Mengkritisi Kebijakan Kredit Usaha Rakyat

Kamis, 16 Januari 2020 - 06:36 WIB
Mengkritisi Kebijakan Kredit Usaha Rakyat
Mengkritisi Kebijakan Kredit Usaha Rakyat
A A A
AULIA RAHIM

Alumni Master of Public Policy and Management Melbourne University,

Pemerhati Kebijakan Publik

SEKTOR usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) adalah tulang punggung perekonomian bangsa. Sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional, UMKM berkontribusi terhadap lebih dari 60% produk domestik bruto (PDB) di Tanah Air. Data Kementerian Koperasi dan UMKM menunjukkan bahwa 62,9 juta unit bisnis UMKM mampu menyerap 120 juta pekerja atau sekitar 96% dari tenaga kerja yang ada saat ini.

Sementara dari sisi ekspor, UMKM menyumbang sekitar 15,7% dari total ekspor Indonesia. Hanya, permasalahan klasik terkait aksesibilitas kredit masih sering dihadapi para pelaku di sektor ini. Acap dianggap tidak bankable, eskalasi pendanaan selalu terkendala di persyaratan agunan. Di beberapa kasus, kegiatan usaha dari pelaku UMKM justru dianggap tidak feasible (tidak berprospek) sehingga creditworthiness -nya diragukan oleh pihak perbankan. Menilik data dari Kementerian Keuangan, sekitar 44 Juta atau 73% dari keseluruhan unit bisnis UMKM di Tanah Air masih kesulitan untuk mendapatkan akses terhadap kredit.

Menyadari potensi UMKM sebagai pahlawan perekonomian nasional, Kredit Usaha Rakyat (KUR) diperkenalkan pertama kali pada 2007. Program yang sejatinya ditujukan untuk mendorong pertumbuhan UMKM, selama tiga periode kepemimpinan presiden, saat ini telah berevolusi baik dari sisi skema penyalurannya maupun dari sisi nilai yang disalurkan.

Skema Penyaluran KUR

Di awal penyalurannya, KUR disalurkan dengan skema iuran jasa penjaminan (IJP). Dengan skema IJP, pemerintah selaku penjamin melakukan pembayaran premi atas kredit yang disalurkan ke debitur UMKM melalui lembaga penjaminan kredit seperti PT Askrindo dan Perum Jamkrindo. Skema penjaminan pada dasarnya merupakan suatu pembagian risiko (risk sharing) antara pihak penjamin dan perbankan. Idealnya, skema penjaminan dapat berjalan dengan baik apabila skema ini diterapkan kepada debitur yang baik dan memiliki potensi usaha yang memadai (feasible), tetapi terkendala oleh masalah agunan (unbankable).

Sayangnya, pola seperti ini di masa lalu menorehkan catatan negatif mengingat tingginya persepsi pelaku usaha yang tidak perlu lagi menyelesaikan kewajibannya karena sudah dijamin oleh pemerintah. Kondisi demikian sering ditemukan pada kasus Kredit Usaha Tani (KUT) dan Perkebunan Inti Rakyat (PIR).

Pada era kepemimpinan Presiden Jokowi, strategi penyaluran KUR diubah dengan lebih mengutamakan skema subsidi bunga. Melalui kebijakan skema subsidi bunga, pemerintah memberikan fasilitas subsidi sehingga kegiatan usaha UMKM dapat bertahan sekaligus memperoleh manfaat. Dalam hal ini, pemerintah menanggung selisih tingkat suku bunga komersial yang berlaku untuk kegiatan usaha. Dengan fasilitas ini, tingkat suku bunga dapat ditekan cukup rendah sampai dengan 7%, atau jauh di bawah tingkat suku bunga kredit pada umumnya.

Melalui kebijakan ini, pemerintah tentu berharap KUR mampu dimanfaatkan untuk kegiatan yang bersifat investasi bagi pengembangan bisnis. Untuk itulah, alokasi KUR setiap tahunnya terus dinaikkan. Jika pada 2015 lalu penyalurannya hanya Rp22,75 triliun, dalam jangka waktu empat tahun (tahun 2019), penyaluran KUR sudah meningkat lima kali lipat hingga mencapai lebih dari Rp120 triliun. Dikembangkan juga perluasan bidang pemanfaatan KUR misalnya untuk sektor pariwisata yang meliputi agen perjalanan wisata, sanggar seni, penyediaan makanan dan minuman, serta industri kerajinan dan oleh-oleh.

Kritik terhadap Kebijakan KUR

Sayangnya, dana penyaluran KUR yang diharapkan akan lebih banyak ke sektor produktif ternyata belum bisa direalisasikan. Data yang didapat dari sistem informasi kredit program (SIKP), pada 2019, terungkap bahwa penyaluran KUR ke sektor produktif masih di bawah target 60%. KUR lagi-lagi didominasi oleh sektor perdagangan yang justru banyak dikritik karena tidak produktif menyerap tenaga kerja. Penyaluran KUR yang terlalu dominan di sektor perdagangan juga dikhawatirkan dapat memicu inflasi yang bisa berakibat pada overheating perekonomian.

Rendahnya penyaluran ke sektor usaha produktif seperti pertanian, perikanan, dan industri pengolahan, tidak hanya disebabkan faktor lemahnya pertumbuhan produksi pada tahun yang lalu, tetapi juga disebabkan adanya faktor kehati-hatian dari pihak perbankan yang berdalih tingginya potensi kredit macet (non-performing loan) di sektor ini. PR besar lainnya adalah bagaimana mendorong KUR bisa disalurkan lebih merata ke daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Saat ini penyaluran KUR di Bali, Nustra, dan Papua bahkan tidak menyentuh 10% dari total penyaluran KUR yang ada.

Melihat fenomena yang terjadi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melemparkan kritik yang cukup tajam. Selain menganggap KUR belum tepat sasaran, porsi penyaluran yang condong ke sektor perdagangan membuat subsidi yang diberikan pemerintah justru "dinikmati" oleh pengusaha-pengusaha kelas menengah yang diuntungkan dari rendahnya tingkat suku bunga. Bank Dunia juga mengkritisi kebijakan skema subsidi bunga karena dianggap dapat mendistorsi pasar.

Dengan skema subsidi bunga, bank nonpenyalur KUR akan sangat kesulitan bersaing di sektor UMKM. Padahal, Bank Indonesia selaku regulator mewajibkan seluruh perbankan di Tanah Air untuk mengalokasikan sedikitnya 20% dari alokasi kredit ke segmen ini. Bank Dunia juga menganggap bahwa kebijakan subsidi bunga kurang efektif karena hal yang paling penting bagi pelaku UMKM adalah ketersediaan dan kemudahan akses pinjaman yang berkelanjutan untuk pengembangan usaha bisnisnya.

KUR pada 2020

Pada 2020 ini, pemerintah telah berkomitmen untuk menyalurkan 70% pembiayaan KUR ke sektor-sektor usaha produktif. Selain itu, terdapat kenaikan dari sisi nilai yang disalurkan yang mencapai Rp140 triliun. Untuk itu, pemerintah akan memberikan sanksi tegas bagi perbankan penyalur KUR yang tidak mematuhi ketentuan yang diatur berupa pengurangan plafon KUR dari 5-30% dari tambahan plafon tahun berikutnya. Kebijakan ini diharapkan dapat benar-benar mendorong pihak perbankan untuk menyalurkan pembiayaan KUR ke sektor-sektor usaha produktif sehingga diharapkan dapat memberikan efek multiplier yang lebih besar bagi perekonomian lokal.

Terlepas dari berbagai kritik yang ada, berbagai upaya perbaikan niscaya wajib terus dilakukan. Pengelompokan usaha produksi (klasterisasi) dan penyusunan sistem monitoring dan risk assesment mungkin dapat dijadikan salah satu opsi pencapaian target proporsi 70% tahun ini. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan perluasan cakupan penyaluran ke sektor jasa yang memiliki perputaran bisnis yang lebih cepat dibandingkan sektor-sektor produktif lainnya.

Selain itu, pemerintah juga perlu untuk melakukan pengukuran terhadap dampak penyaluran KUR secara lebih komprehensif. Studi dampak kebijakan KUR saat ini belum pernah dilakukan secara utuh sehingga wajar apabila klaim keberhasilan KUR selalu diragukan banyak pihak. Publik tentu ingin tahu, apakah dana sebesar itu memang memberikan dampak positif bagi perekonomian atau justru tidak memberikan dampak yang optimal seperti yang diharapkan. Mengingat semakin derasnya dana publik (APBN) yang dikucurkan untuk menyubsidi program ini, upaya pemerintah mengevaluasi kebijakan KUR seyogianya wajib didukung bersama; karena pada akhirnya penyaluran KUR yang tepat sasaran akan membuat masyarakat bisa merasakan kehadiran negara secara utuh.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6678 seconds (0.1#10.140)