Tantangan Kabinet Ramah Kemajuan
A
A
A
Stevanus Subagijo
Peneliti Center for National Urgency Studies Jakarta
TAK perlu menunggu 100 hari pertama seperti kebiasaan pemerintahan baru di Barat, Kabinet Indonesia Maju 2019–2024 segera bertugas di hari pertama memajukan Indonesia dalam segala bidang. Presiden Joko Widodo (Jokowi) identik dengan “kerja, kerja, dan kerja”, cermin kemendesakan bangsa mengatasi ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain.
Logikanya tentu semua ingin maju. Persoalan bukan sejauh mana kemajuan tercapai, sebaliknya justru dalam kemunduran seperti apa kita sekarang. Ini bisa bikin runyam. Hari ini setiap bangsa suka atau tidak berlomba dalam kemajuan masing-masing. Baik berdasar standar bangsa sendiri maupun standar internasional.
Bangsa yang lengah untuk maju tanpa harus berbuat apa-apa pun akan tergerus mundur karena bangsa lain bergerak maju dan kita stagnan. Apalagi jika bangsa memang mundur, kemundurannya dobel, semakin cepat merosot dan jarak ketertinggalannya semakin lebar. Upaya melampauinya juga semakin sulit.
Dibutuhkan percepatan, akselerasi, gebrakan, lompatan jauh ke depan, tidak lagi urut nomor. Dalam bahasa Christopher Hill, kalau perlu menempuh cara “dunia yang dijungkirbalikkan”. Perubahan untuk maju memang perlu guncangan dari zona nyaman (The World Turned Upside Down–Radical Ideas During The English Revolution, 1975). Presiden Joko Widodo perlu menambah slogan “maju, maju lagi dan lebih maju”.
Ibarat dunia dikuasai oleh bangsa-bangsa pelari sprinter, tidak ada lagi kita “jalan-jalan santai”. Presiden dan kabinet harus menyingsingkan lengan baju, berlari di depan menjadi lokomotif kereta cepat menarik gerbong ketertinggalan rakyat agar semakin maju, sedang maju, pun mereka yang tertatih-tatih mengenal kemajuan, bahkan asing dengan kemajuan.
Maju yang Seperti Apa?
Kemajuan adalah kata mulia yang memiliki banyak wajah dan bermakna luas. Dalam setiap pembentukan kabinet baru biasanya muncul harapan kabinet “ramah pasar”. Seolah-olah kabinet hanya memiliki kepentingan dengan keberadaan pasar atau ekonomi belaka. Kuasa pasar seperti tersirat meminta keramahan kabinet karena pasar yang bagus juga dianggap sebagai kesuksesam sebuah kabinet. Dengan ramah pasar, kebijakan kabinet membuka peluang, memudahkan, menolong, mengondisikan, pendeknya membuat pasar bergairah, bergerak, produktif, menguntungkan.
Namun pasar juga tidak bermakna tunggal. Pasar memiliki banyak wajah dan kepentingan, aktor, barang dan jasa, permintaan dan penawaran, kuasa harga, ekspor-impor, dan sebagainya. Berharap kabinet ramah pasar, pertanyaannya pasar yang mana, pasarnya siapa, keramahan seperti apa yang baik bagi pasar? Karena tidak menutup kemungkinan ramah pasar bisa berdampak baik bagi sebagian pasar tapi buruk bagi pasar yang lain, pun baik bagi pasar jangka pendek tapi buruk bagi pasar jangka panjang.
Berkaca dari itu, “ramah kemajuan”, salah satunya ledakan internet dalam segala sisi kehidupan, patut dikerucutkan: kemajuan seperti apa yang ingin diraih? Kemajuan antardepartemen bisa berbeda maksud, tujuan, capaian riilnya. Ramah kemajuan memang sekilas melegakan bahwa kita berada di jalur yang tepat, berlomba maju di kancah bangsa-bangsa, tapi menyisakan pertanyaan pada 1 hari pertama, maju seperti apa yang kita ingini. Para pembantu Presiden harus berpikir keras mengejawantahkan visi kemajuan ini, lebih khusus lagi kemajuan SDM, dalam kebijakan dan implementasinya.
Cara hidup internet menciptakan kemajuan teknologi finansial, tapi kemunduran utang masyarakat karena kurangnya literasi. Petuah nenek “menabung dulu baru beli” kini diganti dengan petuah oma yang lebih modern “beli dulu baru cicil”. Ilmu pengetahuan, hiburan, bahkan nafkah miliaran dari internet meminta tumbal terpaan kekerasan, kejahatan, amoralitas baru yang dihalalkan.
Dulu kita menentang majalah porno, kini kita menjadi pemain dan merekamnya sendiri. Kemajuan infrastruktur sangat bermanfaat bagi rakyat, tapi juga mengurangi luasan hijau lingkungan hidupnya. Tidak ada beton abu-abu sekaligus pepohonan hijau, kita harus memilih cara kemajuan seperti apa, mungkinkah kompromi ditempuh?
Konon kemajuan negara diukur dari luasan industrinya. Industri perkebunan monokultur telah meminta harga tergesernya “kemajuan” warisan lingkungan alam tropis ribuan tahun. Negeri yang identik dengan keanekaragaman hayati pada wilayah tertentu kini menyisakan hanya “keseragaman hayati”. Kemajuan seperti apa yang hendak kita pilih?
Dan ingat negara-negara maju akan menjual kemajuannya kepada negara yang sedang dan belum maju. Pada saat kemajuan itu diadopsi, di negara asalnya kemajuan itu menjadi usang. Negara yang belum maju akan menjadi pasar produk dan jasa berlabel kemajuan. Kemajuan harus didefinisikan ulang, maju harus, maju seperti apa, bukan asal maju.
Lebih dari Profesional
Kabinet ramah kemajuan memiliki tanggung jawab bukan pada Presiden yang memikul amanah rakyat saja. Lebih dari itu ia bertanggung jawab terhadap sejarah, paling tidak lima tahun ke depan. Akan memperbaiki kemundurankah, merengkuh kemajuankah, atau malah menciptakan kemunduran lebih banyak/problem baru?
Sejarah bukan hanya tentang ruang dan waktu atau periodisasi, di dalamnya segala aktivitas hidup rakyat dipertaruhkan, eksis, berkembang, hidup-mati, tawa-air mata, termasuk juga lingkungan alam yang merahiminya. Kementerian-kementerian adalah institusi yang menorehkan sejarah di mana kita saat ini hidup di dalam sejarah itu. Betapa berat tanggung jawab ini?
Ada dikotomi menteri-menteri terpilih yang baru lalu. Ada menteri dari partai politik (parpol) dan ada menteri dari kalangan profesional. Tentu logikanya menteri dari parpol bukan menteri amatir, semua menteri akan bertindak dan dituntut profesional. Profesionalisme pemimpin dituntut bekerja dalam kemampuan dan keahlian, berangkat dari kode etik yang kukuh, dipenuhinya hak dan kewajiban.
Dalam konteks sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi pemimpin di negara yang percaya Tuhan lebih dari sekadar profesional karena kemampuan dan pengalaman duniawinya. Pemimpin sering dikatakan memperoleh amanah dari Tuhan. Dalam bahasa Arab, amanah adalah segala sesuatu atau tanggung jawab yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk dilaksanakan.
Kepercayaan dari-Nya, tanggung jawab kepada-Nya, pasti menjalankan lebih dari sekadar profesional. Profesional berhak atas glorifikasi diri karena pencapaian prestasi dan keahliannya. Tapi dengan sekaligus memiliki status pemimpin yang mendapat amanah-Nya, hal itu mengingatkan sebagai anugerah dan kesempatan sangat besar yang diberikan Tuhan, yang tidak boleh disia-siakan, pun direspons dengan biasa-biasa saja.
Rasa tanggung jawab yang lebih-lebih besar lagi muncul di situ. Bukan hanya kepada bangsa negara (bertanggung jawab kepada Presiden sebagai amanah rakyat). tetapi juga kepada Tuhan. Pemimpin mutlak bekerja “seperti untuk Tuhan” (Brother, We Are Not Professionals, John Piper 2002). Karena dalam bekerja “seperti untuk Tuhan itu”, ia tidak mengandalkan kemampuan dan keahliannya saja, tapi juga mengandalkan anugerah-Nya semata. Jika diresapi, tidak mungkin pemimpin seperti ini tidak bekerja keras dan tidak berbuat terbaik. Ia selalu menjauhi yang buruk.
Penulis drama Ceko Vaclac Havel yang dipenjara dan menjadi presiden dalam semua esai dan pidatonya bergumul dengan pertanyaan akan tanggung jawab manusia. Katanya jika rakyat Ceko tidak mengambil tanggung jawab atas masa depan sendiri (baca: kemajuannya), tidak ada masa depan. Pesan kepada rakyat itu tentu terngiang makin keras di telinga pemimpin karena pemimpin (baca: Kabinet) ujung tombak untuk meraih masa depan itu.
Rahasia manusia adalah rahasia tanggung jawabnya, kata Jean Bethke Elshtain (Real Politics: at the Center of Everyday Life (Steven Garber, 2018). Pemimpin tidak sekadar menjalankan tugasnya seperti contoh kelam ala Adolf Eichmann yang tidak pernah menyadariapa yang dilakukannya karena sudah tugasnya. Kesembronoan yang membuatnya menjadi pelaku kejahatan pada periode itu, ketaatan buta kepada negara. Kadavergehorsham, ketaatan seperti mayat, yang tidak punya hati.
Kabinet Indonesia Maju 2019–2024 yang menjadi harapan lima tahun ke depan, perlu mendefinisikan kemajuan riil seperti apa yang akan diraih dan membuat rakyat makin baik. Digerakkan tanggung jawab atas sejarah bangsanya per hari ini hingga lima tahun ke depan, juga profesionalisme dan amanah-Nya, kemajuan Indonesia adalah keniscayaan.
Peneliti Center for National Urgency Studies Jakarta
TAK perlu menunggu 100 hari pertama seperti kebiasaan pemerintahan baru di Barat, Kabinet Indonesia Maju 2019–2024 segera bertugas di hari pertama memajukan Indonesia dalam segala bidang. Presiden Joko Widodo (Jokowi) identik dengan “kerja, kerja, dan kerja”, cermin kemendesakan bangsa mengatasi ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain.
Logikanya tentu semua ingin maju. Persoalan bukan sejauh mana kemajuan tercapai, sebaliknya justru dalam kemunduran seperti apa kita sekarang. Ini bisa bikin runyam. Hari ini setiap bangsa suka atau tidak berlomba dalam kemajuan masing-masing. Baik berdasar standar bangsa sendiri maupun standar internasional.
Bangsa yang lengah untuk maju tanpa harus berbuat apa-apa pun akan tergerus mundur karena bangsa lain bergerak maju dan kita stagnan. Apalagi jika bangsa memang mundur, kemundurannya dobel, semakin cepat merosot dan jarak ketertinggalannya semakin lebar. Upaya melampauinya juga semakin sulit.
Dibutuhkan percepatan, akselerasi, gebrakan, lompatan jauh ke depan, tidak lagi urut nomor. Dalam bahasa Christopher Hill, kalau perlu menempuh cara “dunia yang dijungkirbalikkan”. Perubahan untuk maju memang perlu guncangan dari zona nyaman (The World Turned Upside Down–Radical Ideas During The English Revolution, 1975). Presiden Joko Widodo perlu menambah slogan “maju, maju lagi dan lebih maju”.
Ibarat dunia dikuasai oleh bangsa-bangsa pelari sprinter, tidak ada lagi kita “jalan-jalan santai”. Presiden dan kabinet harus menyingsingkan lengan baju, berlari di depan menjadi lokomotif kereta cepat menarik gerbong ketertinggalan rakyat agar semakin maju, sedang maju, pun mereka yang tertatih-tatih mengenal kemajuan, bahkan asing dengan kemajuan.
Maju yang Seperti Apa?
Kemajuan adalah kata mulia yang memiliki banyak wajah dan bermakna luas. Dalam setiap pembentukan kabinet baru biasanya muncul harapan kabinet “ramah pasar”. Seolah-olah kabinet hanya memiliki kepentingan dengan keberadaan pasar atau ekonomi belaka. Kuasa pasar seperti tersirat meminta keramahan kabinet karena pasar yang bagus juga dianggap sebagai kesuksesam sebuah kabinet. Dengan ramah pasar, kebijakan kabinet membuka peluang, memudahkan, menolong, mengondisikan, pendeknya membuat pasar bergairah, bergerak, produktif, menguntungkan.
Namun pasar juga tidak bermakna tunggal. Pasar memiliki banyak wajah dan kepentingan, aktor, barang dan jasa, permintaan dan penawaran, kuasa harga, ekspor-impor, dan sebagainya. Berharap kabinet ramah pasar, pertanyaannya pasar yang mana, pasarnya siapa, keramahan seperti apa yang baik bagi pasar? Karena tidak menutup kemungkinan ramah pasar bisa berdampak baik bagi sebagian pasar tapi buruk bagi pasar yang lain, pun baik bagi pasar jangka pendek tapi buruk bagi pasar jangka panjang.
Berkaca dari itu, “ramah kemajuan”, salah satunya ledakan internet dalam segala sisi kehidupan, patut dikerucutkan: kemajuan seperti apa yang ingin diraih? Kemajuan antardepartemen bisa berbeda maksud, tujuan, capaian riilnya. Ramah kemajuan memang sekilas melegakan bahwa kita berada di jalur yang tepat, berlomba maju di kancah bangsa-bangsa, tapi menyisakan pertanyaan pada 1 hari pertama, maju seperti apa yang kita ingini. Para pembantu Presiden harus berpikir keras mengejawantahkan visi kemajuan ini, lebih khusus lagi kemajuan SDM, dalam kebijakan dan implementasinya.
Cara hidup internet menciptakan kemajuan teknologi finansial, tapi kemunduran utang masyarakat karena kurangnya literasi. Petuah nenek “menabung dulu baru beli” kini diganti dengan petuah oma yang lebih modern “beli dulu baru cicil”. Ilmu pengetahuan, hiburan, bahkan nafkah miliaran dari internet meminta tumbal terpaan kekerasan, kejahatan, amoralitas baru yang dihalalkan.
Dulu kita menentang majalah porno, kini kita menjadi pemain dan merekamnya sendiri. Kemajuan infrastruktur sangat bermanfaat bagi rakyat, tapi juga mengurangi luasan hijau lingkungan hidupnya. Tidak ada beton abu-abu sekaligus pepohonan hijau, kita harus memilih cara kemajuan seperti apa, mungkinkah kompromi ditempuh?
Konon kemajuan negara diukur dari luasan industrinya. Industri perkebunan monokultur telah meminta harga tergesernya “kemajuan” warisan lingkungan alam tropis ribuan tahun. Negeri yang identik dengan keanekaragaman hayati pada wilayah tertentu kini menyisakan hanya “keseragaman hayati”. Kemajuan seperti apa yang hendak kita pilih?
Dan ingat negara-negara maju akan menjual kemajuannya kepada negara yang sedang dan belum maju. Pada saat kemajuan itu diadopsi, di negara asalnya kemajuan itu menjadi usang. Negara yang belum maju akan menjadi pasar produk dan jasa berlabel kemajuan. Kemajuan harus didefinisikan ulang, maju harus, maju seperti apa, bukan asal maju.
Lebih dari Profesional
Kabinet ramah kemajuan memiliki tanggung jawab bukan pada Presiden yang memikul amanah rakyat saja. Lebih dari itu ia bertanggung jawab terhadap sejarah, paling tidak lima tahun ke depan. Akan memperbaiki kemundurankah, merengkuh kemajuankah, atau malah menciptakan kemunduran lebih banyak/problem baru?
Sejarah bukan hanya tentang ruang dan waktu atau periodisasi, di dalamnya segala aktivitas hidup rakyat dipertaruhkan, eksis, berkembang, hidup-mati, tawa-air mata, termasuk juga lingkungan alam yang merahiminya. Kementerian-kementerian adalah institusi yang menorehkan sejarah di mana kita saat ini hidup di dalam sejarah itu. Betapa berat tanggung jawab ini?
Ada dikotomi menteri-menteri terpilih yang baru lalu. Ada menteri dari partai politik (parpol) dan ada menteri dari kalangan profesional. Tentu logikanya menteri dari parpol bukan menteri amatir, semua menteri akan bertindak dan dituntut profesional. Profesionalisme pemimpin dituntut bekerja dalam kemampuan dan keahlian, berangkat dari kode etik yang kukuh, dipenuhinya hak dan kewajiban.
Dalam konteks sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi pemimpin di negara yang percaya Tuhan lebih dari sekadar profesional karena kemampuan dan pengalaman duniawinya. Pemimpin sering dikatakan memperoleh amanah dari Tuhan. Dalam bahasa Arab, amanah adalah segala sesuatu atau tanggung jawab yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk dilaksanakan.
Kepercayaan dari-Nya, tanggung jawab kepada-Nya, pasti menjalankan lebih dari sekadar profesional. Profesional berhak atas glorifikasi diri karena pencapaian prestasi dan keahliannya. Tapi dengan sekaligus memiliki status pemimpin yang mendapat amanah-Nya, hal itu mengingatkan sebagai anugerah dan kesempatan sangat besar yang diberikan Tuhan, yang tidak boleh disia-siakan, pun direspons dengan biasa-biasa saja.
Rasa tanggung jawab yang lebih-lebih besar lagi muncul di situ. Bukan hanya kepada bangsa negara (bertanggung jawab kepada Presiden sebagai amanah rakyat). tetapi juga kepada Tuhan. Pemimpin mutlak bekerja “seperti untuk Tuhan” (Brother, We Are Not Professionals, John Piper 2002). Karena dalam bekerja “seperti untuk Tuhan itu”, ia tidak mengandalkan kemampuan dan keahliannya saja, tapi juga mengandalkan anugerah-Nya semata. Jika diresapi, tidak mungkin pemimpin seperti ini tidak bekerja keras dan tidak berbuat terbaik. Ia selalu menjauhi yang buruk.
Penulis drama Ceko Vaclac Havel yang dipenjara dan menjadi presiden dalam semua esai dan pidatonya bergumul dengan pertanyaan akan tanggung jawab manusia. Katanya jika rakyat Ceko tidak mengambil tanggung jawab atas masa depan sendiri (baca: kemajuannya), tidak ada masa depan. Pesan kepada rakyat itu tentu terngiang makin keras di telinga pemimpin karena pemimpin (baca: Kabinet) ujung tombak untuk meraih masa depan itu.
Rahasia manusia adalah rahasia tanggung jawabnya, kata Jean Bethke Elshtain (Real Politics: at the Center of Everyday Life (Steven Garber, 2018). Pemimpin tidak sekadar menjalankan tugasnya seperti contoh kelam ala Adolf Eichmann yang tidak pernah menyadariapa yang dilakukannya karena sudah tugasnya. Kesembronoan yang membuatnya menjadi pelaku kejahatan pada periode itu, ketaatan buta kepada negara. Kadavergehorsham, ketaatan seperti mayat, yang tidak punya hati.
Kabinet Indonesia Maju 2019–2024 yang menjadi harapan lima tahun ke depan, perlu mendefinisikan kemajuan riil seperti apa yang akan diraih dan membuat rakyat makin baik. Digerakkan tanggung jawab atas sejarah bangsanya per hari ini hingga lima tahun ke depan, juga profesionalisme dan amanah-Nya, kemajuan Indonesia adalah keniscayaan.
(thm)