Millenial, Properti, dan Tren Investasi
A
A
A
Angela Oetama
Praktisi Teknologi Finansial & Co-Founder Gradana
PROPERTI dan milenial. Kesan pertama yang melekat adalah banyaknya iklan-iklan di luar sana yang ditawarkan oleh para pengembang untuk menargetkan milenial agar membeli properti. Atau banyak iklan-iklan dari bank yang menargetkan segmen ini untuk menjadi peminjam KPR.
Sederet strategi pun disusun untuk menggaet potensi pasar ini. Mulai dari nama-nama yang catchy dibuat agar terlibat lebih menarik dan akrab, penekanan pada bobot teknologi dan digitalisasi, hingga mencoba membuat kampanye-kampanye dengan memanfaatkan seleb milennial.
Sayangnya sejauh ini hanya milenial hanya ditargetkan sebagai konsumen, bukan investor. Mereka masih diasosiasikan sebagai target pasar yang akan membeli rumah dengan cara meminjam produk KPR.
Belum ada, setidaknya sedikit, yang mengasosiasikan mereka sebagai pelaku investasi. Padahal, meski penghasilannya masih terbatas, mereka tetap bisa berinvestasi pada properti.
Inilah yang masih jarang dibahas pelaku industri karena adanya anggapan bahwa milenial adalah generasi konsumtif. Logika sederhananya, apabila beli rumah saja belum bisa apalagi berinvestasi? Apalagi investasi properti di mana ada anggapan perlu modal besar, membeli untuk dimiliki sendiri saja belum bisa sehingga tidak mungkin mereka bisa berinvestasi di properti.
Seperti yang kita ketahui, investasi properti sangat menarik untuk dijadikan alternatif portofolio di samping logam mulia, saham, reksadana, komoditas dan sebagainya. Namun demikian, tidak semua segmen masyarakat memiliki dana yang cukup untuk membeli rumah yang diinginkan.
Harga logam mulia, misalnya. Sampai tulisan ini dibuat berada di kisaran Rp700.000 per gram. Harga ini masih terjangkau sebagian besar masyarakat Indonesia. Lalu harga saham, reksadana dan komoditas pun demikian.
Mereka yang termasuk dalam kelompok first jobber pun, jika pandai mengatur uang, bisa membeli portofolio-portofolio tersebut. Namun untuk rumah, apartemen, dan bahkan ruko, tidak semua orang memiliki daya beli untuk menjangkaunya. Padahal, meski likuiditasnya rendah, properti merupakan instrumen investasi yang bisa menghasilkan return yang cukup tinggi per tahun dibanding instrumen lainnya.
Masyarakat sejak dulu sangat teredukasi mengenai nilai properti yang selalu meningkat setiap tahun. Bagi kelompok menengah atas, mengalokasikan dana berlebih untuk membeli rumah, tanah dan apartemen untuk kemudian dijual lagi saat harga naik sangat lazim dilakukan.
Persoalannya hanyalah pada daya beli sebagian besar masyarakat kita yang belum bisa berinvestasi pada properti. Bisa karena keterbatasan dana, bisa juga karena tidak ada alokasi bujet. Apalagi untuk meminjam kredit membutuhkan banyak persyaratan administrasi.
P2P lending pun kini menjadi alternatif baru dalam berinvestasi dan menjadi solusi bagi mereka, kaum millenial yang ingin berinvestasi pada properti namun dengan kemampuan dana yang terbatas. Sekarang setiap orang bahkan bisa investasi pada rumah, apartemen, ruko, dengan harga secangkir kopi.
Mengapa bisa demikian? Karena tekfin memungkinkan kita “bergotong-royong” dan di era sharing economy seperti sekarang ini, tidak ada lagi istilah investasi mahal dan murah, karena semua bisa dilakukan dengan “berjama’ah” melalui crowd funding di mana harga per unit pendanaan (lot) dibagi dikisaran kelipatan Rp20.000-an.
Dibandingkan investasi properti konvesional, sifatnya tidak spekulatif, karena penyewa ataupun pembeli yang dalam hal ini bertindak sebagai peminjam sudah ada terlebih dahulu dan baru proses pendanaan dimulai dan sehingga para pendana bisa mendapatkan imbal hasil dari pendanaan tersebut. Dengan investasi semurah ini, generasi milennial bisa berpartisipasi dan dari data Gradana sendiri sekitar 35% dari para pendana yang terdaftar sebagai pengguna adalah golongan generasi milennial.
Konsep utama dari platform P2P lending adalah mempertemukan peminjam dengan pemberi pinjaman. Tentunya untuk berinvestasi, mereka bertindak sebagai pemberi pinjaman. Bedanya, pemberi pinjaman terdiri dari banyak orang sehingga nilai partisipasi bisa lebih murah karena dibagi dengan sejumlah unit pendanaan.
Melalui fitur P2P lending, tekfin menjawab isu properti baik dari sisi sebagai pilihan investasi yang terjangkau maupun dari sisi kebutuhan pembiayaan properti. Apalagi generasi millennial memang tidak bisa dilepaskan dari teknologi.
Meski terlihat menggiurkan, masyarakat tetap harus hati-hati dan mengecek ulang apakah perusahaan tersebut terdaftar sebagai perusahaan P2P di OJK atau tidak. Untuk mengetahui apakah investasi tersebut bodong atau tidak, selain melihat dari daftar OJK, juga bisa dinilai dari skemanya. Karena banyak sekali yang “mengaku” P2P padahal sebenarnya money game.
P2P adalah bisnis riil. Uang diputar untuk suatu produk yang juga riil alias nyata dimana ada real demand dari peminjam yang telah diverifikasi dan melalui credit check dan scoring. Produk bukan menjadi kosmetik belaka untuk menarik minat masyarakat berinvestasi, tanpa ada kejelasan siapa atau kemana dana tersebut disalurkan dan adanya transparansi mengenai pembayaran kembali oleh si peminjam.
Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk berinvestasi melalui penempatan pendanaan sebagai pemberi pinjaman pada sebuah platform P2P, cek dulu apakah platform tersebut sudah terdaftar di OJK. Platform-platform yang telah terdaftar, diawasi dan melakukan berbagai compliance sesuai peraturan OJK. Linknya dapat dilihat di https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Pages/-Penyelenggara-Fintech-Terdaftar-dan-Berizin-di-OJK-per-30-September-2019.aspx
Kelompok milennial umumnya adalah kelompok yang literasinya terhadap dunia digital cukup baik serta lebih well-educated dibandingkan generasi sebelumnya. Namun baik generasi milennial maupun generasi lainnya, pahami produk yang ditawarkan dan apapun yang sounds too good to be true it probably is.
Praktisi Teknologi Finansial & Co-Founder Gradana
PROPERTI dan milenial. Kesan pertama yang melekat adalah banyaknya iklan-iklan di luar sana yang ditawarkan oleh para pengembang untuk menargetkan milenial agar membeli properti. Atau banyak iklan-iklan dari bank yang menargetkan segmen ini untuk menjadi peminjam KPR.
Sederet strategi pun disusun untuk menggaet potensi pasar ini. Mulai dari nama-nama yang catchy dibuat agar terlibat lebih menarik dan akrab, penekanan pada bobot teknologi dan digitalisasi, hingga mencoba membuat kampanye-kampanye dengan memanfaatkan seleb milennial.
Sayangnya sejauh ini hanya milenial hanya ditargetkan sebagai konsumen, bukan investor. Mereka masih diasosiasikan sebagai target pasar yang akan membeli rumah dengan cara meminjam produk KPR.
Belum ada, setidaknya sedikit, yang mengasosiasikan mereka sebagai pelaku investasi. Padahal, meski penghasilannya masih terbatas, mereka tetap bisa berinvestasi pada properti.
Inilah yang masih jarang dibahas pelaku industri karena adanya anggapan bahwa milenial adalah generasi konsumtif. Logika sederhananya, apabila beli rumah saja belum bisa apalagi berinvestasi? Apalagi investasi properti di mana ada anggapan perlu modal besar, membeli untuk dimiliki sendiri saja belum bisa sehingga tidak mungkin mereka bisa berinvestasi di properti.
Seperti yang kita ketahui, investasi properti sangat menarik untuk dijadikan alternatif portofolio di samping logam mulia, saham, reksadana, komoditas dan sebagainya. Namun demikian, tidak semua segmen masyarakat memiliki dana yang cukup untuk membeli rumah yang diinginkan.
Harga logam mulia, misalnya. Sampai tulisan ini dibuat berada di kisaran Rp700.000 per gram. Harga ini masih terjangkau sebagian besar masyarakat Indonesia. Lalu harga saham, reksadana dan komoditas pun demikian.
Mereka yang termasuk dalam kelompok first jobber pun, jika pandai mengatur uang, bisa membeli portofolio-portofolio tersebut. Namun untuk rumah, apartemen, dan bahkan ruko, tidak semua orang memiliki daya beli untuk menjangkaunya. Padahal, meski likuiditasnya rendah, properti merupakan instrumen investasi yang bisa menghasilkan return yang cukup tinggi per tahun dibanding instrumen lainnya.
Masyarakat sejak dulu sangat teredukasi mengenai nilai properti yang selalu meningkat setiap tahun. Bagi kelompok menengah atas, mengalokasikan dana berlebih untuk membeli rumah, tanah dan apartemen untuk kemudian dijual lagi saat harga naik sangat lazim dilakukan.
Persoalannya hanyalah pada daya beli sebagian besar masyarakat kita yang belum bisa berinvestasi pada properti. Bisa karena keterbatasan dana, bisa juga karena tidak ada alokasi bujet. Apalagi untuk meminjam kredit membutuhkan banyak persyaratan administrasi.
P2P lending pun kini menjadi alternatif baru dalam berinvestasi dan menjadi solusi bagi mereka, kaum millenial yang ingin berinvestasi pada properti namun dengan kemampuan dana yang terbatas. Sekarang setiap orang bahkan bisa investasi pada rumah, apartemen, ruko, dengan harga secangkir kopi.
Mengapa bisa demikian? Karena tekfin memungkinkan kita “bergotong-royong” dan di era sharing economy seperti sekarang ini, tidak ada lagi istilah investasi mahal dan murah, karena semua bisa dilakukan dengan “berjama’ah” melalui crowd funding di mana harga per unit pendanaan (lot) dibagi dikisaran kelipatan Rp20.000-an.
Dibandingkan investasi properti konvesional, sifatnya tidak spekulatif, karena penyewa ataupun pembeli yang dalam hal ini bertindak sebagai peminjam sudah ada terlebih dahulu dan baru proses pendanaan dimulai dan sehingga para pendana bisa mendapatkan imbal hasil dari pendanaan tersebut. Dengan investasi semurah ini, generasi milennial bisa berpartisipasi dan dari data Gradana sendiri sekitar 35% dari para pendana yang terdaftar sebagai pengguna adalah golongan generasi milennial.
Konsep utama dari platform P2P lending adalah mempertemukan peminjam dengan pemberi pinjaman. Tentunya untuk berinvestasi, mereka bertindak sebagai pemberi pinjaman. Bedanya, pemberi pinjaman terdiri dari banyak orang sehingga nilai partisipasi bisa lebih murah karena dibagi dengan sejumlah unit pendanaan.
Melalui fitur P2P lending, tekfin menjawab isu properti baik dari sisi sebagai pilihan investasi yang terjangkau maupun dari sisi kebutuhan pembiayaan properti. Apalagi generasi millennial memang tidak bisa dilepaskan dari teknologi.
Meski terlihat menggiurkan, masyarakat tetap harus hati-hati dan mengecek ulang apakah perusahaan tersebut terdaftar sebagai perusahaan P2P di OJK atau tidak. Untuk mengetahui apakah investasi tersebut bodong atau tidak, selain melihat dari daftar OJK, juga bisa dinilai dari skemanya. Karena banyak sekali yang “mengaku” P2P padahal sebenarnya money game.
P2P adalah bisnis riil. Uang diputar untuk suatu produk yang juga riil alias nyata dimana ada real demand dari peminjam yang telah diverifikasi dan melalui credit check dan scoring. Produk bukan menjadi kosmetik belaka untuk menarik minat masyarakat berinvestasi, tanpa ada kejelasan siapa atau kemana dana tersebut disalurkan dan adanya transparansi mengenai pembayaran kembali oleh si peminjam.
Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk berinvestasi melalui penempatan pendanaan sebagai pemberi pinjaman pada sebuah platform P2P, cek dulu apakah platform tersebut sudah terdaftar di OJK. Platform-platform yang telah terdaftar, diawasi dan melakukan berbagai compliance sesuai peraturan OJK. Linknya dapat dilihat di https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Pages/-Penyelenggara-Fintech-Terdaftar-dan-Berizin-di-OJK-per-30-September-2019.aspx
Kelompok milennial umumnya adalah kelompok yang literasinya terhadap dunia digital cukup baik serta lebih well-educated dibandingkan generasi sebelumnya. Namun baik generasi milennial maupun generasi lainnya, pahami produk yang ditawarkan dan apapun yang sounds too good to be true it probably is.
(poe)