Jejak-jejak Digital
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)
DULU sewaktu kecil guru agama sering mengatakan bahwa semua ucapan dan perilaku kita itu dicatat oleh dua malaikat, yaitu Raqib dan Atid. Yang pertama mencatat amal baik, yang kedua amal buruk.
Pendeknya, nanti di akhirat setiap pribadi akan menerima catatan semua amalnya selama hidup di dunia, lalu malaikat akan menimbangnya. Jika lebih berat amal baiknya, maka seseorang akan dimasukkan ke surga.
Jika lebih berat amal buruknya, maka tempatnya adalah di neraka. Berapa lama seseorang di neraka akan dihitung sebanding dengan jumlah amal buruknya. Namun, di atas semua itu Tuhan adalah maha pengasih dan penyayang yang kasih sayang-Nya akan mengalahkan kemarahan-Nya.
Demikianlah secuil kenangan pelajaran agama itu muncul ketika saya melihat kecanggihan teknologi digital yang mampu merekam semua ucapan dan tindakan kita, seperti closed circuit television (CCTV) ataupun kamera rekaman. Sekarang ini di berbagai tempat dipasang CCTV, termasuk kompleks-kompleks perumahan dan rumah pribadi.
Bahkan, polisi juga menggunakan CCTV di perempatan jalan besar untuk memantau kalau ada pengendara mobil yang melanggar rambu-rambu lalu lintas. Khususnya bagi para politisi dan pejabat tinggi pemerintah, rekaman jejak-jejak digital ini bagaikan pisau bermata dua.
Di satu sisi bisa dijadikan media komunikasi, promosi, dan dokumen yang canggih serta efektif untuk menyampaikan gagasan dan prestasinya. Namun celakanya, jejak digital juga bisa membunuh karier politik seseorang.
Ketika politisi tidak konsisten ucapan dan sikapnya, maka jejak-jejak digitalnya akan merekam semua ucapannya dan bisa menjadi musuh yang akan mempermalukannya. Coba saja perhatikan, ketika seorang capres, cagub, dan caleg berkampanye menyampaikan janji-janjinya, dan ketika janji-janji itu tidak dipenuhi, maka rekamannya mudah diputar kembali sehingga rakyat akan tahu bahwa mereka telah dibohongi dan dikhianati.
Hal yang juga fenomenal adalah ketika seorang politisi berpindah gerbong partai, sering kali pidatonya saling bertabrakan karena beda mimbarnya dan berubah tokoh yang didukungnya. Oleh sebab itu, kita pantas terima kasih pada teknologi digital karena membantu kita untuk lebih mengenal integritas seorang tokoh publik. Namun, mesti juga hati-hati karena jejak digital bisa menerkam balik pelakunya.
Di sini berlaku pepatah lama, ‘mulutmu adalah harimaumu’. Bagi yang senang menulis di Facebook, jarimu adalah harimaumu. Khususnya bagi public figure, saat ini ruang privasi semakin menciut, yang dulu dianggap wilayah pribadi, sekarang menjadi terbuka.
Gawai dan isinya mudah diakses oleh orang lain. Bahkan, ada yang sengaja memamerkan kehidupan pribadinya, termasuk foto-foto keluarganya kepada publik lewat Facebook, WhatsApp, dan Instagram.
Jejak-jejak digital ini oleh neokapitalis telah dikapitalisasi ke dalam sistem big data yang pada urutannya memberikan peta pangsa pasar. Miliarder seperti Bill Gates tak perlu memiliki tanah luas, pabrik, buruh, dan kapal seperti kapitalis abad ke-18, melainkan cukup menguasai dan mengendalikan jejaring big data, uang akan mengalir mengisi pundi-pundinya.
Berangkat dari data pribadi lalu terkumpul menjadi data kelompok dan masyarakat, semuanya telah teridentifikasi dalam big data tentang jenis makanan yang dikonsumsi, nomor telepon, alamat rumah, usia, agama, pilihan politik, pendidikan, etnis, jenis kelamin, jumlah keluarga, profesi, penghasilan, dan lain sebagainya.
Semua ini diketahui berdasarkan jejak-jejak digital yang dikendalikan oleh pusat-pusat pengendali sistem informasi dengan keahlian sangat canggih. Ketika seseorang asyik sendiri dengan gawainya, sesungguhnya, dia tidak sendiri. Bahkan, tanpa sadar telah menyerahkan data-data pribadinya kepada pihak lain.
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)
DULU sewaktu kecil guru agama sering mengatakan bahwa semua ucapan dan perilaku kita itu dicatat oleh dua malaikat, yaitu Raqib dan Atid. Yang pertama mencatat amal baik, yang kedua amal buruk.
Pendeknya, nanti di akhirat setiap pribadi akan menerima catatan semua amalnya selama hidup di dunia, lalu malaikat akan menimbangnya. Jika lebih berat amal baiknya, maka seseorang akan dimasukkan ke surga.
Jika lebih berat amal buruknya, maka tempatnya adalah di neraka. Berapa lama seseorang di neraka akan dihitung sebanding dengan jumlah amal buruknya. Namun, di atas semua itu Tuhan adalah maha pengasih dan penyayang yang kasih sayang-Nya akan mengalahkan kemarahan-Nya.
Demikianlah secuil kenangan pelajaran agama itu muncul ketika saya melihat kecanggihan teknologi digital yang mampu merekam semua ucapan dan tindakan kita, seperti closed circuit television (CCTV) ataupun kamera rekaman. Sekarang ini di berbagai tempat dipasang CCTV, termasuk kompleks-kompleks perumahan dan rumah pribadi.
Bahkan, polisi juga menggunakan CCTV di perempatan jalan besar untuk memantau kalau ada pengendara mobil yang melanggar rambu-rambu lalu lintas. Khususnya bagi para politisi dan pejabat tinggi pemerintah, rekaman jejak-jejak digital ini bagaikan pisau bermata dua.
Di satu sisi bisa dijadikan media komunikasi, promosi, dan dokumen yang canggih serta efektif untuk menyampaikan gagasan dan prestasinya. Namun celakanya, jejak digital juga bisa membunuh karier politik seseorang.
Ketika politisi tidak konsisten ucapan dan sikapnya, maka jejak-jejak digitalnya akan merekam semua ucapannya dan bisa menjadi musuh yang akan mempermalukannya. Coba saja perhatikan, ketika seorang capres, cagub, dan caleg berkampanye menyampaikan janji-janjinya, dan ketika janji-janji itu tidak dipenuhi, maka rekamannya mudah diputar kembali sehingga rakyat akan tahu bahwa mereka telah dibohongi dan dikhianati.
Hal yang juga fenomenal adalah ketika seorang politisi berpindah gerbong partai, sering kali pidatonya saling bertabrakan karena beda mimbarnya dan berubah tokoh yang didukungnya. Oleh sebab itu, kita pantas terima kasih pada teknologi digital karena membantu kita untuk lebih mengenal integritas seorang tokoh publik. Namun, mesti juga hati-hati karena jejak digital bisa menerkam balik pelakunya.
Di sini berlaku pepatah lama, ‘mulutmu adalah harimaumu’. Bagi yang senang menulis di Facebook, jarimu adalah harimaumu. Khususnya bagi public figure, saat ini ruang privasi semakin menciut, yang dulu dianggap wilayah pribadi, sekarang menjadi terbuka.
Gawai dan isinya mudah diakses oleh orang lain. Bahkan, ada yang sengaja memamerkan kehidupan pribadinya, termasuk foto-foto keluarganya kepada publik lewat Facebook, WhatsApp, dan Instagram.
Jejak-jejak digital ini oleh neokapitalis telah dikapitalisasi ke dalam sistem big data yang pada urutannya memberikan peta pangsa pasar. Miliarder seperti Bill Gates tak perlu memiliki tanah luas, pabrik, buruh, dan kapal seperti kapitalis abad ke-18, melainkan cukup menguasai dan mengendalikan jejaring big data, uang akan mengalir mengisi pundi-pundinya.
Berangkat dari data pribadi lalu terkumpul menjadi data kelompok dan masyarakat, semuanya telah teridentifikasi dalam big data tentang jenis makanan yang dikonsumsi, nomor telepon, alamat rumah, usia, agama, pilihan politik, pendidikan, etnis, jenis kelamin, jumlah keluarga, profesi, penghasilan, dan lain sebagainya.
Semua ini diketahui berdasarkan jejak-jejak digital yang dikendalikan oleh pusat-pusat pengendali sistem informasi dengan keahlian sangat canggih. Ketika seseorang asyik sendiri dengan gawainya, sesungguhnya, dia tidak sendiri. Bahkan, tanpa sadar telah menyerahkan data-data pribadinya kepada pihak lain.
(poe)