Menyoal Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
A
A
A
Mudi Kasmudi
Praktisi Energi Industri dan Pertambangan
SAMPAH adalah satu di antara masalah kota-kota besar dunia, terlebih lagi bagi negara dengan jumlah penduduk terbesar dunia seperti China, Amerika Serikat (AS), India, dan Indonesia. Produksi sampah terus tumbuh sejalan pertumbuhan penduduk dan industrinya.Beberapa usaha telah dilakukan untuk mereduksi sampah seperti Reduce, Reused, Recycle (3R), membangun fasilitas Kiln Incinerator, dan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSA).PLTSA, Waste to Energy (WTE) , bagi orang awam kedengaran seperti keren, bagus, padahal tarif listrik yang dihasilkan tinggi, dan membebani anggaran belanja untuk subsidi. Penanganan sampah tidak mudah dan murah. Jika dibakar, bisa akan menghasilkan gas rumah kaca ( green house ) seperti CO dan CO2.Jika ditumpuk, akan menghasilkan gas methane yang menimbulkan efek gas rumah kaca 21 kali lipat dari CO2, yang berdampak padapemanasan global. Negara yang mempunyai komitmen terhadap isu efek pemanasan global harus mengolah sampah dengan pembakaran pada temperatur tinggi untuk mendestruksi rantai bahan nonorganik dan beracun pada temperatur dekomposisi 850C sampai 900C.Negara-negara maju sekalipun terbebani dengan masalah sampah sehingga mereka secara tidak langsung menjual sampah kering denganharga murah ke negara berkembang. Sebagai contoh, di Jawa Timur, industri kecil menggunakan sampah plastik yang diimpor dari Inggris,
AS, dan Australia sebagai bahan bakar pengganti kayu. Padahal, sampah yang tidak dibakar pada temperatur tinggi menghasilkan dioxin, suatu zat yang dapat menimbulkan kanker, gangguan sistem reproduksi, dan sistem imun.
Masalah lain sampah, apabila tidak diolah, ditimbun di tempat pembuangan akhir (TPA), akan mencemari lingkungan, baik udara, tanah, sanitasi air, maupun longsoran karena tumpukan yang menggunung. Kita punya riwayat kelam, Februari 2005, bencana longsor TPA Leuwigajah Bandung yang menimbun dan menewaskan 140 orang.Untuk menanggulangi persoalan sampah, satu di antaranya pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan PLTSA. Lokasi pembangunan adalah 12 kota (Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang, dan Manado). Pemerintah pusat membantu biaya layanan pengolahansampah (tipping fee) kepada pemerintah daerah, maksimal Rp500.000 per ton sampah.
Listrik PLTSA harus dibeli PLN dengan tarif USD13,35 Sen/Kwh untuk kapasitas sampai 20 MW. Tarif PLTSA tinggi karena investasi terpasang lebih mahal dibanding PLTU. Investasi PLTSA USD5 juta sampai USD7 juta per MW, sedangkan PLTU sekitar USD2,5 juta sampai 3,5 juta per MW.Komponen harga listrik per Kwh, paling besar berasal dari pengembalian investasi (capital recovery). Di samping itu, efisiensi PLTSA rendah sekitar 17 sampai 25%, sedangkan PLTU dengan teknologi Ultra Critical, efisiennya lebih dari 40%. Harga patokan pembelian tenaga listrik PLN diatur dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 55 k/20/MEM/2019 tentang Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Pembangkitan, dan Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017. Sebagai pembanding, tarif BPP PLN untuk Jawa Bali mendekati USD7 Sen/Kwh.
Bebani PLNKapasitas PLTSA yang ditunjuk di 12 kota, sekitar 234 MW, dapat membakar sampah sekitar 23.400 ton per hari. Jika semua PLTSA listriknya dibeli PLN, maka energi yang dibeli sekitar 1.660 juta Kwh per tahun. Dengan tarif menurut Perpres Nomor 35/ 2018, maka total pembelian PLN sebesar USD216 juta per tahun. Jika dibanding BPP PLN, maka pembelian sebesar USD127 juta per tahun.Selisih kerugian yang ditanggung PLN adalah USD 89 juta atau Rp1,29 triliun. Selisih kerugian PLN harus ditanggung pemerintah jika tidak ingin keuangan PLN terbebani, padahal PLN mempunyai tugas untuk efisiensi operasi, mengamankan listrik nasional, investasi pembangkit dan transmisi.
Perbandingan dengan Negara LainKarakteristik sampah di tiap negara berbeda-beda, tergantung pola konsumsi, budaya, kemasan industri makanan dan minuman sehingga
penanganannya pun berbeda-beda. Sebagai perbandingan, yaitu Singapura (2019): Negara kota yang mempunyai luas hanya 710 km2
dengan populasi 5,8 juta, sampah diolah menjadi listrik sekitar 38%.Luas dan populasi jauh sekali jika dibanding dengan Indonesia. Tarif listrik Singapura untuk konsumen sebesar USD17,2 sen/kwh. Tarif listrik Indonesia jauh lebih rendah dibanding Singapura. Norwegia (Hafeez,2013): Total pemanfaatan sampah menjadi energi sebesar 20%, dan dari total pemanfaatan 16% menjadi listrik, dan 84% menjadi air panas (waste to heating). Air panas ditransmisikan sejauh 13,6 km kepada 84.000 konsumen rumah tangga sebagai pemanas.Konversi energi ke air panas mempunyai efisiensi yang tinggi sekitar 80-90%. Indonesia saat ini tidak dapat memanfaatkan waste to heating
karena konsumen belum ada dan iklimnya berbeda dengan Norwegia. Jepang (Hafnesi et al, 2012); Sampah Jepang yang diolah menjadi
energi, karakteristik sampahnya berbeda dengan Indonesia. Sampah Jepang, 50% dari kertas dan plastik, mempunyai kadar air rendah dan
nilai kalorinya tinggi.Sedangkan sampah Indonesia mempunyai kadar air yang tinggi, dapat mencapai 60%, dan nilai kalorinya rendah.China (Jane Wu,2018): Pengolahan sampah dengan konversi ke listrik sebesar 34%. Perbedaan tarif listrik antara PLTSA dan PLTU sebesar
23%, di mana PLTSA sebesar USD9,25 Sen/Kwh dan PLTU sebesar USD7,11 Sen/Kwh.
Dryer dan IncineratorPengolahan sampah tidak harus dengan PLTSA yang memerlukan subsidi anggaran besar, yaitu dengan membangun Kiln Incinerator tanpa
mengubahnya menjadi energi listrik. Karakteristik sampah Indonesia mempunyai nilai kalori rendah dan kandungan air tinggi sehingga
memerlukan pengering (dryer) sebelum masuk ke incinerator. Karena itu, lokasi pembangunan incinerator harus dekat dengan sumber bahan bakar murah untuk pengering, yaitu dekat jalur transmisi gas.
Incinerator berhak mendapat harga gas murah, selain dari tujuh sektor industri khusus, yang diatur dalam Perpres Nomor 40/2016 sebesar USD6 per MMBTU. Harga energi gas lebih murah sepertiga jika dibanding bahan bakar marine fuel oil (MFO).Sampah yang diolah 7,69 juta ton per tahun sehingga anggaran untuk tipping fee sebesar Rp3,84 triliun, sedangkan biaya bahan bakargas untuk pengering sampah sampai kadar air 30% sekitar Rp1,22 triliun per tahun. Total anggaran tipping fee dapat menyubsidi biaya bahan bakar, dan sisanya bisa digunakan untuk subsidi yang lain.Opsiincinerator tanpa konversi menjadi listrik dapat mengurangi subsidi anggaran sehingga pemerintah hanya memberikan subsidimelalui tipping fee, tanpa harus memberikan subsidi selisih kerugian PLN.
Praktisi Energi Industri dan Pertambangan
SAMPAH adalah satu di antara masalah kota-kota besar dunia, terlebih lagi bagi negara dengan jumlah penduduk terbesar dunia seperti China, Amerika Serikat (AS), India, dan Indonesia. Produksi sampah terus tumbuh sejalan pertumbuhan penduduk dan industrinya.Beberapa usaha telah dilakukan untuk mereduksi sampah seperti Reduce, Reused, Recycle (3R), membangun fasilitas Kiln Incinerator, dan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSA).PLTSA, Waste to Energy (WTE) , bagi orang awam kedengaran seperti keren, bagus, padahal tarif listrik yang dihasilkan tinggi, dan membebani anggaran belanja untuk subsidi. Penanganan sampah tidak mudah dan murah. Jika dibakar, bisa akan menghasilkan gas rumah kaca ( green house ) seperti CO dan CO2.Jika ditumpuk, akan menghasilkan gas methane yang menimbulkan efek gas rumah kaca 21 kali lipat dari CO2, yang berdampak padapemanasan global. Negara yang mempunyai komitmen terhadap isu efek pemanasan global harus mengolah sampah dengan pembakaran pada temperatur tinggi untuk mendestruksi rantai bahan nonorganik dan beracun pada temperatur dekomposisi 850C sampai 900C.Negara-negara maju sekalipun terbebani dengan masalah sampah sehingga mereka secara tidak langsung menjual sampah kering denganharga murah ke negara berkembang. Sebagai contoh, di Jawa Timur, industri kecil menggunakan sampah plastik yang diimpor dari Inggris,
AS, dan Australia sebagai bahan bakar pengganti kayu. Padahal, sampah yang tidak dibakar pada temperatur tinggi menghasilkan dioxin, suatu zat yang dapat menimbulkan kanker, gangguan sistem reproduksi, dan sistem imun.
Masalah lain sampah, apabila tidak diolah, ditimbun di tempat pembuangan akhir (TPA), akan mencemari lingkungan, baik udara, tanah, sanitasi air, maupun longsoran karena tumpukan yang menggunung. Kita punya riwayat kelam, Februari 2005, bencana longsor TPA Leuwigajah Bandung yang menimbun dan menewaskan 140 orang.Untuk menanggulangi persoalan sampah, satu di antaranya pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan PLTSA. Lokasi pembangunan adalah 12 kota (Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang, dan Manado). Pemerintah pusat membantu biaya layanan pengolahansampah (tipping fee) kepada pemerintah daerah, maksimal Rp500.000 per ton sampah.
Listrik PLTSA harus dibeli PLN dengan tarif USD13,35 Sen/Kwh untuk kapasitas sampai 20 MW. Tarif PLTSA tinggi karena investasi terpasang lebih mahal dibanding PLTU. Investasi PLTSA USD5 juta sampai USD7 juta per MW, sedangkan PLTU sekitar USD2,5 juta sampai 3,5 juta per MW.Komponen harga listrik per Kwh, paling besar berasal dari pengembalian investasi (capital recovery). Di samping itu, efisiensi PLTSA rendah sekitar 17 sampai 25%, sedangkan PLTU dengan teknologi Ultra Critical, efisiennya lebih dari 40%. Harga patokan pembelian tenaga listrik PLN diatur dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 55 k/20/MEM/2019 tentang Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Pembangkitan, dan Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017. Sebagai pembanding, tarif BPP PLN untuk Jawa Bali mendekati USD7 Sen/Kwh.
Bebani PLNKapasitas PLTSA yang ditunjuk di 12 kota, sekitar 234 MW, dapat membakar sampah sekitar 23.400 ton per hari. Jika semua PLTSA listriknya dibeli PLN, maka energi yang dibeli sekitar 1.660 juta Kwh per tahun. Dengan tarif menurut Perpres Nomor 35/ 2018, maka total pembelian PLN sebesar USD216 juta per tahun. Jika dibanding BPP PLN, maka pembelian sebesar USD127 juta per tahun.Selisih kerugian yang ditanggung PLN adalah USD 89 juta atau Rp1,29 triliun. Selisih kerugian PLN harus ditanggung pemerintah jika tidak ingin keuangan PLN terbebani, padahal PLN mempunyai tugas untuk efisiensi operasi, mengamankan listrik nasional, investasi pembangkit dan transmisi.
Perbandingan dengan Negara LainKarakteristik sampah di tiap negara berbeda-beda, tergantung pola konsumsi, budaya, kemasan industri makanan dan minuman sehingga
penanganannya pun berbeda-beda. Sebagai perbandingan, yaitu Singapura (2019): Negara kota yang mempunyai luas hanya 710 km2
dengan populasi 5,8 juta, sampah diolah menjadi listrik sekitar 38%.Luas dan populasi jauh sekali jika dibanding dengan Indonesia. Tarif listrik Singapura untuk konsumen sebesar USD17,2 sen/kwh. Tarif listrik Indonesia jauh lebih rendah dibanding Singapura. Norwegia (Hafeez,2013): Total pemanfaatan sampah menjadi energi sebesar 20%, dan dari total pemanfaatan 16% menjadi listrik, dan 84% menjadi air panas (waste to heating). Air panas ditransmisikan sejauh 13,6 km kepada 84.000 konsumen rumah tangga sebagai pemanas.Konversi energi ke air panas mempunyai efisiensi yang tinggi sekitar 80-90%. Indonesia saat ini tidak dapat memanfaatkan waste to heating
karena konsumen belum ada dan iklimnya berbeda dengan Norwegia. Jepang (Hafnesi et al, 2012); Sampah Jepang yang diolah menjadi
energi, karakteristik sampahnya berbeda dengan Indonesia. Sampah Jepang, 50% dari kertas dan plastik, mempunyai kadar air rendah dan
nilai kalorinya tinggi.Sedangkan sampah Indonesia mempunyai kadar air yang tinggi, dapat mencapai 60%, dan nilai kalorinya rendah.China (Jane Wu,2018): Pengolahan sampah dengan konversi ke listrik sebesar 34%. Perbedaan tarif listrik antara PLTSA dan PLTU sebesar
23%, di mana PLTSA sebesar USD9,25 Sen/Kwh dan PLTU sebesar USD7,11 Sen/Kwh.
Dryer dan IncineratorPengolahan sampah tidak harus dengan PLTSA yang memerlukan subsidi anggaran besar, yaitu dengan membangun Kiln Incinerator tanpa
mengubahnya menjadi energi listrik. Karakteristik sampah Indonesia mempunyai nilai kalori rendah dan kandungan air tinggi sehingga
memerlukan pengering (dryer) sebelum masuk ke incinerator. Karena itu, lokasi pembangunan incinerator harus dekat dengan sumber bahan bakar murah untuk pengering, yaitu dekat jalur transmisi gas.
Incinerator berhak mendapat harga gas murah, selain dari tujuh sektor industri khusus, yang diatur dalam Perpres Nomor 40/2016 sebesar USD6 per MMBTU. Harga energi gas lebih murah sepertiga jika dibanding bahan bakar marine fuel oil (MFO).Sampah yang diolah 7,69 juta ton per tahun sehingga anggaran untuk tipping fee sebesar Rp3,84 triliun, sedangkan biaya bahan bakargas untuk pengering sampah sampai kadar air 30% sekitar Rp1,22 triliun per tahun. Total anggaran tipping fee dapat menyubsidi biaya bahan bakar, dan sisanya bisa digunakan untuk subsidi yang lain.Opsiincinerator tanpa konversi menjadi listrik dapat mengurangi subsidi anggaran sehingga pemerintah hanya memberikan subsidimelalui tipping fee, tanpa harus memberikan subsidi selisih kerugian PLN.
(nag)