Perlu Keseriusan Pembenahan Lembaga Penegak Hukum

Jum'at, 18 Oktober 2019 - 12:05 WIB
Perlu Keseriusan Pembenahan...
Perlu Keseriusan Pembenahan Lembaga Penegak Hukum
A A A
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur menyatakan, ada sejumlah hal yang harus diperhatikan dan diperbaiki Presiden Joko Widodo di periode pemerintahannya yang kedua guna pelaksanaan penegakan hukum untuk menciptakan pemerintahan yang bersih.

Pertama, Jokowi harus meninjau kembali visi dan misinya. Karena visi-misi yang terbaru sangat tidak baik jika dibandingkan dengan Nawacita yang komprehensif. “Jokowi harus melihat kembali Nawacita yang pertama dan menyelesaikan hutang-hutang yang merupakan janji tersebut,” ujarnya.

Kedua, dalam penyusunan kabinet hingga pelaksanaan pemerintahan, maka Jokowi tidak boleh tersandera oleh partai pengusung dan partai pendukung. Sebab, dalam berbagai kesempatan, Jokowi telah berjanji bahwa akan mengangkat para pembantu yang tidak tersandera dengan partai politik.

“Jokowi harus memenuhi janjinya. Dan jangan mengangkat pembantu yang punya masalah integritas, terlibat pelanggaran HAM, juga bermasalah dengan korupsi, dan juga masalah-masalah lainnya,” tandasnya. Ketiga, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin harus konsisten dan serius menjalankan reformasi penegak hukum terutama Kepolisian dan Kejaksaan.

Sebab, selama pemerintahan era Jokowi pertama ada tiga catatan penting dalam penegakan hukum. Masing-masing adalah penegakan hukum sebagai alat kriminalisasi, penegakan hukum sebagai alat diskriminasi, melanggar HAM dan merusak demokrasi, serta Kejaksaan Agung menghambat penuntasan pelanggaran HAM yang berat dan menjadi alat impunitas.

“Apabila tidak dilakukan perubahan secara kelembagaan, maka penegakan hukum yang melanggar HAM akan semakin banyak terjadi dan ujungnya demokrasi Indonesia akan terus turun,” paparnya. Isnur melanjutkan, selama ini proses penegakan hukum sebagai alat kriminalisasi yang dimaksud karena tujuh hal.

Pertama, tidak adanya check and balances pada saat penentuan tersangka. Kedua, minimnya akuntabilitas penentuan tersangka. Ketiga, tidak adanya Habeas Corpus atau pemulihan atas hak pelaku yang dilanggar hak-haknya. Keempat, lemahnya akuntabilitas penahanan dan penahanan berkepanjangan. Kelima, tidak adanya batas status tersangka. Keenam, mengejar pengakuan tersangka termasuk menggunakan penyiksaan. Ketujuh, pembatasan akses penasihat hukum.

“Karenanya kami merekomendasikan tiga hal. Pertama, memperkuat pengawasan internal dan menambah independensi pengawas eksternal. Kedua, memperbarui hukum acara pidana untuk meminimalkan penggunaan hukum sebagai alat kriminalisasi. Ketiga, melihat kembali kelembagaan Kejaksaan dan Kepolisian agar pengawasan dan koordinasi dengan lembaga di atasnya lebih efektif,” ungkapnya.

Direktur Program Magister Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta JM Muslimin mengatakan, untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih maka pencegahan korupsi harus menjadi bagian utama yang harus dijalankan dan dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Guna melakukan upaya pencegahan tersebut, maka pemerintah baik pusat maupun daerah haruslah mengikuti berbagai upaya, program, dan rekomendasi dari KPK. Muslimin menilai, ke depan kerja-kerja bidang pencegahan KPK termasuk yang dilakukan oleh Korwil I hingga Korwil IX harus lebih ditingkatkan.

“Ke depan harus lebih ditekankan pada perbaikan sistem. Selain itu bidang pencegahan KPK juga harus melakukan review-review aturan dan perundang-undangan. Misalnya, kalau ada aturan tidak mendukung misalnya PNS gajinya tidak seimbang, itu kan tidak bisa dibiarkan saja. Karena kalau dibiarkan saja, nanti orang-orang tertangkap lagi,” ungkap Muslimin.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1425 seconds (0.1#10.140)