Menyoal Pembangkit Listrik Tenaga Sampah

Selasa, 26 November 2019 - 07:15 WIB
Menyoal Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
Menyoal Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
A A A
Mudi Kasmudi
Praktisi Energi Industri dan Pertambangan
SAMPAH adalah satu di antara masalah ko­ta-kota besar dunia, terlebih lagi ba­gi negara dengan jumlah pen­duduk terbesar dunia seperti China, Amerika Serikat (AS), India, dan Indonesia. Produksi sampah terus tumbuh sejalan pertumbuhan penduduk dan industrinya.Beberapa usaha te­lah dilakukan untuk mere­duksi sampah seperti Reduce, Reused, Recycle (3R), membangun fa­si­li­tas Kiln Incinerator, dan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSA).PLTSA, Waste to Ener­gy (WTE) , bagi orang awam ke­dengaran seperti keren, bagus, padahal tarif listrik yang diha­silkan tinggi, dan membebani anggaran belanja untuk subsidi. Penanganan sampah tidak mu­dah dan murah. Jika diba­kar, bisa akan menghasilkan gas rumah kaca ( green house ) se­per­ti CO dan CO2.Jika ditumpuk, akan menghasilkan gas me­thane yang menimbulkan efek gas rumah kaca 21 kali lipat dari CO2, yang berdampak padape­manasan global. Negara yang mempunyai komitmen terha­dap isu efek pemanasan global ha­rus mengolah sampah de­ngan pembakaran pada tempe­ratur tinggi untuk mendes­tru­k­si rantai bahan nonorganik dan be­racun pada temperatur de­kom­posisi 850C sampai 900C.Negara-negara maju seka­li­pun terbebani dengan masalah sampah sehingga mereka se­cara tidak langsung menjual sampah kering denganharga murah ke negara berkembang. Sebagai contoh, di Jawa Timur, industri kecil menggunakan sampah plastik yang diimpor dari Inggris,
AS, dan Australia sebagai bahan bakar pengganti kayu. Padahal, sampah yang tidak dibakar pada temperatur tinggi menghasilkan dioxin, sua­tu zat yang dapat me­nim­bul­kan kanker, gang­guan sistem re­pro­duksi, dan sistem imun.
Masalah lain sampah, apa­bila tidak diolah, di­timbun di tempat pem­buangan akhir (TPA), akan mencemari ling­kung­­an, baik udara, ta­nah, sani­tasi air, maupun longsoran ka­re­na tum­puk­an yang meng­gu­nung. Kita punya riwayat ke­lam, Februari 2005, bencana long­sor TPA Leuwigajah Ban­dung yang menimbun dan me­newaskan 140 orang.Untuk me­nang­gu­la­ngi per­soalan sampah, satu di an­ta­ranya peme­rintah menerbitkan Per­aturan Presiden (Per­pres) Nomor 35/2018 tentang Perce­patan Pem­­bangun­an PLTSA. Lokasi pemba­ngu­n­an adalah 12 kota (Jakarta, Ta­ngerang, Ta­nge­rang Selatan, Bekasi, Ban­dung, Semarang, Surakarta, Su­ra­ba­ya, Makassar, Denpasar, Pa­lem­bang, dan Ma­nado). Pe­me­rin­tah pusat mem­bantu bia­ya la­yan­an peng­olah­ansampah (tip­ping fee) kepada pemerintah daerah, maksimal Rp500.000 per ton sampah.
Listrik PLTSA harus dibeli PLN dengan tarif USD13,35 Sen/Kwh untuk kapasitas sam­pai 20 MW. Tarif PLTSA ting­gi karena investasi ter­pasang lebih mahal dibanding PLTU. Investasi PLTSA USD5 juta sampai USD7 juta per MW, se­dangkan PLTU sekitar USD2,5 juta sampai 3,5 juta per MW.Komponen harga listrik per Kwh, paling besar berasal dari pengembalian investasi (capital recovery). Di samping itu, efisiensi PLTSA rendah sekitar 17 sam­pai 25%, sedangkan PLTU de­ngan teknologi Ultra Critical, efi­siennya lebih dari 40%. Har­ga patokan pembelian tenaga listrik PLN diatur dalam Kepu­tusan Menteri ESDM No­mor 55 k/20/MEM/2019 ten­tang Bia­ya Pokok Penyediaan (BPP) Pem­bangkitan, dan Per­men ESDM Nomor 12 Tahun 2017. Sebagai pembanding, tarif BPP PLN untuk Jawa Bali mendekati USD7 Sen/Kwh.
Bebani PLNKapasitas PLTSA yang di­tunjuk di 12 kota, sekitar 234 MW, dapat membakar sampah se­kitar 23.400 ton per hari. Jika semua PLTSA lis­triknya dibeli PLN, maka energi yang dibeli sekitar 1.660 juta Kwh per ta­hun. Dengan tarif menurut Per­pres Nomor 35/ 2018, maka total pembelian PLN sebesar USD216 juta per tahun. Jika dibanding BPP PLN, maka pem­belian sebesar USD127 juta per tahun.Selisih ke­rugian yang ditang­gung PLN adalah USD 89 juta atau Rp1,29 triliun. Se­lisih kerugian PLN harus ditang­gung pem­e­rintah jika tidak ingin keuangan PLN ter­bebani, padahal PLN mem­­punyai tugas untuk efi­siensi operasi, me­nga­mankan listrik nasional, in­ves­tasi pem­bangkit dan trans­misi.
Perbandingan dengan Negara LainKarakteristik sampah di tiap negara berbeda-beda, ter­gan­tung pola konsumsi, bu­daya, kemasan industri ma­kan­an dan minuman sehingga
pena­nga­nan­nya pun berbeda-beda. Se­ba­gai perbandingan, yaitu Si­ngapura (2019): Ne­gara kota yang mempunyai luas hanya 710 km2
dengan po­pulasi 5,8 ju­ta, sampah diolah menjadi lis­trik sekitar 38%.Luas dan po­pulasi jauh sekali jika dibanding dengan Indo­nesia. Tarif listrik Singapura untuk konsumen se­besar USD17,2 sen/kwh. Tarif listrik Indonesia jauh lebih rendah dibanding Singapura. Norwegia (Hafeez,2013): To­tal pemanfaatan sampah men­jadi energi sebesar 20%, dan dari total pemanfaatan 16% menjadi listrik, dan 84% me­njadi air panas (waste to hea­ting). Air panas ditrans­misi­kan sejauh 13,6 km kepada 84.000 konsumen rumah tangga seba­gai pemanas.Konversi energi ke air panas mempunyai efisiensi yang tinggi sekitar 80-90%. Indonesia saat ini tidak dapat memanfaatkan waste to heating
karena konsumen belum ada dan iklimnya berbeda dengan Norwegia. Jepang (Hafnesi et al, 2012); Sampah Jepang yang diolah menjadi
energi, karakteristik sampahnya berbeda dengan In­donesia. Sampah Jepang, 50% dari kertas dan plastik, mem­punyai kadar air rendah dan
nilai kalorinya tinggi.Se­dang­kan sampah Indonesia mem­punyai kadar air yang tinggi, dapat mencapai 60%, dan nilai kalorinya rendah.China (Jane Wu,2018): Pe­ngolahan sampah dengan kon­versi ke listrik sebesar 34%. Perbedaan tarif listrik antara PLTSA dan PLTU sebesar
23%, di mana PLTSA sebesar USD9,25 Sen/Kwh dan PLTU sebesar USD7,11 Sen/Kwh.

Dryer dan IncineratorPengolahan sampah tidak harus dengan PLTSA yang me­merlukan subsidi anggaran besar, yaitu dengan mem­ba­ngun Kiln Incinerator tanpa
me­ngubahnya menjadi energi lis­trik. Karakteristik sampah In­donesia mempunyai nilai kalori rendah dan kandungan air ting­gi sehingga
memerlukan penge­ring (dryer) sebelum masuk ke in­cinerator. Karena itu, lokasi pem­bangunan incinerator ha­rus dekat dengan sumber bahan bakar murah untuk pengering, yaitu dekat jalur transmisi gas.
Incinerator berhak mendapat harga gas murah, selain dari tujuh sektor industri khusus, yang diatur dalam Perpres Nomor 40/2016 sebesar USD6 per MMBTU. Harga energi gas lebih murah sepertiga jika di­banding bahan bakar marine fuel oil (MFO).Sampah yang diolah 7,69 juta ton per tahun sehingga ang­­garan untuk tipping fee se­besar Rp3,84 triliun, se­dang­kan biaya bahan bakargas un­tuk pe­nge­ring sampah sampai kadar air 30% sekitar Rp1,22 triliun per tahun. Total ang­gar­an tipping fee dapat menyubsidi biaya ba­han bakar, dan sisanya bisa digu­na­kan untuk subsidi yang lain.Opsiincinerator tan­pa konversi menjadi listrik da­pat mengu­rangi subsidi ang­garan sehingga pemerintah ha­nya memberikan subsidime­lalui tipping fee, tanpa harus mem­berikan subsidi se­lisih ke­rugian PLN.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3424 seconds (0.1#10.140)