Muhasabah Kebangsaan
A
A
A
Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UMJ
NEGERI dan bangsa tercinta ini tidak pernah sepi dari persoalan yang harus dicarikan solusinya. Sebagian masalah itu ”selesai” dan ”hilang dari peredaran” karena masalah baru muncul, dan segera mengubur masalah lama yang belum selesai. Skandal korupsi BLBI, proyek Hambalang, Bank Century, dan sekarang dugaan korupsi 13,7 triliun pada BUMN Jiwasraya, boleh jadi penuntasan kasusnya tidak jelas jika tidak diusut dan diselesaikan setuntas-tuntasnya.
Berbagai persoalan bangsa lainnya, seperti maraknya korupsi, bangkitnya komunisme, meningkatnya kemiskinan, serbuan tenaga kerja asing, rendahnya kedaulatan pangan, mewabahnya isu dan berita hoaks di media sosial, dan sebagainya merupakan masalah bangsa yang perlu disikapi dan dijadikan sebagai bahan muhasabah (introspeksi, evaluasi, dan audit diri) sebagai hamba Allah dan warga bangsa.
Menyongsong tahun baru 2020, muhasabah merupakan salah satu langkah strategis untuk berkomitmen menyelesaikan persoalan sekaligus membangun masa depan Indonesia maju, adil, dan makmur. Pertanyaannya, ”Sudah jujur dan benarkah semua masalah tersebut diselesaikan, atau hanya pura-pura ditangani padahal tidak diselesaikan?” Mengapa berbagai persoalan itu muncul silih berganti, seperti silih bergantinya musibah yang menimpa bangsa ini: meletusnya gunung berapi, gempa bumi, banjir bandang, menggunungnya utang luar negeri, dan sebagainya?
Oleh karena itu, muhasabah kebangsaan idealnya menyadarkan kita semua untuk jujur dan bersikap terbuka dalam meminta fatwa kepada hati nurani. Apakah pikiran, sikap, dan tindakan kita selama ini telah mendengar dan menaati suara (kebenaran) hati nurani atau justru banyak menuruti hawa nafsu dan akal bulus untuk memuaskan segala kepentingan pribadi dan/atau golongan kita, bukan kepentingan kebangsaan?
Esensi muhasabah adalah bertanya dengan jujur kepada diri sendiri dalam rangka introspeksi, evaluasi, dan audit diri sendiri. Tujuan muhasabah kebangsaan adalah untuk menumbuhkan kesadaran moral terhadap pentingnya mengetahui jati diri, dinamika dan progresivitas kinerja, termasuk kekurangan diri, sehingga berkomitmen untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri dan kesalehan sosial.
Dengan muhasabah, kita memperbarui komitmen dan orientasi mental-spiritual untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dan sesama. Melalui muhasabah yang jujur dan autentik, setiap warga bangsa idealnya menyadari bahwa hidup di dunia ini tidak lama, sehingga perjalanan hidup ini harus dilalui dengan penuh makna dan manfaat bagi orang lain.
Kita semua sedang menempuh perjalanan menuju kematian, lalu menuju alam akhirat untuk diaudit total (dihisab) oleh Allah atas segala amal perbuatan, dimintai pertanggungjawaban, dan diberi balasan setimpal sesuai amal yang pernah diperbuat selama hidup di dunia.
Kontrak umur adalah amanah dan salah satu anugerah yang di akhirat kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT: ”Untuk apa umur yang diberikan itu dipergunakan?” ”Apakah usia yang dianugerahkan itu digunakan untuk melakukan ketaatan kepada Allah ataukah untuk kemaksiatan?
Oleh karena itu, muhasabah harus dilakukan dengan mengembangkan dan memaksimalkan bekal iman dan takwa kepada Allah SWT. ”Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. Dan, janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS al-Hasyr [59]:18-19)
Dengan demikian, muhasabah harus dimaknai sebagai sebuah refleksi mental spiritual menuju istigfar dan tobat nasional, pendekatan diri kepada Allah SWT. Jika kita berefleksi sejenak, dengan mengalkulasi secara sederhana usia perjalanan hidup ini, niscaya kita menjadi lebih sadar bahwa umur kita belum sepenuhnya produktif.
Berapa lama kita sudah belajar, bekerja, berkarya, berdedikasi, beribadah kepada Allah, memberi nilai tambah (manfaat) bagi diri sendiri dan orang lain? Sungguh tepa tepat apa yang pernah diingatkan oleh Umar bin al-Khattab RA: ”Hitunglah (amalan) dirimu, sebelum engkau dihitung (oleh Allah); dan timbanglah amal perbuatan atau kinerjamu sebelum benar-benar ditimbang di akhirat kelak!”
Muhasabah kebangsaan menghendaki semua warga bangsa untuk mau bertaubat, berinabah, beristigfar, bermunajat, dan ber-iltija’ (memohon perlindungan diri) kepada Allah SWT dengan sepenuh hati. Muhasabah kebangsaan ini semakin efektif dan bermakna apabila dibarengi dengan manajemen waktu yang efisien dan efektif dengan mengubah paradigma umur kuantitatif menjadi umur kualitatif.
Bagaimana usia kuantitatif 60 tahun, misalnya, senilai usia kualitatif 600 tahun atau bahkan lebih seperti usia yang dimiliki oleh ulama, seperti: Imam Syafi’i, Imam Bukhari, Imam Muslim, sehingga nama mereka sampai saat ini masih harum dan karya mereka terus ”mengalirkan” pahala akhirat bagi mereka.
Mengelola waktu juga sangat penting sehingga perjalanan hidup ke depan menjadi lebih bermakna. Nabi SAW bersabda: ”Jagalah dan manfaatkanlah (waktu antara) yang lima sebelum datang yang lima: waktu mudamu sebelum pikunmu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, luangmu sebelum sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR al-Hakim)
Proses muhasabah juga harus dibarengi dengan pembuatan rencana atau program yang jelas dan visioner (melihat jauh ke depan) dan berusaha mewujudkannya dengan sungguh-sungguh. Jika muhasabah dilakukan dengan penuh keinsafan dan kesadaran semakin dekatnya kita meninggalkan dunia menuju kematian, niscaya kita akan selalu menjaga istikamah dalam bersikap, beribadah, dan beramal/berkarya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kebangsaan.
Dengan modal dan proses muhasabah tersebut, kita akan dapat meraih buah muhasabah berikut. Pertama, penyadaran diri untuk selalu melakukan taubatan nasuha (taubat yang sepenuh hati). Kedua, kita dapat terhindar dari suíu al-khatimah (keburukan tutup usia). Ketiga, mengetahui dan menyadari kelemahan atau kekurangan diri dengan penuh syukur sehingga selalu berusaha untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Keempat, dapat menumbuhkan sikap positif dan optimistis untuk menatap hari esok secara lebih baik. Kelima, selalu berusaha melejitkan potensi diri untuk meraih prestasi yang lebih tinggi lagi di masa depan. Keenam, mengurangi atau meminimalisasi perbuatan dosa.
Melalui muhasabah kebangsaan, ada baiknya kata bijak berbahasa Arab berikut direnungkan: ”Law kana li adz-dzunub ra’ihah, la ma jalasa ilayya ahad”. Artinya, ”Kalau saja dosa-dosa itu berbau, niscaya tak seorang pun mau mendekat dan berkawan denganku”. Mari bermuhasabah kebangsaan dengan istikamah, agar ”bau dari dosa-dosa” kita dapat dihilangkan dengan taubatan nasuha dan istighfar, sedangkan amal saleh dapat ditingkatkan, sehingga khusnul khatimah dapat diraih.
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UMJ
NEGERI dan bangsa tercinta ini tidak pernah sepi dari persoalan yang harus dicarikan solusinya. Sebagian masalah itu ”selesai” dan ”hilang dari peredaran” karena masalah baru muncul, dan segera mengubur masalah lama yang belum selesai. Skandal korupsi BLBI, proyek Hambalang, Bank Century, dan sekarang dugaan korupsi 13,7 triliun pada BUMN Jiwasraya, boleh jadi penuntasan kasusnya tidak jelas jika tidak diusut dan diselesaikan setuntas-tuntasnya.
Berbagai persoalan bangsa lainnya, seperti maraknya korupsi, bangkitnya komunisme, meningkatnya kemiskinan, serbuan tenaga kerja asing, rendahnya kedaulatan pangan, mewabahnya isu dan berita hoaks di media sosial, dan sebagainya merupakan masalah bangsa yang perlu disikapi dan dijadikan sebagai bahan muhasabah (introspeksi, evaluasi, dan audit diri) sebagai hamba Allah dan warga bangsa.
Menyongsong tahun baru 2020, muhasabah merupakan salah satu langkah strategis untuk berkomitmen menyelesaikan persoalan sekaligus membangun masa depan Indonesia maju, adil, dan makmur. Pertanyaannya, ”Sudah jujur dan benarkah semua masalah tersebut diselesaikan, atau hanya pura-pura ditangani padahal tidak diselesaikan?” Mengapa berbagai persoalan itu muncul silih berganti, seperti silih bergantinya musibah yang menimpa bangsa ini: meletusnya gunung berapi, gempa bumi, banjir bandang, menggunungnya utang luar negeri, dan sebagainya?
Oleh karena itu, muhasabah kebangsaan idealnya menyadarkan kita semua untuk jujur dan bersikap terbuka dalam meminta fatwa kepada hati nurani. Apakah pikiran, sikap, dan tindakan kita selama ini telah mendengar dan menaati suara (kebenaran) hati nurani atau justru banyak menuruti hawa nafsu dan akal bulus untuk memuaskan segala kepentingan pribadi dan/atau golongan kita, bukan kepentingan kebangsaan?
Esensi muhasabah adalah bertanya dengan jujur kepada diri sendiri dalam rangka introspeksi, evaluasi, dan audit diri sendiri. Tujuan muhasabah kebangsaan adalah untuk menumbuhkan kesadaran moral terhadap pentingnya mengetahui jati diri, dinamika dan progresivitas kinerja, termasuk kekurangan diri, sehingga berkomitmen untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri dan kesalehan sosial.
Dengan muhasabah, kita memperbarui komitmen dan orientasi mental-spiritual untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dan sesama. Melalui muhasabah yang jujur dan autentik, setiap warga bangsa idealnya menyadari bahwa hidup di dunia ini tidak lama, sehingga perjalanan hidup ini harus dilalui dengan penuh makna dan manfaat bagi orang lain.
Kita semua sedang menempuh perjalanan menuju kematian, lalu menuju alam akhirat untuk diaudit total (dihisab) oleh Allah atas segala amal perbuatan, dimintai pertanggungjawaban, dan diberi balasan setimpal sesuai amal yang pernah diperbuat selama hidup di dunia.
Kontrak umur adalah amanah dan salah satu anugerah yang di akhirat kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT: ”Untuk apa umur yang diberikan itu dipergunakan?” ”Apakah usia yang dianugerahkan itu digunakan untuk melakukan ketaatan kepada Allah ataukah untuk kemaksiatan?
Oleh karena itu, muhasabah harus dilakukan dengan mengembangkan dan memaksimalkan bekal iman dan takwa kepada Allah SWT. ”Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. Dan, janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS al-Hasyr [59]:18-19)
Dengan demikian, muhasabah harus dimaknai sebagai sebuah refleksi mental spiritual menuju istigfar dan tobat nasional, pendekatan diri kepada Allah SWT. Jika kita berefleksi sejenak, dengan mengalkulasi secara sederhana usia perjalanan hidup ini, niscaya kita menjadi lebih sadar bahwa umur kita belum sepenuhnya produktif.
Berapa lama kita sudah belajar, bekerja, berkarya, berdedikasi, beribadah kepada Allah, memberi nilai tambah (manfaat) bagi diri sendiri dan orang lain? Sungguh tepa tepat apa yang pernah diingatkan oleh Umar bin al-Khattab RA: ”Hitunglah (amalan) dirimu, sebelum engkau dihitung (oleh Allah); dan timbanglah amal perbuatan atau kinerjamu sebelum benar-benar ditimbang di akhirat kelak!”
Muhasabah kebangsaan menghendaki semua warga bangsa untuk mau bertaubat, berinabah, beristigfar, bermunajat, dan ber-iltija’ (memohon perlindungan diri) kepada Allah SWT dengan sepenuh hati. Muhasabah kebangsaan ini semakin efektif dan bermakna apabila dibarengi dengan manajemen waktu yang efisien dan efektif dengan mengubah paradigma umur kuantitatif menjadi umur kualitatif.
Bagaimana usia kuantitatif 60 tahun, misalnya, senilai usia kualitatif 600 tahun atau bahkan lebih seperti usia yang dimiliki oleh ulama, seperti: Imam Syafi’i, Imam Bukhari, Imam Muslim, sehingga nama mereka sampai saat ini masih harum dan karya mereka terus ”mengalirkan” pahala akhirat bagi mereka.
Mengelola waktu juga sangat penting sehingga perjalanan hidup ke depan menjadi lebih bermakna. Nabi SAW bersabda: ”Jagalah dan manfaatkanlah (waktu antara) yang lima sebelum datang yang lima: waktu mudamu sebelum pikunmu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, luangmu sebelum sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR al-Hakim)
Proses muhasabah juga harus dibarengi dengan pembuatan rencana atau program yang jelas dan visioner (melihat jauh ke depan) dan berusaha mewujudkannya dengan sungguh-sungguh. Jika muhasabah dilakukan dengan penuh keinsafan dan kesadaran semakin dekatnya kita meninggalkan dunia menuju kematian, niscaya kita akan selalu menjaga istikamah dalam bersikap, beribadah, dan beramal/berkarya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kebangsaan.
Dengan modal dan proses muhasabah tersebut, kita akan dapat meraih buah muhasabah berikut. Pertama, penyadaran diri untuk selalu melakukan taubatan nasuha (taubat yang sepenuh hati). Kedua, kita dapat terhindar dari suíu al-khatimah (keburukan tutup usia). Ketiga, mengetahui dan menyadari kelemahan atau kekurangan diri dengan penuh syukur sehingga selalu berusaha untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Keempat, dapat menumbuhkan sikap positif dan optimistis untuk menatap hari esok secara lebih baik. Kelima, selalu berusaha melejitkan potensi diri untuk meraih prestasi yang lebih tinggi lagi di masa depan. Keenam, mengurangi atau meminimalisasi perbuatan dosa.
Melalui muhasabah kebangsaan, ada baiknya kata bijak berbahasa Arab berikut direnungkan: ”Law kana li adz-dzunub ra’ihah, la ma jalasa ilayya ahad”. Artinya, ”Kalau saja dosa-dosa itu berbau, niscaya tak seorang pun mau mendekat dan berkawan denganku”. Mari bermuhasabah kebangsaan dengan istikamah, agar ”bau dari dosa-dosa” kita dapat dihilangkan dengan taubatan nasuha dan istighfar, sedangkan amal saleh dapat ditingkatkan, sehingga khusnul khatimah dapat diraih.
(pur)