Tugas Berat Wamenlu
A
A
A
Dinna Wisnu, Ph.D
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional
@dinnawisnu
KEPUTUSAN Presiden Joko Widodo untuk mengangkat Mahendra Siregar sebagai Wakil Menteri Luar Negeri adalah keputusan yang tepat. Latar belakang dan pengalaman beliau yang kuat di bidang ekonomi dan perdagangan dapat memenuhi kebutuhan untuk menuntaskan dengan segera perundingan kesepakatan perdagangan bilateral dan juga regional.
Peran ini membutuhkan pengalaman dan kepemimpinan yang kuat agar dapat mengharmonisasi ribuan pokok perjanjian yang saling mempengaruhi antara satu perjanjian dengan perjanjian lain. Oleh sebab itu tenggat waktu satu tahun bagi wamenlu untuk menuntaskan seluruh perundingan adalah tantangan yang sangat besar dan berat tetapi akan dapat dilaksanakan melalui sinergi antara kementerian luar negeri dengan kementerian teknis terkait.
Perundingan ekonomi secara bilateral dan multilateral tidak pernah berjalan cepat. Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antara Indonesia dan Australia berhasil disepakati setelah dirundingkan selama 9 tahun sejak 2010 dan melalui 12 putaran negosiasi, bahkan untuk sampai ke tahap penandatangan pun tertunda hampir setahun. Antara Indonesia-Jepang diselesaikan dalam waktu 5 tahun sejak 2014 dan melalui 11 putaran hingga tuntas di 2019.
Indonesia sejauh yang saya catat telah memiliki 9 perjanjian perdagangan bilateral, sementara sebagian lagi perjanjian perdagangan bebas Indonesia dilakukan secara multilateral melalui ASEAN. Beberapa perjanjian bilateral lain masih dalam tahap perundingan seperti Indonesia-Korea yang telah berjalan 9 tahun dan juga Indonesia-EU telah berjalan 3 tahun dan memasuki perundingan putaran ke-8.
Setiap negara akan menghitung dari ribuan item yang dirundingkan dan mempertimbangkan item perdagangan apa yang dapat diperdagangkan secara bebas dan item mana yang belum dapat diperdagangkan. Tim perundingan dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan umumnya telah memiliki simulasi atau model analisis regresif yang dapat meramalkan sejauh mana kerugian yang perlu diantisipasi dan apakah sebuah draft perjanjian yang sedang dirundingkan dapat diterima, termasuk juga sejauh mana keuntungan bisa didapatkan dari suatu kesepakatan.
Tugas Kementerian Luar Negeri dalam proses tersebut terutama adalah untuk mengelola unsur politik dan diplomasi yang biasanya menyelimuti sebuah negoasiasi perdagangan. Misalnya bagaimana Indonesia menggunakan ancaman untuk keluar dari Paris Agreement apabila negara-negara Uni-Eropa tetap mengenakan tarif tinggi untuk komoditas kelapa sawit tanpa melihat upaya perbaikan lingkungan yang sudah dilakukan oleh Indonesia.
Unsur politik bahkan lebih besar pengaruhnya dalam proses perundingan dibandingkan urusan teknis harmonisasi peraturan atau pentahapan liberalisasi, khususnya bila menyangkut kompetisi geopolitik antar negara tertentu.
Kebijakan politik luar negeri dunia, termasuk soal perdagangan, saat ini tidak dapat dipungkiri turut dipengaruhi oleh keputusan politik di AS dan di China. Ketika Donald Trump menduduki jabatan presiden AS di tahun 2017 urusan negosiasi perdagangan dengan negara non-AS pun menjadi pelik.
AS yang mengubah strategi internasionalisasi ekonominya secara 180 derajat menjadi politik proteksionis yang eksklusif untuk negara-negara tertentu yang dianggap menguntungkan kepentingan AS telah membuat negara-negara lain berhitung ulang akan peluang keuntungan yang tersedia.
AS terus menarik diri dari banyak kesepakatan dan kerja sama multilateral; meninggalkan Trans-Pacific Partnership, Paris Climate Agreement, Iran Nuclear Deal, NAFTA, United Nations Cultural Organization, United Human Rights Council, UN Relief and Works Agency dan seterusnya. China yang awalnya bisa ekspansi ekonomi melalui perdagangan dengan AS dipaksa mengurangi ekspornya ke AS.
Negara-negara yang punya akses ke AS tiba-tiba mendapatkan keuntungan berganda ketika menjadi “pengepul” barang-barang dari kawasan untuk memasok pasar AS.
Dampak langsung perubahan politik AS terhadap Indonesia adalah ditinjaunya kembali pemberian fasilitas Generalized System of Preference yang seharusnya berakhir tahun 2020. Evaluasi ini dilakukan sejak tahun 2018 oleh United States Trade Representative (Perwakilan Perdagangan Amerika) karena Indonesia dianggap sudah tidak memenuhi kriteria yang disusun Kongres untuk dapat menerima fasilitas ini.
Desakan dari kelompok pengusaha di AS untuk mencabut fasilitas GSP yang sudah diberikan sejak tahun 1976 ini, sebetulnya sudah lama dilakukan. Namun karena nilai strategis Indonesia dalam geopolitik di Asia Tenggara (dan Indo-Pasifik) maka tuntutan Kongres itu tidak dikabulkan. Negosiasi mempertahankan GSP ini juga yang menjadi pekerjaan rumah dari Wamenlu Mahendra Siregar.
Perundingan perdagangan menjadi semakin kompleks dan rumit karena semangatnya saat ini tidak lagi kebersamaan. AS sebagai negara dengan perekonomian terbesar di dunia dan menjadi tempat tujuan ekspor negara-negara lain di dunia berupaya mengubah aturan main perdagangan.
Kecenderungan untuk melakukan perundingan perjanjian bilateral ke depan akan lebih kuat dibandingkan dengan perjanjian multilateral. Oleh sebab itu penting bahwa Kementerian Luar Negeri melakukan restrukturisasi sumber daya manusia dan menempatkan sebagian besar diplomatnya untuk bergerak cepat mengantisipasi meningkatnya kebutuhan untuk melakukan perjanjian-perjanjian ekonomi secara bilateral ke depan.
Tiap Kedutaan Besar dan kantor perwakilan di luar negeri punya tugas memenangkan kepentingan Indonesia dalam urusan ekonomi, termasuk juga perdagangan dan industri. Bila sumber daya belum memadai, maka perlu dirampingkan jumlah dan struktur kantor-kantor perwakilan yang ada agar gesit dan andal menopang penyelesaian tugas-tugas tersebut.
Sinyal-sinyal ini dapat dilihat dari ketidakhadiran Trump dalam KTT ASEAN-AS pada minggu ini di Bangkok, Thailand. Alih-alih hadir, Presiden Trump tahun lalu mengirimkan Wakil Presiden Mike Pence dan pada tahun ini ia mengirimkan Menteri Perdagangan Wilbur Ross dan Penasihat Keamanan Nasional Robert O’Brien.
Saya menilai atau menduga bahwa ini adalah cara Trump untuk mengirimkan pesan bahwa AS siap untuk menjauh diri dari ASEAN bila ASEAN tidak menentukan sikap untuk memilih AS atau China. Kesimpulan ini tentu masih dalam sebuah spekulasi tetap kesimpulan ini diambil secara retroduktif berdasarkan pola ketika AS mulai mengundurkan diri dari kerja sama multilateral yang disebutkan di atas.
Sikap AS yang cenderung menekan dan mendikte juga terjadi kepada mitra tradisional mereka seperti EU, Korea Selatan atau Jepang. Kecenderungan bahwa AS juga akan melakukan hal yang sama kepada ASEAN bukan sesuatu yang mustahil. Oleh sebab itu Indonesia perlu menyiapkan sebuah skenario yang dapat dioperasionalisasikan apabila hal yang buruk itu menjadi kenyataan.
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional
@dinnawisnu
KEPUTUSAN Presiden Joko Widodo untuk mengangkat Mahendra Siregar sebagai Wakil Menteri Luar Negeri adalah keputusan yang tepat. Latar belakang dan pengalaman beliau yang kuat di bidang ekonomi dan perdagangan dapat memenuhi kebutuhan untuk menuntaskan dengan segera perundingan kesepakatan perdagangan bilateral dan juga regional.
Peran ini membutuhkan pengalaman dan kepemimpinan yang kuat agar dapat mengharmonisasi ribuan pokok perjanjian yang saling mempengaruhi antara satu perjanjian dengan perjanjian lain. Oleh sebab itu tenggat waktu satu tahun bagi wamenlu untuk menuntaskan seluruh perundingan adalah tantangan yang sangat besar dan berat tetapi akan dapat dilaksanakan melalui sinergi antara kementerian luar negeri dengan kementerian teknis terkait.
Perundingan ekonomi secara bilateral dan multilateral tidak pernah berjalan cepat. Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antara Indonesia dan Australia berhasil disepakati setelah dirundingkan selama 9 tahun sejak 2010 dan melalui 12 putaran negosiasi, bahkan untuk sampai ke tahap penandatangan pun tertunda hampir setahun. Antara Indonesia-Jepang diselesaikan dalam waktu 5 tahun sejak 2014 dan melalui 11 putaran hingga tuntas di 2019.
Indonesia sejauh yang saya catat telah memiliki 9 perjanjian perdagangan bilateral, sementara sebagian lagi perjanjian perdagangan bebas Indonesia dilakukan secara multilateral melalui ASEAN. Beberapa perjanjian bilateral lain masih dalam tahap perundingan seperti Indonesia-Korea yang telah berjalan 9 tahun dan juga Indonesia-EU telah berjalan 3 tahun dan memasuki perundingan putaran ke-8.
Setiap negara akan menghitung dari ribuan item yang dirundingkan dan mempertimbangkan item perdagangan apa yang dapat diperdagangkan secara bebas dan item mana yang belum dapat diperdagangkan. Tim perundingan dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan umumnya telah memiliki simulasi atau model analisis regresif yang dapat meramalkan sejauh mana kerugian yang perlu diantisipasi dan apakah sebuah draft perjanjian yang sedang dirundingkan dapat diterima, termasuk juga sejauh mana keuntungan bisa didapatkan dari suatu kesepakatan.
Tugas Kementerian Luar Negeri dalam proses tersebut terutama adalah untuk mengelola unsur politik dan diplomasi yang biasanya menyelimuti sebuah negoasiasi perdagangan. Misalnya bagaimana Indonesia menggunakan ancaman untuk keluar dari Paris Agreement apabila negara-negara Uni-Eropa tetap mengenakan tarif tinggi untuk komoditas kelapa sawit tanpa melihat upaya perbaikan lingkungan yang sudah dilakukan oleh Indonesia.
Unsur politik bahkan lebih besar pengaruhnya dalam proses perundingan dibandingkan urusan teknis harmonisasi peraturan atau pentahapan liberalisasi, khususnya bila menyangkut kompetisi geopolitik antar negara tertentu.
Kebijakan politik luar negeri dunia, termasuk soal perdagangan, saat ini tidak dapat dipungkiri turut dipengaruhi oleh keputusan politik di AS dan di China. Ketika Donald Trump menduduki jabatan presiden AS di tahun 2017 urusan negosiasi perdagangan dengan negara non-AS pun menjadi pelik.
AS yang mengubah strategi internasionalisasi ekonominya secara 180 derajat menjadi politik proteksionis yang eksklusif untuk negara-negara tertentu yang dianggap menguntungkan kepentingan AS telah membuat negara-negara lain berhitung ulang akan peluang keuntungan yang tersedia.
AS terus menarik diri dari banyak kesepakatan dan kerja sama multilateral; meninggalkan Trans-Pacific Partnership, Paris Climate Agreement, Iran Nuclear Deal, NAFTA, United Nations Cultural Organization, United Human Rights Council, UN Relief and Works Agency dan seterusnya. China yang awalnya bisa ekspansi ekonomi melalui perdagangan dengan AS dipaksa mengurangi ekspornya ke AS.
Negara-negara yang punya akses ke AS tiba-tiba mendapatkan keuntungan berganda ketika menjadi “pengepul” barang-barang dari kawasan untuk memasok pasar AS.
Dampak langsung perubahan politik AS terhadap Indonesia adalah ditinjaunya kembali pemberian fasilitas Generalized System of Preference yang seharusnya berakhir tahun 2020. Evaluasi ini dilakukan sejak tahun 2018 oleh United States Trade Representative (Perwakilan Perdagangan Amerika) karena Indonesia dianggap sudah tidak memenuhi kriteria yang disusun Kongres untuk dapat menerima fasilitas ini.
Desakan dari kelompok pengusaha di AS untuk mencabut fasilitas GSP yang sudah diberikan sejak tahun 1976 ini, sebetulnya sudah lama dilakukan. Namun karena nilai strategis Indonesia dalam geopolitik di Asia Tenggara (dan Indo-Pasifik) maka tuntutan Kongres itu tidak dikabulkan. Negosiasi mempertahankan GSP ini juga yang menjadi pekerjaan rumah dari Wamenlu Mahendra Siregar.
Perundingan perdagangan menjadi semakin kompleks dan rumit karena semangatnya saat ini tidak lagi kebersamaan. AS sebagai negara dengan perekonomian terbesar di dunia dan menjadi tempat tujuan ekspor negara-negara lain di dunia berupaya mengubah aturan main perdagangan.
Kecenderungan untuk melakukan perundingan perjanjian bilateral ke depan akan lebih kuat dibandingkan dengan perjanjian multilateral. Oleh sebab itu penting bahwa Kementerian Luar Negeri melakukan restrukturisasi sumber daya manusia dan menempatkan sebagian besar diplomatnya untuk bergerak cepat mengantisipasi meningkatnya kebutuhan untuk melakukan perjanjian-perjanjian ekonomi secara bilateral ke depan.
Tiap Kedutaan Besar dan kantor perwakilan di luar negeri punya tugas memenangkan kepentingan Indonesia dalam urusan ekonomi, termasuk juga perdagangan dan industri. Bila sumber daya belum memadai, maka perlu dirampingkan jumlah dan struktur kantor-kantor perwakilan yang ada agar gesit dan andal menopang penyelesaian tugas-tugas tersebut.
Sinyal-sinyal ini dapat dilihat dari ketidakhadiran Trump dalam KTT ASEAN-AS pada minggu ini di Bangkok, Thailand. Alih-alih hadir, Presiden Trump tahun lalu mengirimkan Wakil Presiden Mike Pence dan pada tahun ini ia mengirimkan Menteri Perdagangan Wilbur Ross dan Penasihat Keamanan Nasional Robert O’Brien.
Saya menilai atau menduga bahwa ini adalah cara Trump untuk mengirimkan pesan bahwa AS siap untuk menjauh diri dari ASEAN bila ASEAN tidak menentukan sikap untuk memilih AS atau China. Kesimpulan ini tentu masih dalam sebuah spekulasi tetap kesimpulan ini diambil secara retroduktif berdasarkan pola ketika AS mulai mengundurkan diri dari kerja sama multilateral yang disebutkan di atas.
Sikap AS yang cenderung menekan dan mendikte juga terjadi kepada mitra tradisional mereka seperti EU, Korea Selatan atau Jepang. Kecenderungan bahwa AS juga akan melakukan hal yang sama kepada ASEAN bukan sesuatu yang mustahil. Oleh sebab itu Indonesia perlu menyiapkan sebuah skenario yang dapat dioperasionalisasikan apabila hal yang buruk itu menjadi kenyataan.
(poe)