Kemendagri: Ada Daerah yang Perencanaan dan Anggaran Belum Sesuai

Senin, 30 Desember 2019 - 06:40 WIB
Kemendagri: Ada Daerah...
Kemendagri: Ada Daerah yang Perencanaan dan Anggaran Belum Sesuai
A A A
JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah menyelesaikan evaluasi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) dari 32 provinsi. Salah hasil evaluasi, diketahui masih banyak daerah yang tidak sesuai antara rencana pembangunan dan pola ploting anggaran. Hingga kemarin masih dua provinsi yang belum selesai proses evaluasinya.

Satu provinsi karena belum menyerahkan RAPBD dan satu lagi masih dalam proses evaluasi di Kemendagri. “Jadi masih satu daerah yang belum, yaitu Sumatera Selatan (Sumsel), yang katanya belum juga kuorum. Satu lagi daerah masih proses evaluasi di kita. Jadi yang sudah selesai ada 32 provinsi,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Keuangan Daerah (Keuda) Kemendagri Syarifuddin saat dihubungi kemarin.

Dia mengatakan dari hasil evaluasi tersebut ada beberapa hal yang menjadi temuan Kemendagri. Salah satunya masih adanya daerah yang RAPBD-nya tidak ada kesesuaian antara perencanaan dan penganggaran. “Jadi ada daerah yang perencanaan dan di anggarannya belum sesuai. Itu kita minta disesuaikan,” ungkapnya.

Temuan lain adalah belum terpenuhinya besaran anggaran untuk program-program wajib. Untuk pendidikan harusnya 20% dan kesehatan 10% di RAPBD. “Jadi masih ada yang persentasenya kurang dari yang telah ditetapkan. Untuk pendidikan masih ada yang kurang dari 20%. Sementara kesehatan kurang dari 10%. Itu kita minta penuhi,” tuturnya.

Syarifuddin mengatakan bahwa setiap daerah wajib melakukan perbaikan sesuai dengan hasil evaluasi yang Kemendagri. Menurutnya hasil perbaikan akan dilihat kembali oleh Kemendagri. “Iya, wajib daerah untuk memperbaiki sesuai dengan hasil evaluasi. Nanti kita cek, tapi memang RAPBD-nya sudah disahkan dalam bentuk APBD,” katanya.

Syarifuddin sebelumnya juga telah menyampaikan apa saja yang menjadi fokus Kemendagri dalam melakukan evaluasi RAPBD. Salah satunya berkaitan dengan sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah. Kemudian yang kedua mengenai capaian standar pelayanan minimal yang harus tercapai.

“Kemudian kami juga membedah APBD, bagaimana misalnya proporsi belanja dalam APBD untuk program-program kegiatan yang menyentuh masyarakat. Kalau dulu kita kenal dengan istilah belanja publik, sekarang tidak ada istilah itu lagi. Tapi dari karakter belanjanya bisa kita lihat. Misalnya belanja-belanja mana yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Analisis kami sejauh itu,” ujarnya.

Dia menegaskan jika belanja daerah belum menyentuh kepentingan masyarakat, hal itu akan dikoreksi. Dia memastikan akan mencari ke mana anggaran tersebut beralih. “Jangan-jangan ada belanja-belanja yang sebenarnya tidak terlalu urgen. Kami coba dalami. Apakah itu ditaruh di belanja barang/jasa misalnya. Kemudian kami pelajari atau di belanja lain seperti hibah atau bantuan-bantuan lain. Itu pasti kami koreksi untuk anggarannya dialihkan. Dan dialihkan ke kesejahteraan masyarakat,” paparnya.

Sebelumnya Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan masih ada daerah yang anggaran untuk aparatur lebih besar daripada untuk masyarakat. Dia meminta agar hal ini jangan sampai terulang. “Ada (daerah) program yang menyentuh masyarakat itu tidak sampai 20%, sementara untuk aparaturnya 50-an dan 60%. Padahal harusnya terbalik. Program yang untuk menyentuh masyarakatnya harus jauh lebih besar daripada untuk aparaturnya, kira-kira gitu,” tuturnya.

Tito menegaskan kembali pesan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa setiap program yang dibuat haruslah menyentuh masyarakat. Jangan hanya membuat program saja tanpa output. “Dalam bahasa Bapak Presiden, jangan membuat program hanya sent. Tapi program itu benar-benar delivered. Artinya dirasakan, menyentuh masyarakat,” tuturnya.

Lebih lanjut dia mengatakan dalam evaluasi RAPBD tahun 2020 akan ada variabel yang dilihat. Di antaranya anggaran affrmative action seperti untuk kesehatan dan pendidikan. “Nanti kita kan memiliki variabel-variabel untuk mengukur. Misalnya masalah pendidikan itu 20%, masalah kesehatan 10%. Nah ini affirmative action harus dikerjakan,” sebutnya.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1208 seconds (0.1#10.140)