Kabinet Baru dan Reorientasi Ekonomi
A
A
A
Munir Sara Pemerhati Kebijakan Publik dan Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Kebijakan Publik
Universitas Muhammadiyah Jakarta
SESAAT setelah pelantikan Kabinet Indonesia Maju pada 23 Oktober 2019, salah satu media bisnis nasional melansir bahwa Indonesia bakal kebanjiran dana asing. Adalah PT Penilai Harga Efek Indonesia (Indonesia Bond Pricing Agency /IBPA) yang menilai terpilihnya kembali Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan membuat pasar lebih friendly, adem dan ramah.
Kebanjiran dana asing, ya. Tapi itu membuktikan kepemilikan asing dalam struktur pasar modal kita masih tinggi. Meskipun terlihat terjadi peningkatan atau kelebihan pada likuiditas nasional, tapi bagaimana manfaatnya terhadap ekonomi riil kita? Kalau cuma menumpuk-numpuk di pasar modal, paling yang untung segelintir orang yang menguasai pasar dan modal.
Harapannya, kelebihan likuiditas dalam pasar domestik bisa mengonversi ekonomi riil dalam bentuk foreign direct investment /FDI atau investasi langsung. Itu bisa terlihat dari tumbuhnya sektor riil dan penyerapan angkatan kerja sebagai output dari adanya capital inflow atau arus modal masuk. Tapi, kalau arus pasar modal sebatas keluar masuk untuk berburu return dengan portofolio jangka pendek di pasar domestik, ya sama saja.
Proteksi
Memang kita berharap, dalam struktur pasar modal kepemilikan asing lebih diproteksi pada investasi portofolio bertenor jangka panjang. Dengan demikian, arus modal masuk, selain meningkatkan likuiditas nasional, dapat mendorong ekonomi riil. Terutama di sektor ekonomi padat karya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, nilai kepemilikan asing di pasar SUN per 18 Juni 2019 tercatat mencapai Rp957,92 triliun. Jika dilihat dari sisi tenor, kepemilikan investor asing di SUN tenor pendek, atau tenor antara 2 tahun-5 tahun, mencapai 28,7%. Angka ini menunjukkan tren peningkatan dalam empat bulan terakhir. Pada Maret lalu, kepemilikan asing untuk SUN tenor pendek cuma sekitar 25,6%.
Tren serupa terjadi pada SUN dengan tenor menengah, atau kisaran 5 tahun-10 tahun. Porsi investor asing di tenor ini meningkat dari 33,9% pada Maret menjadi 35,5% hingga 18 Juni lalu. Sebaliknya, porsi investor asing di SUN tenor panjang, atau SUN bertenor di atas 10 tahun, berkurang. Pada Maret lalu jumlahnya masih 35,5%, namun per 18 Juni lalu kepemilikan asing tinggal 31,9%.
Volatilitas pasar global yang masih tinggi berdampak pada volatilitas pasar Indonesia. Kondisi ini tentu membuat investor memilih mengurangi SUN jangka panjang dan beralih ke SUN jangka pendek. Pilihan ini lebih nyaman dari sisi risiko karena yield SUN dengan tenor jangka panjang lebih rentan terhadap sentimen global yang fluktuasinya cukup tinggi saat ini.
Karena itu, kebanjiran dana asing, selain berkah, tapi bila struktur dan peruntukannya tidak dikelola dengan baik, justru berisiko. Jangan sampai arus modal yang masuk semata-mata menumpuk di sektor padat modal, tapi tak berdampak pada sektor padat karya.
Insentif ekonomi Hot money merupakan arus modal masuk jangka pendek dari dana asing untuk mencari yield yang lebih tinggi di emerging market, termasuk Indonesia. Dana ini diputar dalam bentuk portofolio fixed income, saham, dan produk derivatif. Menjadi soal karena hot money dalam bentuk likuiditas nasional belum optimal digunakan sebagai prime mover penggenjot tumbuhnya sektor riil.
Karena itu, kebanjiran dana asing, sebagai respons atas membaiknya stabilitas politik nasional harus digunakan ke beberapa sektor penting ekonomi. Pertama, arus modal masuk, harus diproteksi, agar tidak melulu dalam bentuk portofolio jangka pendek, tapi juga dalam bentuk investasi langsung. Investasi langsung ini diarahkan pada sektor produktif. Misalnya mendorong produksi nasional, dalam rangka mendorong ekspor untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan yang akhir-akhir ini menjadi momok bagi perekonomian nasional.
Produksi nasional dimaksud bermuara pada ekspor sektor nonkomoditas. Juga meningkatkan produk substitusi sehingga produk-produk yang memungkinkan dapat diproduksi dalam negeri, tidak diimpor. Kedua, memperbaiki sektor manufaktur. Kelebihan likuiditas harus diputar dalam bentuk kredit perbankan dan produk derivatif untuk menstimulasi pertumbuhan sektor manufaktur. Menimbang sektor manufaktur berkontribusi pada GDP nasional sebesar 20% dan menyumbang 14,36% tenaga kerja dari total tenaga kerja nasional.
Ketiga, dari sisi moneter, BI juga mengambil langkah mitigasi, lebih progresif menurunkan suku bunga acuan. Meskipun penurunan suku bunga ini tidak 100% menggaransi meningkatnya permintaan kredit usaha, tetapi ini sebagai bagian stimulasi untuk mendorong tumbuhnya kredit usaha juga mengurangi hot money, terutama yang digunakan untuk memborong SBI dan obligasi. Penurunan suku bunga juga dapat menekan beban bunga dalam APBN. Dengan demikian, akan lebih banyak persediaan uang yang dapat dibelanjakan untuk investasi di sektor riil dan investasi publik.
Keempat, dari sisi pengelolaan APBN, pemerintah harus punya effort untuk pembiayaan defisit anggaran dari pasar domestik. Bukan seperti saat ini: cenderung menempuh jalan instan, menarik pinjaman luar negeri baik melalui penerbitan obligasi global maupun lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan ADB dengan kupon obligasi yang tinggi.
Mengacu pada data Refinitiv, yield obligasi acuan Indonesia tenor 10 tahun saat ini sebesar 8,08%. Adapun posisinya per 2 Januari 2018 hanya 6,27%. Dengan demikian, bila saat ini pemerintah menerbitkan utang baru, bunganya akan jauh lebih besar dari utang yang terbit Januari 2018 silam. Itu menjadi riskan manakala primary balance atau keseimbangan primer APBN terus negatif. Akankah pemerintah terus menerbitkan obligasi dengan imbal kupon obligasi yang tinggi?
Langkah membiayai utang sendiri dari pasar domestik, diperlukan untuk menyerap likuiditas di pasar finansial domestik. Selain upaya untuk mengurangi penguasaan asing terhadap struktur kepemilikan obligasi pemerintah. Selain swasta yang belum optimal memanfaatkan kelebihan uang di pasar domestik. Pemerintah diharapkan dapat memanfaatkan kelebihan likuiditas untuk membiayai infrastruktur ekonomi. Dengan demikian, kebanjiran dana asing, benar-benar bermanfaat bagi ekonomi riil kita.
Universitas Muhammadiyah Jakarta
SESAAT setelah pelantikan Kabinet Indonesia Maju pada 23 Oktober 2019, salah satu media bisnis nasional melansir bahwa Indonesia bakal kebanjiran dana asing. Adalah PT Penilai Harga Efek Indonesia (Indonesia Bond Pricing Agency /IBPA) yang menilai terpilihnya kembali Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan membuat pasar lebih friendly, adem dan ramah.
Kebanjiran dana asing, ya. Tapi itu membuktikan kepemilikan asing dalam struktur pasar modal kita masih tinggi. Meskipun terlihat terjadi peningkatan atau kelebihan pada likuiditas nasional, tapi bagaimana manfaatnya terhadap ekonomi riil kita? Kalau cuma menumpuk-numpuk di pasar modal, paling yang untung segelintir orang yang menguasai pasar dan modal.
Harapannya, kelebihan likuiditas dalam pasar domestik bisa mengonversi ekonomi riil dalam bentuk foreign direct investment /FDI atau investasi langsung. Itu bisa terlihat dari tumbuhnya sektor riil dan penyerapan angkatan kerja sebagai output dari adanya capital inflow atau arus modal masuk. Tapi, kalau arus pasar modal sebatas keluar masuk untuk berburu return dengan portofolio jangka pendek di pasar domestik, ya sama saja.
Proteksi
Memang kita berharap, dalam struktur pasar modal kepemilikan asing lebih diproteksi pada investasi portofolio bertenor jangka panjang. Dengan demikian, arus modal masuk, selain meningkatkan likuiditas nasional, dapat mendorong ekonomi riil. Terutama di sektor ekonomi padat karya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, nilai kepemilikan asing di pasar SUN per 18 Juni 2019 tercatat mencapai Rp957,92 triliun. Jika dilihat dari sisi tenor, kepemilikan investor asing di SUN tenor pendek, atau tenor antara 2 tahun-5 tahun, mencapai 28,7%. Angka ini menunjukkan tren peningkatan dalam empat bulan terakhir. Pada Maret lalu, kepemilikan asing untuk SUN tenor pendek cuma sekitar 25,6%.
Tren serupa terjadi pada SUN dengan tenor menengah, atau kisaran 5 tahun-10 tahun. Porsi investor asing di tenor ini meningkat dari 33,9% pada Maret menjadi 35,5% hingga 18 Juni lalu. Sebaliknya, porsi investor asing di SUN tenor panjang, atau SUN bertenor di atas 10 tahun, berkurang. Pada Maret lalu jumlahnya masih 35,5%, namun per 18 Juni lalu kepemilikan asing tinggal 31,9%.
Volatilitas pasar global yang masih tinggi berdampak pada volatilitas pasar Indonesia. Kondisi ini tentu membuat investor memilih mengurangi SUN jangka panjang dan beralih ke SUN jangka pendek. Pilihan ini lebih nyaman dari sisi risiko karena yield SUN dengan tenor jangka panjang lebih rentan terhadap sentimen global yang fluktuasinya cukup tinggi saat ini.
Karena itu, kebanjiran dana asing, selain berkah, tapi bila struktur dan peruntukannya tidak dikelola dengan baik, justru berisiko. Jangan sampai arus modal yang masuk semata-mata menumpuk di sektor padat modal, tapi tak berdampak pada sektor padat karya.
Insentif ekonomi Hot money merupakan arus modal masuk jangka pendek dari dana asing untuk mencari yield yang lebih tinggi di emerging market, termasuk Indonesia. Dana ini diputar dalam bentuk portofolio fixed income, saham, dan produk derivatif. Menjadi soal karena hot money dalam bentuk likuiditas nasional belum optimal digunakan sebagai prime mover penggenjot tumbuhnya sektor riil.
Karena itu, kebanjiran dana asing, sebagai respons atas membaiknya stabilitas politik nasional harus digunakan ke beberapa sektor penting ekonomi. Pertama, arus modal masuk, harus diproteksi, agar tidak melulu dalam bentuk portofolio jangka pendek, tapi juga dalam bentuk investasi langsung. Investasi langsung ini diarahkan pada sektor produktif. Misalnya mendorong produksi nasional, dalam rangka mendorong ekspor untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan yang akhir-akhir ini menjadi momok bagi perekonomian nasional.
Produksi nasional dimaksud bermuara pada ekspor sektor nonkomoditas. Juga meningkatkan produk substitusi sehingga produk-produk yang memungkinkan dapat diproduksi dalam negeri, tidak diimpor. Kedua, memperbaiki sektor manufaktur. Kelebihan likuiditas harus diputar dalam bentuk kredit perbankan dan produk derivatif untuk menstimulasi pertumbuhan sektor manufaktur. Menimbang sektor manufaktur berkontribusi pada GDP nasional sebesar 20% dan menyumbang 14,36% tenaga kerja dari total tenaga kerja nasional.
Ketiga, dari sisi moneter, BI juga mengambil langkah mitigasi, lebih progresif menurunkan suku bunga acuan. Meskipun penurunan suku bunga ini tidak 100% menggaransi meningkatnya permintaan kredit usaha, tetapi ini sebagai bagian stimulasi untuk mendorong tumbuhnya kredit usaha juga mengurangi hot money, terutama yang digunakan untuk memborong SBI dan obligasi. Penurunan suku bunga juga dapat menekan beban bunga dalam APBN. Dengan demikian, akan lebih banyak persediaan uang yang dapat dibelanjakan untuk investasi di sektor riil dan investasi publik.
Keempat, dari sisi pengelolaan APBN, pemerintah harus punya effort untuk pembiayaan defisit anggaran dari pasar domestik. Bukan seperti saat ini: cenderung menempuh jalan instan, menarik pinjaman luar negeri baik melalui penerbitan obligasi global maupun lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan ADB dengan kupon obligasi yang tinggi.
Mengacu pada data Refinitiv, yield obligasi acuan Indonesia tenor 10 tahun saat ini sebesar 8,08%. Adapun posisinya per 2 Januari 2018 hanya 6,27%. Dengan demikian, bila saat ini pemerintah menerbitkan utang baru, bunganya akan jauh lebih besar dari utang yang terbit Januari 2018 silam. Itu menjadi riskan manakala primary balance atau keseimbangan primer APBN terus negatif. Akankah pemerintah terus menerbitkan obligasi dengan imbal kupon obligasi yang tinggi?
Langkah membiayai utang sendiri dari pasar domestik, diperlukan untuk menyerap likuiditas di pasar finansial domestik. Selain upaya untuk mengurangi penguasaan asing terhadap struktur kepemilikan obligasi pemerintah. Selain swasta yang belum optimal memanfaatkan kelebihan uang di pasar domestik. Pemerintah diharapkan dapat memanfaatkan kelebihan likuiditas untuk membiayai infrastruktur ekonomi. Dengan demikian, kebanjiran dana asing, benar-benar bermanfaat bagi ekonomi riil kita.
(kri)