Santri, Tantangan dan Tikungan Sejarahnya
A
A
A
Umnia Labibah
Pengasuh PP Miftahul Huda Rawalo Banyumas, Ketua STIQ Miftahul Huda
PERINGATAN hari santri tahun ini menjadi istimewa bagi santri. Penyebabnya santri mendapat hadiah istimewa dari bangsa besar ini berupa terpilihnya wakil presiden dari kalangan santri dan disahkannya undang-undang tentang pesantren.
Santri pantas mendapatkan hadiah istimewa tersebut jika menilik ke belakang bagaimana telah cukup lama santri tidak menikmati kue pembangunan setelah ikut berjuang baik pada masa perjuangan kemerdekaan maupun masa mempertahankan kemerdekaan. Sempat menikmati udara kebebasan berpolitik ala santri di Pemilu 1955, akhirnya entitas bangsa yang sering distigmasisasi sebagai kaum udik ini menjadi elemen bangsa yang termarginalkan oleh rezim Orde Baru.
Santri dalam Identitas
Santri adalah identitas atau label yang biasa diberikan kepada orang yang menuntut ilmu agama Islam. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut santri adalah (1) orang yang mendalami agama Islam; (2) orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh (orang yang saleh); (3) orang yang mendalami pengajiannya dalam agama Islam dengan berguru ketempat yang jauh seperti pesantren dan lain sebagainya.
Ada juga yang menilai kata santri berasal dari kata india shastri yang berarti “orang yang memiliki pengetahuan tentang kitab suci”. Cliford Geertz mengelompokkan masyarakat Indonesia ke dalam tiga kategori, yaitu priyayi, santri dan abangan. Geertz melihat kata santri berasal dari bahasa Sansekerta shastri, yang berarti ilmuan Hindu yang pandai menulis, yang dalam pemakaian bahasa modern memiliki arti yang sempit dan arti yang luas.
Dalam arti sempit, ialah seorang pelajar yang belajar di sekolah agama atau yang biasa disebut pondok pesantren. Sedangkan dalam arti yang lebih luas, santri mengacu pada bagian anggota penduduk Jawa yang menganut Islam dengan sungguh-sungguh, yang bersembahyang ke masjid pada hari Jumat, dan sebagainya.
Bagi masyarakat saat ini, makna santri berkembang jauh lebih longgar, di mana santri tidak identik dengan nyantri di sebuah pesantren. Tetapi santri justru dikaitkan erat dengan sosok kiai, tokoh karismatis dalam keagamaan yang diyakini memiliki pengetahuan dan akhlak yang dengan sendirinya masyarakat akan menyebutnya sebagai kiai. Para pengikut atau orang-orang yang mengambil berkah, doa, nasihat atau belajar dari kiai inilah disebut santri. Meski tidak jadi santri dalam makna fisik tinggal di pesantren.
Tentu bukan kebetulan jika Geertz memasukkan santri dalam trikotomi masyarakat Jawa (Nusantara), setidaknya entitasnya telah jauh ada dalam masyarakat dan bersenyawa dalam sejarah Nusantara ini dan menjadi bagian yang tak terpisahkan. Melihat santri dalam sejarah Indonesia, tidak bisa lepas dari melihat bagaimana hubungan agama dan politik di negara besar ini berlangsung. Pasang surut hubungan antara agama dan negara melibatkan santri di dalamnya, karena sejauh ini (jika menggunakan klasifikasi Geertz) maka kelompok agama (Islam) di antaranya diwakili oleh keberadaan santri.
Santri Dalam Tikungan Sejarah
Oktober menjadi bulan istimewa bagi kalangan santri. Terutama sejak dikeluarkanya Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 yang menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Penetapan ini menjadi krusial, karena menandai pengakuan keberadaan golongan santri sebagai bagian dari elemen bangsa tentang sumbangsihnya dalam turut menegakkan kemerdekaan NKRI, setelah puluhan tahun negeri ini merdeka.
Sejarah lebih sering ditulis secara sepihak, sebagai representasi kuasa, cerita tokoh-tokoh besar, atau hanya deskripsi rangkaian peristiwa. Menurut Gadamer, sejarah bukan mengandaikan pengetahuan objektif, tetapi ada situasi di dalamnya yang melibatkan pelaku-pelaku sejarah dalam suatu pengaruh atau wirkungsgeschichte.
Selama ini, keterlibatan santri sebagai bagian dari elemen kejuangan alpa dalam sejarah normatif, yaitu sejarah yang disajikan oleh rezim. Padahal, pada masa kolonial, kejuangan santri sangat menjadi momok bagi kolonial Hindia Belanda yang melihat potensi agama politik pada santri. Terutama dengan doktrin hubbul wathon minal iman. Belanda kemudian memilih sikap tengah-tengah pada agama sebagai ibadah dan mengakomodasinya. Tetapi keras pada agama politik, sebagaimana dinasihatkan oleh bidan politik Hindia Belanda, Snouck Hourgronue.
Perjuangan meraih kemerdekaan dari masa Perang Padri, Perang Diponegoro, Perang Aceh, gerakan petani Banten, adalah sejarah yang absen dalam mendefinisikan santri sebagai bagian integralnya. Padahal, ruh utama kejuangan mereka adalah ada pada nilai spiritual yang dibawa agamanya untuk mewujudkan hubbul wathin minal iman.
Puncaknya adalah adanya resolusi jihad yang diserukan oleh KH Hasyim Asy'ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang meminta para santri untuk membela Tanah Air dari penjajah sebagai fardlu 'ain atau kewajiban individual. Resolusi inilah kemudian yang memantik semangat arek-arek Surabaya perang melawan NICA hingga berujung tewasnya Jenderal Malaby. Peristiwa ini kemudian semakin menemukan momentumnya dengan peristiwa 10 November yang kita peringati sebagai Hari Pahawan.
Pada masa sesudahnya, terutama di bawah pemerintahan Orde Baru, keberadaan santri seolah tenggelam oleh kebijakan politik rezim yang mengebiri politik identitas dalam kebijakan penyatuan partai politik (parpol) menjadi tiga yang direstui, yaitu Golongan Karya bagi para kelas priyayi (meminjam istilah Geertz), Partai Persatuan Pembangunan untuk kalangan santri dan Partai Demokrasi Indonesia menjadi wadah kaum abangan. Penyatuan partai dalam tiga partai ini disertai dengan kooptasi dan represi yang kuat oleh negara sehingga identitas apapun tidak diberi ruang untuk berpolitik.
Rezim yang berkuasa selama 32 tahun ini pun melakukan politik diskriminasi terhadap santri, karena dianggap tradisional dan tidak mendukung modernisasi, sebaliknya rezim Orde Baru lebih nyaman dengan Islam modernis yang selama ini tidak mengusung idiom dan identitas santri. Maka, masa tersebut adalah bagian dari “riyadhoh” politik santri agar tetap dapat hidup dan bertahan meski termarginalkan dari kue pembangunan
Reformasi dan Tantangan Santri Milenial
Era keterbukaan telah dilahirkan oleh Reformasi, dan santri menjadi bagian dari elemen bangsa yang turut mendapat berkah dari perjalanan bangsa ini. Hari Santri menjadi titik kulminasi sejarah santri, dan pengakuan atas sumbangsihnya bagi bangsa dan negara. Di era keterbukaan ini yang dihadapi bukan saja peluang, tetapi sebuah arus informasi dan teknologi yang tengah bergerak cepat, bukan saja membuka ruang bagi santri, tetapi bagi lahirnya paham-paham lain yang juga mengusung agama sebagai nilai dan simbolnya. Santri tidak lagi sendiri sebagai kelompok berbasis agama, ada kelompok lain yang juga sedang merebut idiom dan simbol agama dalam kebangsaan dan kenegaraan hari ini. Hanya saja, kelompok ini berbeda pandang dengan santri yang selama ini telah menyejarah, membangun, memperjuangkan dan mempertahankan bangsa dan negara Indonesia.
Ada kelompok lain, yang mengambil era keterbukaan yang membawa semangat keagamaan yang sebelumnya dikebiri pada rezim Orde Baru pada ranah simbolis dan ideologis, mengarah pada perubahan haluan NKRI dengan isu khilafahnya. Semangat kegamaan, yang sebelumnya disumbat dalam pendekatan politik ala Snouck Horgronje, di mana hanya agama ritual yang difasilitasi berkembang, akan tetapi agama sebagai aspirasi ditekan dan dikebiri, telah melahirkan gegap gempita sensivitas keagamaan yang “norak” sehingga akhirnya terjebak pada simbol dan term-term.
Inilah, tantangan santri yang harus dihadapi dengan cerdas dan santun. Sebagaimana telah dilaluinya dalam sejarah, menghadapi penjajah, mengusir pembonceng kemerdekaan, mengganyang PKI dan juga menahan diri dari represi rezim Orde Baru. Santri, dengan khazanah yang dimilikinya, indegeunisitas yang menjadi akarnya, dengan tradisi yang melingkupinya, literasi yang menjaganya selama ini, pasti mampu kembali tampil menjadi penjaga gawang NKRI.
Sebagaimana para guru dari para santri, yang telah merumuskan sebuah nilai besar relasi agama dan negara dalam sebuah ujaran: hubbul wathon minal iman, cinta Tanah Air adalah sebagian dari iman. Sebuah kredo yang bukan saja dihasilkan dari pemikiran, tetapi dari tirakat dan pendekatan religius yang hanya dimengerti oleh mereka, para santri yang selalu gondelan sarunge kiai.
Pengasuh PP Miftahul Huda Rawalo Banyumas, Ketua STIQ Miftahul Huda
PERINGATAN hari santri tahun ini menjadi istimewa bagi santri. Penyebabnya santri mendapat hadiah istimewa dari bangsa besar ini berupa terpilihnya wakil presiden dari kalangan santri dan disahkannya undang-undang tentang pesantren.
Santri pantas mendapatkan hadiah istimewa tersebut jika menilik ke belakang bagaimana telah cukup lama santri tidak menikmati kue pembangunan setelah ikut berjuang baik pada masa perjuangan kemerdekaan maupun masa mempertahankan kemerdekaan. Sempat menikmati udara kebebasan berpolitik ala santri di Pemilu 1955, akhirnya entitas bangsa yang sering distigmasisasi sebagai kaum udik ini menjadi elemen bangsa yang termarginalkan oleh rezim Orde Baru.
Santri dalam Identitas
Santri adalah identitas atau label yang biasa diberikan kepada orang yang menuntut ilmu agama Islam. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut santri adalah (1) orang yang mendalami agama Islam; (2) orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh (orang yang saleh); (3) orang yang mendalami pengajiannya dalam agama Islam dengan berguru ketempat yang jauh seperti pesantren dan lain sebagainya.
Ada juga yang menilai kata santri berasal dari kata india shastri yang berarti “orang yang memiliki pengetahuan tentang kitab suci”. Cliford Geertz mengelompokkan masyarakat Indonesia ke dalam tiga kategori, yaitu priyayi, santri dan abangan. Geertz melihat kata santri berasal dari bahasa Sansekerta shastri, yang berarti ilmuan Hindu yang pandai menulis, yang dalam pemakaian bahasa modern memiliki arti yang sempit dan arti yang luas.
Dalam arti sempit, ialah seorang pelajar yang belajar di sekolah agama atau yang biasa disebut pondok pesantren. Sedangkan dalam arti yang lebih luas, santri mengacu pada bagian anggota penduduk Jawa yang menganut Islam dengan sungguh-sungguh, yang bersembahyang ke masjid pada hari Jumat, dan sebagainya.
Bagi masyarakat saat ini, makna santri berkembang jauh lebih longgar, di mana santri tidak identik dengan nyantri di sebuah pesantren. Tetapi santri justru dikaitkan erat dengan sosok kiai, tokoh karismatis dalam keagamaan yang diyakini memiliki pengetahuan dan akhlak yang dengan sendirinya masyarakat akan menyebutnya sebagai kiai. Para pengikut atau orang-orang yang mengambil berkah, doa, nasihat atau belajar dari kiai inilah disebut santri. Meski tidak jadi santri dalam makna fisik tinggal di pesantren.
Tentu bukan kebetulan jika Geertz memasukkan santri dalam trikotomi masyarakat Jawa (Nusantara), setidaknya entitasnya telah jauh ada dalam masyarakat dan bersenyawa dalam sejarah Nusantara ini dan menjadi bagian yang tak terpisahkan. Melihat santri dalam sejarah Indonesia, tidak bisa lepas dari melihat bagaimana hubungan agama dan politik di negara besar ini berlangsung. Pasang surut hubungan antara agama dan negara melibatkan santri di dalamnya, karena sejauh ini (jika menggunakan klasifikasi Geertz) maka kelompok agama (Islam) di antaranya diwakili oleh keberadaan santri.
Santri Dalam Tikungan Sejarah
Oktober menjadi bulan istimewa bagi kalangan santri. Terutama sejak dikeluarkanya Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 yang menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Penetapan ini menjadi krusial, karena menandai pengakuan keberadaan golongan santri sebagai bagian dari elemen bangsa tentang sumbangsihnya dalam turut menegakkan kemerdekaan NKRI, setelah puluhan tahun negeri ini merdeka.
Sejarah lebih sering ditulis secara sepihak, sebagai representasi kuasa, cerita tokoh-tokoh besar, atau hanya deskripsi rangkaian peristiwa. Menurut Gadamer, sejarah bukan mengandaikan pengetahuan objektif, tetapi ada situasi di dalamnya yang melibatkan pelaku-pelaku sejarah dalam suatu pengaruh atau wirkungsgeschichte.
Selama ini, keterlibatan santri sebagai bagian dari elemen kejuangan alpa dalam sejarah normatif, yaitu sejarah yang disajikan oleh rezim. Padahal, pada masa kolonial, kejuangan santri sangat menjadi momok bagi kolonial Hindia Belanda yang melihat potensi agama politik pada santri. Terutama dengan doktrin hubbul wathon minal iman. Belanda kemudian memilih sikap tengah-tengah pada agama sebagai ibadah dan mengakomodasinya. Tetapi keras pada agama politik, sebagaimana dinasihatkan oleh bidan politik Hindia Belanda, Snouck Hourgronue.
Perjuangan meraih kemerdekaan dari masa Perang Padri, Perang Diponegoro, Perang Aceh, gerakan petani Banten, adalah sejarah yang absen dalam mendefinisikan santri sebagai bagian integralnya. Padahal, ruh utama kejuangan mereka adalah ada pada nilai spiritual yang dibawa agamanya untuk mewujudkan hubbul wathin minal iman.
Puncaknya adalah adanya resolusi jihad yang diserukan oleh KH Hasyim Asy'ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang meminta para santri untuk membela Tanah Air dari penjajah sebagai fardlu 'ain atau kewajiban individual. Resolusi inilah kemudian yang memantik semangat arek-arek Surabaya perang melawan NICA hingga berujung tewasnya Jenderal Malaby. Peristiwa ini kemudian semakin menemukan momentumnya dengan peristiwa 10 November yang kita peringati sebagai Hari Pahawan.
Pada masa sesudahnya, terutama di bawah pemerintahan Orde Baru, keberadaan santri seolah tenggelam oleh kebijakan politik rezim yang mengebiri politik identitas dalam kebijakan penyatuan partai politik (parpol) menjadi tiga yang direstui, yaitu Golongan Karya bagi para kelas priyayi (meminjam istilah Geertz), Partai Persatuan Pembangunan untuk kalangan santri dan Partai Demokrasi Indonesia menjadi wadah kaum abangan. Penyatuan partai dalam tiga partai ini disertai dengan kooptasi dan represi yang kuat oleh negara sehingga identitas apapun tidak diberi ruang untuk berpolitik.
Rezim yang berkuasa selama 32 tahun ini pun melakukan politik diskriminasi terhadap santri, karena dianggap tradisional dan tidak mendukung modernisasi, sebaliknya rezim Orde Baru lebih nyaman dengan Islam modernis yang selama ini tidak mengusung idiom dan identitas santri. Maka, masa tersebut adalah bagian dari “riyadhoh” politik santri agar tetap dapat hidup dan bertahan meski termarginalkan dari kue pembangunan
Reformasi dan Tantangan Santri Milenial
Era keterbukaan telah dilahirkan oleh Reformasi, dan santri menjadi bagian dari elemen bangsa yang turut mendapat berkah dari perjalanan bangsa ini. Hari Santri menjadi titik kulminasi sejarah santri, dan pengakuan atas sumbangsihnya bagi bangsa dan negara. Di era keterbukaan ini yang dihadapi bukan saja peluang, tetapi sebuah arus informasi dan teknologi yang tengah bergerak cepat, bukan saja membuka ruang bagi santri, tetapi bagi lahirnya paham-paham lain yang juga mengusung agama sebagai nilai dan simbolnya. Santri tidak lagi sendiri sebagai kelompok berbasis agama, ada kelompok lain yang juga sedang merebut idiom dan simbol agama dalam kebangsaan dan kenegaraan hari ini. Hanya saja, kelompok ini berbeda pandang dengan santri yang selama ini telah menyejarah, membangun, memperjuangkan dan mempertahankan bangsa dan negara Indonesia.
Ada kelompok lain, yang mengambil era keterbukaan yang membawa semangat keagamaan yang sebelumnya dikebiri pada rezim Orde Baru pada ranah simbolis dan ideologis, mengarah pada perubahan haluan NKRI dengan isu khilafahnya. Semangat kegamaan, yang sebelumnya disumbat dalam pendekatan politik ala Snouck Horgronje, di mana hanya agama ritual yang difasilitasi berkembang, akan tetapi agama sebagai aspirasi ditekan dan dikebiri, telah melahirkan gegap gempita sensivitas keagamaan yang “norak” sehingga akhirnya terjebak pada simbol dan term-term.
Inilah, tantangan santri yang harus dihadapi dengan cerdas dan santun. Sebagaimana telah dilaluinya dalam sejarah, menghadapi penjajah, mengusir pembonceng kemerdekaan, mengganyang PKI dan juga menahan diri dari represi rezim Orde Baru. Santri, dengan khazanah yang dimilikinya, indegeunisitas yang menjadi akarnya, dengan tradisi yang melingkupinya, literasi yang menjaganya selama ini, pasti mampu kembali tampil menjadi penjaga gawang NKRI.
Sebagaimana para guru dari para santri, yang telah merumuskan sebuah nilai besar relasi agama dan negara dalam sebuah ujaran: hubbul wathon minal iman, cinta Tanah Air adalah sebagian dari iman. Sebuah kredo yang bukan saja dihasilkan dari pemikiran, tetapi dari tirakat dan pendekatan religius yang hanya dimengerti oleh mereka, para santri yang selalu gondelan sarunge kiai.
(cip)