Membangun Guru, Membangun Pendidikan
A
A
A
Adjat Wiratma
Doktor Manajemen Pendidikan
PADA 25 November lalu, kita kembali memperingati Hari Guru Nasional. Tahun ini suasananya sedikit berbeda karena banyak wacana yang sebelumnya disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang belum lama ini dilantik.
Disebut wacana, karena mengacu pernyataan Nadiem di mana ia akan mengisi 100 hari kerjanya untuk lebih banyak mendengar, sehingga kalau sekarang belum ada gebrakan maka itu sangat wajar. Maka tidak heran saat bicara soal guru pun (dalam naskah pidato yang disusunnya) tidak ada "janji manis," yang disampaikannya. Mendikbud lebih mengajak guru di Tanah Air berubah, dan melakukan perubahan pembelajaran. Nadiem menyadari, kunci perubahan pendidikan ada pada guru. Soal teknologi pendidikan yang menjadi salah satu dari empat prioritasnya, semua itu tidak bisa menggantikan peran guru. Maka pembangunan guru seharusnya menjadi hal utama dalam lima tahun kepemimpinan menteri milenial itu.
Untuk menjadikan pendidikan sebagai sektor pembangunan efektif, guru merupakan faktor mutlak. Bukan saja jumlahnya yang harus mencukupi, melainkan juga mutunya harus baik. Makin sungguh-sungguh pemerintah melakukan pembangunan sumber daya manusia (SDM), makin penting kedudukan guru. Sebagai faktor pembangunan yang sangat strategis, pembangunan pendidikan (guru di dalamnya) tidak bisa dilakukan dengan cara-cara sporadis dan terbatas.
Dalam pembangunan pendidikan, kita akan bicara kondisi yang hari ini terjadi, dan juga bicara tentang kondisi 20, 30, 40 tahun ke depan, dalam menyiapkan generasi penerus pembangunan. Sekalipun sulit memprediksi faktor yang akan terjadi ke depan, sebagai kelompok tenaga kerja khusus maka guru dituntut untuk dapat hidup dan berpijak pada realitas hari ini, esok, dan masa depan. Merekalah yang bertanggung jawab menghubungkan hari ini dan yang akan datang. Termasuk menyesuaikan diri dengan apa yang menjadi pandangan dan harapan masyarakat yang berkembang seiring perkembangan zaman. Hanya, guru yang kompeten yang dapat menempatkan dirinya dalam tugas yang berat itu.
Kewajiban Pemerintah
Undang-Undang Sisdiknas menyatakan bahwa tenaga pendidik dan kependidikan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah merupakan aset nasional. UU juga menyatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu. Fasilitas yang diberikan pemerintah itu melalui pengangkatan, penempatan, dan penyebaran tenaga pendidik yang didasarkan pada kebutuhan dan permintaan satuan pendidikan.
Dengan mekanisme permintaan berasal dari bawah, penempatan guru diharapkan dapat benar-benar berdasarkan kebutuhan sekolah. Masalahnya, dapatkah pemerintah memenuhi kewajibannya terhadap permintaan sekolah selama ini? Isu-isu strategis soal distribusi dan pendayagunaan guru, terjadi karena sistem pendataan yang tidak baik, dan telah membuat kondisi pendidikan muram. Masalah lain adalah masih rendahnya profesionalisme guru, dilihat dari kualifikasi pendidikan, kompetensi, dan pengalamannya. Ditambah lagi soal rendahnya efektivitas supervisi sekolah, dan rendahnya akuntabilitas lembaga penyelenggaraan diklat dalam pengembangan profesi dan karier.
Kualifikasi Guru
Kurangnya kemauan guru untuk mengubah perilaku mengajarnya yang dipengaruhi keterbatasan sarana-prasarana dan rendahnya tingkat kesejahteraan, rasanya menjadi masalah utama. Di luar masalah itu, banyak guru yang masih senang bertugas di kota dan sulit mencari guru yang mau mengajar di daerah adalah faktor yang membuat tidak meratanya kualitas guru. Padahal harus diakui, banyak guru berprestasi dan sudah menjadi mentor nasional. Masalahnya adalah pada sebaran. Banyak sekolah di Jakarta dengan guru-guru di atas rata-rata, kondisi berbeda ditemukan di desa-desa.
Dalam UU Sisdiknas kualifikasi minimum pendidikan guru harus ditingkatkan. Guru TK berkualifikasi minimal D-II, sementara SD hingga SLTA minimal berkualifikasi S-1. Kualifikasi itu menuntut guru harus menyesuaikan, dan bagi yang belum memenuhi kualifikasi harus kembali menempuh pendidikan. Guru dituntut kembali belajar di tengah beban tugas mengajar sehari-hari. Khusus untuk guru SMK, UU Sisdiknas menempatkan guru mata pelajaran kejuruan untuk memiliki pengalaman industri. Hal itu untuk mengatasi masalah minimnya pengalaman industri para guru SMK, sayang masih banyak guru yang direkrut tanpa pengalaman industri yang cukup.
Mencari Akar Masalah
Tenaga kependidikan harusnya dihasilkan oleh lembaga pendidikan tenaga kependidikan /keguruan (LPTK). Sayang UU Sisdiknas yang dianut sekarang tidak demikian halnya. UU Sisdiknas hanya memberikan rambu bahwa guru pada jenjang pendidikan mulai prasekolah, dasar hingga menengah dihasilkan dari perguruan tinggi yang terakreditasi. UU Sisdiknas menganut "sistem terbuka" dalam rekrutmen guru, karena tidak hanya bagi lulusan sarjana kependidikan, guru juga berasal dari sarjana nonkependidikan, padahal guru adalah insan khusus yang menjalankan profesi mencetak insan masa depan.
Dengan semua bisa melamar menjadi guru, kini semua orang merasa bisa jadi guru, tanpa harus tersertifikasi atau menempuh ujian kompetensi khusus guru, mereka merasa bisa mengajar. Bahkan, kini sudah banyak yang berdiri di ruang kelas mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan latar pendidikannya. Celakanya lagi, sebagian dari mereka hanya memosisikan diri sebagai pegawai (bermental pekerja), bukan guru yang memberikan teladan, menginspirasi dan menggerakkan siswa untuk maju.
Tingginya kebutuhan nasional akan guru juga masalah. Di kota-kota banyak lahir sekolah baru yang butuh guru yang cukup, akhirnya kota menjadi pusat guru-guru, sementara kondisi berbeda terjadi di daerah, luasnya wilayah Indonesia membuat masih banyak daerah dengan sekolah tanpa guru yang memadai.
Audit Guru
Pemerintah harus berani melakukan langkah besar, yakni melakukan "audit" guru. Bukan hanya soal pendataan kuantitatif tapi lebih jauh ke personal secara kualitatif. Konsekuensinya, saat banyak guru tidak layak ditemukan, mereka harus segera dirumahkan, tapi mampukah pemerintah menyiapkan tenaga pendidik baru yang benar-benar kompeten, termasuk memenuhi angka ideal rasio guru dan murid? Sementara bagi guru yang masih bertahan, kebijakan pembinaan harus mengarah pada meningkatkan mutu dan profesionalisme.
Menjadi seorang guru memang berat, tidak hanya soal keikhlasan mengajar, profesi ini harus menjadi tugas mulia yang paling membanggakan. Untuk itu dibutuhkan usaha nyata melakukan pembangunan guru demi pembangunan pendidikan. Perangkat kompetensi guru itu meliputi kebijakan penyelenggaraan pendidikan, kepribadian dan keterampilan sosial, pemahaman tentang wawasan pendidikan, manajemen pembelajaran, manajemen bimbingan dan konseling, manajemen administrasi sekolah, pengembangan diri. Selain itu, manajemen kegiatan ekstrakulikuler, hakikat struktur keilmuan yang diajarkan, penguasaan materi keilmuan mata pelajaran yang diajarkan, pemahaman karakter atau gaya belajar siswa dan prinsip pembelajaran, keterampilan dalam mengevaluasi hasil serta menyusun laporan dan mengembangkan sumber belajar.
Pemerintah juga perlu melakukan penguatan lembaga pendidikan guru, yang dapat menyelenggarakan pendidikan pre-service (pendidikan prajabatan) dan in-service (pendidikan dalam jabatan). Agar tidak terjadi kerancuan antara guru yang sudah berpengalaman dan yang baru lulus. Berikan perhatian serius kepada lembaga pendidikan pencetak guru, menjadikannya sebagai kampus bergengsi, yang melahirkan pendidik unggul, yang bisa menjawab zaman, meramalkan zaman dan mempersiapkan masa depan.
Jika hari ini, soal wacana ganti kurikulum masih membuat resah, atau lebih jauh lagi soal tantangan pendidikan di era disrupsi saat ini, namun di tangan guru-guru andal, tidak ada satu hal yang mengkhawatirkan. Pendidikan sebagai salah satu faktor sosial terpenting harus tecermin dari kebijakan yang diambil pemerintah pusat, juga pemerintah daerah. Kebijakan yang muliakan guru untuk Indonesia Maju.
Doktor Manajemen Pendidikan
PADA 25 November lalu, kita kembali memperingati Hari Guru Nasional. Tahun ini suasananya sedikit berbeda karena banyak wacana yang sebelumnya disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang belum lama ini dilantik.
Disebut wacana, karena mengacu pernyataan Nadiem di mana ia akan mengisi 100 hari kerjanya untuk lebih banyak mendengar, sehingga kalau sekarang belum ada gebrakan maka itu sangat wajar. Maka tidak heran saat bicara soal guru pun (dalam naskah pidato yang disusunnya) tidak ada "janji manis," yang disampaikannya. Mendikbud lebih mengajak guru di Tanah Air berubah, dan melakukan perubahan pembelajaran. Nadiem menyadari, kunci perubahan pendidikan ada pada guru. Soal teknologi pendidikan yang menjadi salah satu dari empat prioritasnya, semua itu tidak bisa menggantikan peran guru. Maka pembangunan guru seharusnya menjadi hal utama dalam lima tahun kepemimpinan menteri milenial itu.
Untuk menjadikan pendidikan sebagai sektor pembangunan efektif, guru merupakan faktor mutlak. Bukan saja jumlahnya yang harus mencukupi, melainkan juga mutunya harus baik. Makin sungguh-sungguh pemerintah melakukan pembangunan sumber daya manusia (SDM), makin penting kedudukan guru. Sebagai faktor pembangunan yang sangat strategis, pembangunan pendidikan (guru di dalamnya) tidak bisa dilakukan dengan cara-cara sporadis dan terbatas.
Dalam pembangunan pendidikan, kita akan bicara kondisi yang hari ini terjadi, dan juga bicara tentang kondisi 20, 30, 40 tahun ke depan, dalam menyiapkan generasi penerus pembangunan. Sekalipun sulit memprediksi faktor yang akan terjadi ke depan, sebagai kelompok tenaga kerja khusus maka guru dituntut untuk dapat hidup dan berpijak pada realitas hari ini, esok, dan masa depan. Merekalah yang bertanggung jawab menghubungkan hari ini dan yang akan datang. Termasuk menyesuaikan diri dengan apa yang menjadi pandangan dan harapan masyarakat yang berkembang seiring perkembangan zaman. Hanya, guru yang kompeten yang dapat menempatkan dirinya dalam tugas yang berat itu.
Kewajiban Pemerintah
Undang-Undang Sisdiknas menyatakan bahwa tenaga pendidik dan kependidikan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah merupakan aset nasional. UU juga menyatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu. Fasilitas yang diberikan pemerintah itu melalui pengangkatan, penempatan, dan penyebaran tenaga pendidik yang didasarkan pada kebutuhan dan permintaan satuan pendidikan.
Dengan mekanisme permintaan berasal dari bawah, penempatan guru diharapkan dapat benar-benar berdasarkan kebutuhan sekolah. Masalahnya, dapatkah pemerintah memenuhi kewajibannya terhadap permintaan sekolah selama ini? Isu-isu strategis soal distribusi dan pendayagunaan guru, terjadi karena sistem pendataan yang tidak baik, dan telah membuat kondisi pendidikan muram. Masalah lain adalah masih rendahnya profesionalisme guru, dilihat dari kualifikasi pendidikan, kompetensi, dan pengalamannya. Ditambah lagi soal rendahnya efektivitas supervisi sekolah, dan rendahnya akuntabilitas lembaga penyelenggaraan diklat dalam pengembangan profesi dan karier.
Kualifikasi Guru
Kurangnya kemauan guru untuk mengubah perilaku mengajarnya yang dipengaruhi keterbatasan sarana-prasarana dan rendahnya tingkat kesejahteraan, rasanya menjadi masalah utama. Di luar masalah itu, banyak guru yang masih senang bertugas di kota dan sulit mencari guru yang mau mengajar di daerah adalah faktor yang membuat tidak meratanya kualitas guru. Padahal harus diakui, banyak guru berprestasi dan sudah menjadi mentor nasional. Masalahnya adalah pada sebaran. Banyak sekolah di Jakarta dengan guru-guru di atas rata-rata, kondisi berbeda ditemukan di desa-desa.
Dalam UU Sisdiknas kualifikasi minimum pendidikan guru harus ditingkatkan. Guru TK berkualifikasi minimal D-II, sementara SD hingga SLTA minimal berkualifikasi S-1. Kualifikasi itu menuntut guru harus menyesuaikan, dan bagi yang belum memenuhi kualifikasi harus kembali menempuh pendidikan. Guru dituntut kembali belajar di tengah beban tugas mengajar sehari-hari. Khusus untuk guru SMK, UU Sisdiknas menempatkan guru mata pelajaran kejuruan untuk memiliki pengalaman industri. Hal itu untuk mengatasi masalah minimnya pengalaman industri para guru SMK, sayang masih banyak guru yang direkrut tanpa pengalaman industri yang cukup.
Mencari Akar Masalah
Tenaga kependidikan harusnya dihasilkan oleh lembaga pendidikan tenaga kependidikan /keguruan (LPTK). Sayang UU Sisdiknas yang dianut sekarang tidak demikian halnya. UU Sisdiknas hanya memberikan rambu bahwa guru pada jenjang pendidikan mulai prasekolah, dasar hingga menengah dihasilkan dari perguruan tinggi yang terakreditasi. UU Sisdiknas menganut "sistem terbuka" dalam rekrutmen guru, karena tidak hanya bagi lulusan sarjana kependidikan, guru juga berasal dari sarjana nonkependidikan, padahal guru adalah insan khusus yang menjalankan profesi mencetak insan masa depan.
Dengan semua bisa melamar menjadi guru, kini semua orang merasa bisa jadi guru, tanpa harus tersertifikasi atau menempuh ujian kompetensi khusus guru, mereka merasa bisa mengajar. Bahkan, kini sudah banyak yang berdiri di ruang kelas mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan latar pendidikannya. Celakanya lagi, sebagian dari mereka hanya memosisikan diri sebagai pegawai (bermental pekerja), bukan guru yang memberikan teladan, menginspirasi dan menggerakkan siswa untuk maju.
Tingginya kebutuhan nasional akan guru juga masalah. Di kota-kota banyak lahir sekolah baru yang butuh guru yang cukup, akhirnya kota menjadi pusat guru-guru, sementara kondisi berbeda terjadi di daerah, luasnya wilayah Indonesia membuat masih banyak daerah dengan sekolah tanpa guru yang memadai.
Audit Guru
Pemerintah harus berani melakukan langkah besar, yakni melakukan "audit" guru. Bukan hanya soal pendataan kuantitatif tapi lebih jauh ke personal secara kualitatif. Konsekuensinya, saat banyak guru tidak layak ditemukan, mereka harus segera dirumahkan, tapi mampukah pemerintah menyiapkan tenaga pendidik baru yang benar-benar kompeten, termasuk memenuhi angka ideal rasio guru dan murid? Sementara bagi guru yang masih bertahan, kebijakan pembinaan harus mengarah pada meningkatkan mutu dan profesionalisme.
Menjadi seorang guru memang berat, tidak hanya soal keikhlasan mengajar, profesi ini harus menjadi tugas mulia yang paling membanggakan. Untuk itu dibutuhkan usaha nyata melakukan pembangunan guru demi pembangunan pendidikan. Perangkat kompetensi guru itu meliputi kebijakan penyelenggaraan pendidikan, kepribadian dan keterampilan sosial, pemahaman tentang wawasan pendidikan, manajemen pembelajaran, manajemen bimbingan dan konseling, manajemen administrasi sekolah, pengembangan diri. Selain itu, manajemen kegiatan ekstrakulikuler, hakikat struktur keilmuan yang diajarkan, penguasaan materi keilmuan mata pelajaran yang diajarkan, pemahaman karakter atau gaya belajar siswa dan prinsip pembelajaran, keterampilan dalam mengevaluasi hasil serta menyusun laporan dan mengembangkan sumber belajar.
Pemerintah juga perlu melakukan penguatan lembaga pendidikan guru, yang dapat menyelenggarakan pendidikan pre-service (pendidikan prajabatan) dan in-service (pendidikan dalam jabatan). Agar tidak terjadi kerancuan antara guru yang sudah berpengalaman dan yang baru lulus. Berikan perhatian serius kepada lembaga pendidikan pencetak guru, menjadikannya sebagai kampus bergengsi, yang melahirkan pendidik unggul, yang bisa menjawab zaman, meramalkan zaman dan mempersiapkan masa depan.
Jika hari ini, soal wacana ganti kurikulum masih membuat resah, atau lebih jauh lagi soal tantangan pendidikan di era disrupsi saat ini, namun di tangan guru-guru andal, tidak ada satu hal yang mengkhawatirkan. Pendidikan sebagai salah satu faktor sosial terpenting harus tecermin dari kebijakan yang diambil pemerintah pusat, juga pemerintah daerah. Kebijakan yang muliakan guru untuk Indonesia Maju.
(shf)