GBHN untuk Merespons Inovasi Disruptif dan Ancaman
A
A
A
Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/ Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
RODA perubahan zaman terus berputar dengan cepat, dan sudah terbukti bahwa ragam perubahan itu menghadirkan juga sejumlah masalah, termasuk ancaman. Di tengah arus cepat perubahan akibat inovasi disruptif sekarang ini, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menjadi keniscayaan bagi Indonesia untuk menjaga dan memperkuat eksistensi negara kesatuan dan kebinekaan bangsa. Maka jangan terburu-buru berpersepsi negatif atas gagasan atau inisiatif menetapkan dan merumuskan GBHN. Pun, jangan sempit-sempit amat menafsirkan makna maupun tujuan ditetapkannya GBHN. Kekanak-kanakan jika GBHN diasumsikan sebagai upaya memperbesar otot MPR untuk bisa menjadi lembaga tertinggi negara yang berwenang memakzulkan presiden. Urgensi bangsa ini punya GBHN sejatinya tidaklah sesederhana itu.
GBHN merefleksikan kearifan generasi terkini melihat dan membaca kebutuhan sekarang dan tantangan masa depan. Di dalam GBHN ditetapkan dan disepakati kehendak atau cita-cita yang ingin diwujudkan bangsa ini. Sebutlah GBHN sebagai pernyataan kehendak rakyat. Maka GBHN haruslah bersumber dari pemikiran, perhitungan, perencanaan, perkiraan dan penetapan target-target oleh semua elemen bangsa melalui dewan perwakilan dan majelis permusyawaratan (MPR/DPR/DPD). Jadi, jelas bahwa GBHN itu bukan ide atau kehendak personal, bukan pula interes kelompok. Publik sudah mendapatkan penjelasan bahwa rencana amendemen terbatas atas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tidak akan mengubah sistem presidensial, termasuk tata cara memilih presiden dan wakil presiden yang diatur pasal 6A ayat 1. Pemilihan presiden tetap oleh rakyat secara langsung. Amendemen terbatas itu juga tidak mempersoalkan syarat pemakzulan presiden sebagaimana diatur dalam pasal 7A dan 7B dalam UUD 1945. Rencana amendemen hanya tertuju pada pasal 3 ayat 1 UUD 1945 tentang penambahan wewenang MPR menetapkan GBHN. Dan, dipastikan pula GBHN tidak akan memperlemah sistem presidensial. GBHN itu tak lebih dari sebuah dokumen yang menetapkan arah dan tujuan masa depan bangsa. Hampir semua bangsa memiliki dokumen serupa GBHN. Kenapa? Karena setiap bangsa punya cita-cita dan target. Pemimpin China dasawarsa ‘70-an hingga ‘90-an, Deng Xiao Ping, menggagas pembaruan di Negeri Tirai Bambu itu. Gagasannya yang hingga kini sangat fenomenal itu, Gaige Kaifang (reformasi dan keterbukaan), bisa disebut serupa dengan GBHN. Gaige Kaifang menjadi pijakan bagi China melakukan modernisasi empat pilar, meliputi pembangunan sektor pertanian, sektor Industri, pengembangan teknologi, dan pembangunan sektor pertahanan negara. Hasilnya bisa dilihat sekarang. Dari negeri komunis dengan tingkat kemiskinan akut hingga dasawarsa ‘90-an, China kini berubah menjadi kekuatan yang menentukan arah geopolitik dan perekonomian global. Dokumen GBHN pun akan memuat cita-cita dan arah masa depan bangsa. Cakupannya meliputi semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, GBHN haruslah holistis. Menjadi tidak relevan ketika orang berbicara GBHN, tetapi pijakan berpikirnya politik praktis. Harus dibangun kesadaran bersama bahwa masih ada sejumlah persoalan mendasar yang belum diselesaikan negara, kendati sudah puluhan tahun bangsa ini menyelenggarakan pembangunan pada semua aspek kehidupan. GBHN harus mencermati sejumlah persoalan mendasar itu dan memastikan bahwa negara hadir dan harus bekerja menyelesaikan persoalan-persoalan itu.
Nyatanya, kinerja negara dalam konteks itu belum maksimal. Negara masih berutang kepada warga yang berkekurangan. Negara lalai karena tidak ada GBHN. Contoh persoalan mendasar bisa dilihat pada kasus bayi kurang gizi, angka kematian ibu, jutaan anak putus sekolah, hingga kasus sulitnya puluhan juta rakyat mendapatkan air bersih. Pedoman Pembangunan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018 menyebutkan bahwa 17,7% bayi usia di bawah lima tahun (balita) masih bermasalah dengan gizi. Dari persentase itu, 3,9% balita mengalami gizi buruk dan 13,8% menderita kurang gizi. Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) juga masih menjadi masalah yang harus ditanggulangi negara. AKB misalnya, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menyebutkan adanya penurunan 68 kematian per 1.000 kelahiran hidup pada 1991 menjadi 24 kematian per 1.000 kelahiran hidup pada 2017. Sementara AKI turun dari 390 per 100.000 kelahiran hidup pada 1990 (SDKI, 1990) menjadi 305 per 100.000 per kelahiran hidup (SUPAS, 2015). Namun, para pemerhati menilai AKI dan AKB di Indonesia masih tinggi jika mengacu pada target Millennium Development Goals (MDGs). Partisipasi pendidikan oleh anak usia sekolah juga masih menyimpan masalah. Juli 2019, sejumlah media lokal melaporkan bahwa total jumlah anak putus sekolah di 34 provinsi masih di kisaran 4,5 juta anak.
Menurut data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), jumlah anak usia 7-12 tahun yang tidak bersekolah berjumlah 1.228.792 anak. Untuk kategori usia 13-15 tahun di 34 provinsi, jumlahnya 936.674 anak. Untuk usia 16-18 tahun, ada 2.420.866 anak tidak bersekolah. Maka secara keseluruhan, jumlah anak Indonesia yang tidak bersekolah mencapai 4.586.332 anak. Ketersediaan air bersih pun belum merata. Padahal, kemudahan akses terhadap air bersih menjadi bagian tidak terpisah untuk mewujudkan kesejahteraan. Masih ada puluhan juta warga sulit mendapatkan air bersih. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), capaian akses air bersih saat ini 72,55%, masih di bawah target Sustainable Development Goals (SDGs) yang 100%.
Inilah beberapa contoh persoalan dasar yang masih harus diselesaikan oleh negara. Belum lagi isu elektrifikasi nasional yang juga masih harus diselesaikan. Selain sejumlah persoalan dasar itu, bangsa ini pun harus realistis menyikapi masalah strategis lain yang nyata-nyata mengemuka di ruang publik dewasa ini. Ada kekuatan yang terus bereksperimen merongrong Pancasila, ada yang terus bercita-cita mengubah NKRI, hingga upaya sistematis merongrong persatuan dan kesatuan bangsa yang sudah merasuki sejumlah institusi negara, termasuk institusi pendidikan tinggi. Belum ada kebijakan yang jitu untuk menanggapi masalah ini, karena semua elemen bangsa belum merumuskan kesepakatan bersama untuk meresponsnya.
Maka itu, GBHN pun harus menyikapi masalah ini. Dan pada saat yang sama, negara juga harus bekerja lebih keras untuk memastikan generasi milenial dan generasi Z punya kompetensi menanggapi perubahan zaman yang ditandai oleh gelombang inovasi disruptif sekarang ini yang mengubah banyak aspek dalam kehidupan manusia. Menghadirkan perilaku dan budaya baru, serta mengeliminasi (merusak) tatanan sebelumnya. Menciptakan model pasar yang baru plus layanan konsumen yang juga dengan pola baru. Siapa yang bisa memastikan bahwa semua elemen generasi milenial Indonesia memahami konsekuensi logis dari era Industri 4.0 yang disruptif ini? Era serbaotomatisasi dan serbadigitalisasi yang telah mengeliminasi begitu banyak pekerjaan yang sebelumnya mengandalkan otak dan kreasi manusia.
Opsi pembaruan kurikulum pendidikan mungkin tidak terhindarkan untuk memberi peluang bagi generasi milenial dan generasi Z membangun kompetensi mereka. Selain itu, negara pun harus proaktif melindungi generasi penerus dari berbagai ancaman yang datang dari luar. Tingginya gelombang penyelundupan narkoba patut dipahami sebagai bukti nyata perang proxy yang menargetkan generasi milenial Indonesia. Ruang publik kini terus dibanjiri ragam produk narkoba akibat masih tingginya intensitas penyelundupan.
Itulah beberapa masalah sekaligus ancaman yang harus disikapi bangsa ini, sekarang dan di kemudian hari. Keprihatinan dan kepedulian semua elemen bangsa terhadap beberapa contoh masalah atau persoalan tersebut harus direfleksikan dalam GBHN. Kepedulian atau keprihatinan itu menjadi pertimbangan yang mendasari rumusan GBHN. Tentu saja rangkaian masalah atau persoalan itu harus direspons atau ditindaklanjuti oleh negara. Maka itu, GBHN akan merekomendasikan kepada penyelenggara negara dan penyelenggara pemerintahan untuk bekerja menyelesaikan masalah dan semua persoalan itu.GBHN akan diterima sebagai dokumen hukum dan politik bagi penyelenggara pembangunan nasional, yang kemudian bisa diasumsikan sebagai pedoman bagi presiden dalam menjabarkan program-program pembangunan nasional. Dengan GBHN, realisasi setiap. program atau sektor pembangunan harus komprehensif dan tuntas. Harus ada konsistensi. Tidak boleh lagi terjadi diskontinuitas program atau sektor seperti di masa lalu.
Ketua MPR RI/ Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
RODA perubahan zaman terus berputar dengan cepat, dan sudah terbukti bahwa ragam perubahan itu menghadirkan juga sejumlah masalah, termasuk ancaman. Di tengah arus cepat perubahan akibat inovasi disruptif sekarang ini, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menjadi keniscayaan bagi Indonesia untuk menjaga dan memperkuat eksistensi negara kesatuan dan kebinekaan bangsa. Maka jangan terburu-buru berpersepsi negatif atas gagasan atau inisiatif menetapkan dan merumuskan GBHN. Pun, jangan sempit-sempit amat menafsirkan makna maupun tujuan ditetapkannya GBHN. Kekanak-kanakan jika GBHN diasumsikan sebagai upaya memperbesar otot MPR untuk bisa menjadi lembaga tertinggi negara yang berwenang memakzulkan presiden. Urgensi bangsa ini punya GBHN sejatinya tidaklah sesederhana itu.
GBHN merefleksikan kearifan generasi terkini melihat dan membaca kebutuhan sekarang dan tantangan masa depan. Di dalam GBHN ditetapkan dan disepakati kehendak atau cita-cita yang ingin diwujudkan bangsa ini. Sebutlah GBHN sebagai pernyataan kehendak rakyat. Maka GBHN haruslah bersumber dari pemikiran, perhitungan, perencanaan, perkiraan dan penetapan target-target oleh semua elemen bangsa melalui dewan perwakilan dan majelis permusyawaratan (MPR/DPR/DPD). Jadi, jelas bahwa GBHN itu bukan ide atau kehendak personal, bukan pula interes kelompok. Publik sudah mendapatkan penjelasan bahwa rencana amendemen terbatas atas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tidak akan mengubah sistem presidensial, termasuk tata cara memilih presiden dan wakil presiden yang diatur pasal 6A ayat 1. Pemilihan presiden tetap oleh rakyat secara langsung. Amendemen terbatas itu juga tidak mempersoalkan syarat pemakzulan presiden sebagaimana diatur dalam pasal 7A dan 7B dalam UUD 1945. Rencana amendemen hanya tertuju pada pasal 3 ayat 1 UUD 1945 tentang penambahan wewenang MPR menetapkan GBHN. Dan, dipastikan pula GBHN tidak akan memperlemah sistem presidensial. GBHN itu tak lebih dari sebuah dokumen yang menetapkan arah dan tujuan masa depan bangsa. Hampir semua bangsa memiliki dokumen serupa GBHN. Kenapa? Karena setiap bangsa punya cita-cita dan target. Pemimpin China dasawarsa ‘70-an hingga ‘90-an, Deng Xiao Ping, menggagas pembaruan di Negeri Tirai Bambu itu. Gagasannya yang hingga kini sangat fenomenal itu, Gaige Kaifang (reformasi dan keterbukaan), bisa disebut serupa dengan GBHN. Gaige Kaifang menjadi pijakan bagi China melakukan modernisasi empat pilar, meliputi pembangunan sektor pertanian, sektor Industri, pengembangan teknologi, dan pembangunan sektor pertahanan negara. Hasilnya bisa dilihat sekarang. Dari negeri komunis dengan tingkat kemiskinan akut hingga dasawarsa ‘90-an, China kini berubah menjadi kekuatan yang menentukan arah geopolitik dan perekonomian global. Dokumen GBHN pun akan memuat cita-cita dan arah masa depan bangsa. Cakupannya meliputi semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, GBHN haruslah holistis. Menjadi tidak relevan ketika orang berbicara GBHN, tetapi pijakan berpikirnya politik praktis. Harus dibangun kesadaran bersama bahwa masih ada sejumlah persoalan mendasar yang belum diselesaikan negara, kendati sudah puluhan tahun bangsa ini menyelenggarakan pembangunan pada semua aspek kehidupan. GBHN harus mencermati sejumlah persoalan mendasar itu dan memastikan bahwa negara hadir dan harus bekerja menyelesaikan persoalan-persoalan itu.
Nyatanya, kinerja negara dalam konteks itu belum maksimal. Negara masih berutang kepada warga yang berkekurangan. Negara lalai karena tidak ada GBHN. Contoh persoalan mendasar bisa dilihat pada kasus bayi kurang gizi, angka kematian ibu, jutaan anak putus sekolah, hingga kasus sulitnya puluhan juta rakyat mendapatkan air bersih. Pedoman Pembangunan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018 menyebutkan bahwa 17,7% bayi usia di bawah lima tahun (balita) masih bermasalah dengan gizi. Dari persentase itu, 3,9% balita mengalami gizi buruk dan 13,8% menderita kurang gizi. Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) juga masih menjadi masalah yang harus ditanggulangi negara. AKB misalnya, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menyebutkan adanya penurunan 68 kematian per 1.000 kelahiran hidup pada 1991 menjadi 24 kematian per 1.000 kelahiran hidup pada 2017. Sementara AKI turun dari 390 per 100.000 kelahiran hidup pada 1990 (SDKI, 1990) menjadi 305 per 100.000 per kelahiran hidup (SUPAS, 2015). Namun, para pemerhati menilai AKI dan AKB di Indonesia masih tinggi jika mengacu pada target Millennium Development Goals (MDGs). Partisipasi pendidikan oleh anak usia sekolah juga masih menyimpan masalah. Juli 2019, sejumlah media lokal melaporkan bahwa total jumlah anak putus sekolah di 34 provinsi masih di kisaran 4,5 juta anak.
Menurut data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), jumlah anak usia 7-12 tahun yang tidak bersekolah berjumlah 1.228.792 anak. Untuk kategori usia 13-15 tahun di 34 provinsi, jumlahnya 936.674 anak. Untuk usia 16-18 tahun, ada 2.420.866 anak tidak bersekolah. Maka secara keseluruhan, jumlah anak Indonesia yang tidak bersekolah mencapai 4.586.332 anak. Ketersediaan air bersih pun belum merata. Padahal, kemudahan akses terhadap air bersih menjadi bagian tidak terpisah untuk mewujudkan kesejahteraan. Masih ada puluhan juta warga sulit mendapatkan air bersih. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), capaian akses air bersih saat ini 72,55%, masih di bawah target Sustainable Development Goals (SDGs) yang 100%.
Inilah beberapa contoh persoalan dasar yang masih harus diselesaikan oleh negara. Belum lagi isu elektrifikasi nasional yang juga masih harus diselesaikan. Selain sejumlah persoalan dasar itu, bangsa ini pun harus realistis menyikapi masalah strategis lain yang nyata-nyata mengemuka di ruang publik dewasa ini. Ada kekuatan yang terus bereksperimen merongrong Pancasila, ada yang terus bercita-cita mengubah NKRI, hingga upaya sistematis merongrong persatuan dan kesatuan bangsa yang sudah merasuki sejumlah institusi negara, termasuk institusi pendidikan tinggi. Belum ada kebijakan yang jitu untuk menanggapi masalah ini, karena semua elemen bangsa belum merumuskan kesepakatan bersama untuk meresponsnya.
Maka itu, GBHN pun harus menyikapi masalah ini. Dan pada saat yang sama, negara juga harus bekerja lebih keras untuk memastikan generasi milenial dan generasi Z punya kompetensi menanggapi perubahan zaman yang ditandai oleh gelombang inovasi disruptif sekarang ini yang mengubah banyak aspek dalam kehidupan manusia. Menghadirkan perilaku dan budaya baru, serta mengeliminasi (merusak) tatanan sebelumnya. Menciptakan model pasar yang baru plus layanan konsumen yang juga dengan pola baru. Siapa yang bisa memastikan bahwa semua elemen generasi milenial Indonesia memahami konsekuensi logis dari era Industri 4.0 yang disruptif ini? Era serbaotomatisasi dan serbadigitalisasi yang telah mengeliminasi begitu banyak pekerjaan yang sebelumnya mengandalkan otak dan kreasi manusia.
Opsi pembaruan kurikulum pendidikan mungkin tidak terhindarkan untuk memberi peluang bagi generasi milenial dan generasi Z membangun kompetensi mereka. Selain itu, negara pun harus proaktif melindungi generasi penerus dari berbagai ancaman yang datang dari luar. Tingginya gelombang penyelundupan narkoba patut dipahami sebagai bukti nyata perang proxy yang menargetkan generasi milenial Indonesia. Ruang publik kini terus dibanjiri ragam produk narkoba akibat masih tingginya intensitas penyelundupan.
Itulah beberapa masalah sekaligus ancaman yang harus disikapi bangsa ini, sekarang dan di kemudian hari. Keprihatinan dan kepedulian semua elemen bangsa terhadap beberapa contoh masalah atau persoalan tersebut harus direfleksikan dalam GBHN. Kepedulian atau keprihatinan itu menjadi pertimbangan yang mendasari rumusan GBHN. Tentu saja rangkaian masalah atau persoalan itu harus direspons atau ditindaklanjuti oleh negara. Maka itu, GBHN akan merekomendasikan kepada penyelenggara negara dan penyelenggara pemerintahan untuk bekerja menyelesaikan masalah dan semua persoalan itu.GBHN akan diterima sebagai dokumen hukum dan politik bagi penyelenggara pembangunan nasional, yang kemudian bisa diasumsikan sebagai pedoman bagi presiden dalam menjabarkan program-program pembangunan nasional. Dengan GBHN, realisasi setiap. program atau sektor pembangunan harus komprehensif dan tuntas. Harus ada konsistensi. Tidak boleh lagi terjadi diskontinuitas program atau sektor seperti di masa lalu.
(mhd)