Pancasila, Orang Muda dan Akar Budaya
A
A
A
Bambang Soesatyo Ketua MPR RI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
MENGAJAK dan mendorong orang muda kembali menghayati dan mempraktikkan akar budaya daerah masing-masing bisa dijadikan model pendekatan untuk membumikan Pancasila, karena nilai-nilai luhur Pancasila digali dari kearifan budaya Nusantara.
Keberagaman budaya semua daerah yang kemudian berbaur dalam rentang waktu yang panjang telah terpatri dan diterima sebagai akar budaya nasional. Adat istiadat dan tradisi di setiap daerah telah membangun dan membentuk perilaku serta pola pikir masyarakat yang selalu dilandasi kehendak baik dan tulus seturut nilai-nilai agama. Dari itu semua, lahirlah semangat musyawarah untuk mufakat, gotong royong, semangat kekeluargaan, silaturahmi demi terjaga dan terpeliharanya persaudaraan, saling pengertian dan toleransi, sopan santun, budi pekerti sebagai keutamaan serta semangat bekerja sama.
Dengan begitu, budaya nasional mengeliminasi ego kelompok dan golongan demi terwujudnya persatuan dan kesatuan nasional. Berpijak pada nilai-nilai luhur inilah lima sila Pancasila dirumuskan, ditetapkan, dan disepakati. Maka, Pancasila membingkai persatuan dan kesatuan nasional Indonesia.
Persatuan dan kesatuan itu pun memiliki landasan yang sangat kuat. Fondasi kokoh itu dibangun oleh orang-orang muda dari seluruh wilayah Tanah Air pada Oktober 1928. Datang dari daerahnya masing-masing yang tentu saja dengan adat istiadat dan tradisi yang berbeda, mereka berkumpul di Jakarta. Setelah tiga kali bersidang, orang-orang muda Indonesia itu pada 28 Oktober 1928 mengikrarkan sumpah setia kepada Tanah Air Indonesia dalam apa yang sampai kini dikenang sebagai Sumpah Pemuda; Bertumpah darah Satu, Tanah Air Indonesia, Berbangsa satu, bangsa Indonesia, Menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Dengan ikrar orang-orang muda Indonesia itu, 17.504 pulau menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); 1.340 suku menjadi bangsa Indonesia, dan 1.331 bahasa daerah menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ikrar orang-orang muda kemudian dipahami sebagai tonggak utama dalam sejarah pergerakan bangsa sekaligus sebagai kristalisasi semangat bagi berdirinya negara Indonesia.
Dan, untuk merawat kebinekaan, Pancasila kemudian disepakati sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, menjadi dasar negara serta sumber kekuatan yang mempersatukan bangsa. Alasannya sangat jelas, karena nilai luhur lima sila Pancasila itu digali dari akar budaya atau sistem nilai semua suku yang sudah diterima sebagai norma kehidupan bermasyarakat di semua daerah atau pulau. Maka, Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika ini ada dan eksis karena Kehendak Tuhan.
Maka, menjadi kewajiban setiap generasi Indonesia untuk merawat kebhinnekaan ini dalam bingkai Pancasila.
Ketika dalam beberapa tahun terakhir hingga saat ini muncul rongrongan terhadap eksistensi Pancasila dan adanya upaya merongrong persatuan dan kesatuan nasional Indonesia, orang muda Indonesia tidak boleh tinggal diam.
Maka, mendorong orang muda Indonesia untuk kembali menghayati dan mempraktikkan akar budaya daerah masing-masing bisa dijadikan model pendekatan untuk membumikan Pancasila dan merawat NKRI. Alasannya, karena NKRI terbentuk oleh kehendak dan dorongan orang muda dan nilai-nilai luhur Pancasila digali dari kearifan budaya yang melekat turun-temurun di semua daerah. Dan, semua orang muda bangga dengan kekayaan dan kearifan lokal yang bersumber dari akar budaya daerahnya masing-masing.
Festival Budaya
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyebut ada lima tantangan utama dalam upaya membumikan ideologi Pancasila. Supaya lebih komprehensif pemahamannya, kerja membumikan Pancasila adalah bagian tak terpisah dari merawat eksistensi NKRI.
Kerja membumikan Pancasila bukanlah isu yang menarik bagi orang muda sehingga mendengarnya pun belum tentu mereka tertarik. Harus terus dieksplorasi model-model pendekatan yang memungkinkan bangkitnya minat orang muda untuk tahu, paham, dan menghayati lima sila Pancasila itu.
Semuanya sangat bergantung pada efektivitas pola komunikasi. Generasi orang tua masa kini mengakui bahwa untuk beberapa aspek menjadi tidak terlalu mudah berkomunikasi dengan Generasi Milenial dan Generasi Z. Apalagi, kalau materi obrolannya tentang Pancasila. Memang, masih sangat dimungkinkan untuk meminta 100 atau 200 orang muda berkumpul dalam satu ruangan besar dan duduk mendengarkan pidato atau ceramah tentang Pancasila. Pertanyaannya, apakah pendekatan seperti ini efektif untuk orang muda masa kini? Banyak kalangan sudah meragukan cara seperti ini. Dengan begitu, pencarian model pendekatan harus lebih didahulukan.
Kalau generasi orang tua sulit mengomunikasikan nilai-nilai Pancasila, mengapa tidak mengerahkan orang muda sendiri yang melakukannya? Mereka yang paling tahu bagaimana mendekati dan berkomunikasi dengan rekan sebaya, dengan cara dan gaya yang mudah dipahami oleh komunitas mereka sendiri. Tentu saja orang-orang muda dengan misi membumikan Pancasila itu harus dipersiapkan dengan matang.
Menjadi lebih ideal jika upaya itu dikaitkan dengan sistem nilai atau norma-norma yang terkandung dalam akar budaya setiap daerah. Menunjukkan bahwa kearifan lokal yang turun-temurun itu diadopsi menjadi sila-sila Pancasila untuk merawat harmoni kehidupan komunitas itu.
Salah satu pintu masuk yang bisa dipilih adalah menyelenggarakan festival budaya lokal di setiap daerah. Festival budaya lokal pada tingkatan daerah relevan untuk semakin diintensifkan. Selain untuk menanamkan kearifan lokal pada generasi muda setempat, juga efektif untuk membendung budaya asing yang destruktif.
Suka tidak suka, harus dikatakan bahwa ada upaya dari kelompok tertentu untuk menarik masyarakat keluar dari akar budaya daerahnya. Pada satu atau dua aspek, upaya itu sudah membuahkan hasilnya. Salah satu contohnya adalah perilaku intoleran yang merebak di sejumlah tempat.
Memulihkan harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara seperti di masa lalu memang bukan pekerjaan mudah. Tetapi, upaya pemulihan itu harus dimulai dan terjaganya konsistensinya. Sebagian upaya itu layak dipercayakan kepada orang muda Indonesia di semua daerah, karena mereka lebih komunikatif dengan rekan segenerasi.
MENGAJAK dan mendorong orang muda kembali menghayati dan mempraktikkan akar budaya daerah masing-masing bisa dijadikan model pendekatan untuk membumikan Pancasila, karena nilai-nilai luhur Pancasila digali dari kearifan budaya Nusantara.
Keberagaman budaya semua daerah yang kemudian berbaur dalam rentang waktu yang panjang telah terpatri dan diterima sebagai akar budaya nasional. Adat istiadat dan tradisi di setiap daerah telah membangun dan membentuk perilaku serta pola pikir masyarakat yang selalu dilandasi kehendak baik dan tulus seturut nilai-nilai agama. Dari itu semua, lahirlah semangat musyawarah untuk mufakat, gotong royong, semangat kekeluargaan, silaturahmi demi terjaga dan terpeliharanya persaudaraan, saling pengertian dan toleransi, sopan santun, budi pekerti sebagai keutamaan serta semangat bekerja sama.
Dengan begitu, budaya nasional mengeliminasi ego kelompok dan golongan demi terwujudnya persatuan dan kesatuan nasional. Berpijak pada nilai-nilai luhur inilah lima sila Pancasila dirumuskan, ditetapkan, dan disepakati. Maka, Pancasila membingkai persatuan dan kesatuan nasional Indonesia.
Persatuan dan kesatuan itu pun memiliki landasan yang sangat kuat. Fondasi kokoh itu dibangun oleh orang-orang muda dari seluruh wilayah Tanah Air pada Oktober 1928. Datang dari daerahnya masing-masing yang tentu saja dengan adat istiadat dan tradisi yang berbeda, mereka berkumpul di Jakarta. Setelah tiga kali bersidang, orang-orang muda Indonesia itu pada 28 Oktober 1928 mengikrarkan sumpah setia kepada Tanah Air Indonesia dalam apa yang sampai kini dikenang sebagai Sumpah Pemuda; Bertumpah darah Satu, Tanah Air Indonesia, Berbangsa satu, bangsa Indonesia, Menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Dengan ikrar orang-orang muda Indonesia itu, 17.504 pulau menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); 1.340 suku menjadi bangsa Indonesia, dan 1.331 bahasa daerah menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ikrar orang-orang muda kemudian dipahami sebagai tonggak utama dalam sejarah pergerakan bangsa sekaligus sebagai kristalisasi semangat bagi berdirinya negara Indonesia.
Dan, untuk merawat kebinekaan, Pancasila kemudian disepakati sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, menjadi dasar negara serta sumber kekuatan yang mempersatukan bangsa. Alasannya sangat jelas, karena nilai luhur lima sila Pancasila itu digali dari akar budaya atau sistem nilai semua suku yang sudah diterima sebagai norma kehidupan bermasyarakat di semua daerah atau pulau. Maka, Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika ini ada dan eksis karena Kehendak Tuhan.
Maka, menjadi kewajiban setiap generasi Indonesia untuk merawat kebhinnekaan ini dalam bingkai Pancasila.
Ketika dalam beberapa tahun terakhir hingga saat ini muncul rongrongan terhadap eksistensi Pancasila dan adanya upaya merongrong persatuan dan kesatuan nasional Indonesia, orang muda Indonesia tidak boleh tinggal diam.
Maka, mendorong orang muda Indonesia untuk kembali menghayati dan mempraktikkan akar budaya daerah masing-masing bisa dijadikan model pendekatan untuk membumikan Pancasila dan merawat NKRI. Alasannya, karena NKRI terbentuk oleh kehendak dan dorongan orang muda dan nilai-nilai luhur Pancasila digali dari kearifan budaya yang melekat turun-temurun di semua daerah. Dan, semua orang muda bangga dengan kekayaan dan kearifan lokal yang bersumber dari akar budaya daerahnya masing-masing.
Festival Budaya
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyebut ada lima tantangan utama dalam upaya membumikan ideologi Pancasila. Supaya lebih komprehensif pemahamannya, kerja membumikan Pancasila adalah bagian tak terpisah dari merawat eksistensi NKRI.
Kerja membumikan Pancasila bukanlah isu yang menarik bagi orang muda sehingga mendengarnya pun belum tentu mereka tertarik. Harus terus dieksplorasi model-model pendekatan yang memungkinkan bangkitnya minat orang muda untuk tahu, paham, dan menghayati lima sila Pancasila itu.
Semuanya sangat bergantung pada efektivitas pola komunikasi. Generasi orang tua masa kini mengakui bahwa untuk beberapa aspek menjadi tidak terlalu mudah berkomunikasi dengan Generasi Milenial dan Generasi Z. Apalagi, kalau materi obrolannya tentang Pancasila. Memang, masih sangat dimungkinkan untuk meminta 100 atau 200 orang muda berkumpul dalam satu ruangan besar dan duduk mendengarkan pidato atau ceramah tentang Pancasila. Pertanyaannya, apakah pendekatan seperti ini efektif untuk orang muda masa kini? Banyak kalangan sudah meragukan cara seperti ini. Dengan begitu, pencarian model pendekatan harus lebih didahulukan.
Kalau generasi orang tua sulit mengomunikasikan nilai-nilai Pancasila, mengapa tidak mengerahkan orang muda sendiri yang melakukannya? Mereka yang paling tahu bagaimana mendekati dan berkomunikasi dengan rekan sebaya, dengan cara dan gaya yang mudah dipahami oleh komunitas mereka sendiri. Tentu saja orang-orang muda dengan misi membumikan Pancasila itu harus dipersiapkan dengan matang.
Menjadi lebih ideal jika upaya itu dikaitkan dengan sistem nilai atau norma-norma yang terkandung dalam akar budaya setiap daerah. Menunjukkan bahwa kearifan lokal yang turun-temurun itu diadopsi menjadi sila-sila Pancasila untuk merawat harmoni kehidupan komunitas itu.
Salah satu pintu masuk yang bisa dipilih adalah menyelenggarakan festival budaya lokal di setiap daerah. Festival budaya lokal pada tingkatan daerah relevan untuk semakin diintensifkan. Selain untuk menanamkan kearifan lokal pada generasi muda setempat, juga efektif untuk membendung budaya asing yang destruktif.
Suka tidak suka, harus dikatakan bahwa ada upaya dari kelompok tertentu untuk menarik masyarakat keluar dari akar budaya daerahnya. Pada satu atau dua aspek, upaya itu sudah membuahkan hasilnya. Salah satu contohnya adalah perilaku intoleran yang merebak di sejumlah tempat.
Memulihkan harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara seperti di masa lalu memang bukan pekerjaan mudah. Tetapi, upaya pemulihan itu harus dimulai dan terjaganya konsistensinya. Sebagian upaya itu layak dipercayakan kepada orang muda Indonesia di semua daerah, karena mereka lebih komunikatif dengan rekan segenerasi.
(kri)