Fintech Syariah di Era Jokowi-Ma’ruf

Sabtu, 02 November 2019 - 08:31 WIB
Fintech Syariah di Era...
Fintech Syariah di Era Jokowi-Ma’ruf
A A A
Faozan Amar
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UHAMKA dan Sekretaris LDK PP Muhammadiyah

HAMPIR setiap hari tawaran pinjaman menggiurkan masuk ke smartphone kita. Cerita duka tentang korban financial technology (fintech ) hampir tiap minggu mewarnai media. Begitu pun dengan daftar fintech ilegal alias bodong selalu mudah kita cari melalui laman mesin penari Google. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah merilis daftar fintech bodong agar masyarakat tidak menjadi korban. Tips agar terhindar dari fintech bodong diberikan oleh para pakar keuangan. Pertanyaannya, tantangan apa saja yang dihadapi oleh fintech syariah dalam melawan rentenir digital yang jelas secara hukum agama adalah haram dan meresahkan masyarakat?

Hingga 7 Agustus 2019, berdasarkan data OJK, baru sembilan fintech syariah dari total 127 fintech resmi legal berdiri di Indonesia. Bandingkan dengan pertumbuhan fintech bodong yang bagaikan jamur di musim hujan. Hingga saat ini (8/9/2019), Satgas Waspada Investasi menemukan 123 fintech peer to peer lending ilegal dan langsung menutupnya. Belum lagi fintech ilegal yang masih bergentayangan memberikan tawaran kemudahan pinjaman yang menggiurkan. Fintech ilegal tersebut mengkhawatirkan karena jumlah yang beredar di internet dan aplikasi telepon genggam kian marak.

Sebagai negara dengan jumlah penduduk umat Islam terbesar di dunia, semestinya pertumbuhan fintech syariah dapat mengimbangi populasi jumlah umat Islam. Namun, kenyataannya belumlah seperti yang diharapkan. Animo umat Islam untuk menjalan syariat Islam secara kafah (menyeluruh), idealnya dimanfaatkan dan diimbangi dengan sentuhan ekonomi dan bisnis, sehingga umat Islam dapat menjadi subjek ekonomi, bukan hanya sekadar objek. Lantangnya teriakan penegakan syariat Islam belum diimbangi dengan tindakan konkret dalam bidang ekonomi, sehingga perekonomian umat Islam—meminjam istilah Buya Syafii Maarif, masih berada di buritan peradaban.

Padahal, pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2016 telah membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang langsung dipimpin oleh Presiden Joko Widodo, sebagai wujud komitmen pemerintah untuk mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia secara serius dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Dan sekarang, ketika tokoh ekonomi syariah KH Ma’ruf Amin resmi menjadi wakil presiden pada periode kedua kepemimpinan Jokowi, kita patut berharap eksistensi fintech syariah semakin berkembang sehingga mampu menyejahterakan rakyat secara maksimal.

Tantangan
Berdasarkan uraian tersebut, ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh fintech syariah; pertama, pemahaman keagamaan umat Islam yang masih setengah-setengah dalam memahami ajaran agamanya. Kita lebih peka syariat, tapi lupa hakikat. Padahal jika pemahaman umat Islam tentang ekonomi secara kafah , akan menjadi mudah bagi ikhtiar untuk mengembangkan fintech syariah. Kedua, terbatasnya sumber daya manusia dalam pengembangan fintech syariah. Misalnya keharusan memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang cukup costly, sehingga memberatkan fintech syariah. Ketiga, kurangnya regulasi yang men­du­kung berkem­bangnya fintech syariah.Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 77/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi mengatur tentang besaran denda dan besaran bunga. Padahal, bunga dalam konsep ekonomi Islam dilarang alias haram. Karena itu, OJK harus responsif dengan perkembangan industri keuangan syariah melalui regulasi yang mendukungnya. Di samping itu, proses pendaftaran perizinan ke otoritas terkait yang memakan waktu cukup lama dibandingkan pengajuan perizinan fintech konvensional.
Keempat, pengetahuan masyarakat mengenai fintech yang masih terbatas, apalagi terkait fintech syariah akibat kurangnya sosialisasi. Kelima, secara ekonomi jumlah umat Islam yang kaya dan melek teknologi masih sedikit dibandingkan yang miskin. Akibatnya nasabah atau konsumen fintech syariah lebih ba­nyak yang ideologis daripada yang rasional. Padahal yang ideologis, uangnya sedikit dibandingkan dengan yang rasional.

Potensi pertumbuhan fintech syariah sangat besar karena Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak. Kita juga merupakan digital ready country dengan jumlah pengguna internet yang sangat terbesar. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2018, sebagaimana dikutip Rhenald Kasali (2019), dari 264 juta penduduk, sudah 170 juta yang terhubung internet. Ini berati 65% sudah hidup sebagai connected society . Bukan hanya manusia yang terhubung, melainkan juga benda-benda di sekitarnya sehingga bisa digerakkan dari jarak jauh dan diberdayakan.

Namun, hingga sekarang Indonesia jangankan menjadi kiblat ekonomi syariah dunia, menjadi tuan rumah di negeri sendiri saja masih tertatih-tatih. Padahal sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia harus mampu mengembangkan industri keuangan dan ekonomi syariah agar ke depan menjadi kiblat dalam bisnis keuangan syariah di dunia. Inilah beberapa tantangan yang dihadapi oleh fintech syariah di era Jokowi-Ma’ruf. Dan jika kita mampu mengatasinya, saya optimistis fintech syariah akan menjadi layanan keuangan utama di negeri ini yang tidak hanya legal tetapi juga halal dan berkah. Wallahualam!
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7795 seconds (0.1#10.140)