-tahun mendatang.
Mengingat penguasaan teknologi akan menjadi faktor kunci kelestarian pertumbuhan di era disrupsi digital saat ini, sistem pendidikan vokasi juga perlu dibenahi agar sesuai dengan kebutuhan industri. Program pelatihan, magang, dan pemberian insentif bagi kalangan industri yang sudi berpartisipasi dalam upaya mendongkrak kapasitas SDM domestik perlu terus didorong dan dikembangkan.
(nag)