Lima Alasan Presiden Harus Mengeluarkan Perppu KPK
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesian Legal Roundtable, Firmansyah Arifin menyebut ada lima alasan kenapa Presiden harus menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK.
Alasan pertama, pembentukan Perppu memenuhi syarat materil sebagaimana yang dimaksud Putusan MK No.138 /PUU-VII/2009. Ada tiga syarat sebagaimana yang dimaksud oleh MK, yakni, kebutuhan mendesak menyelesaikan masalah hukum, terjadinya kekosongan hukum dan kekosongan hukum itu tidak bisa diselesaikan dengan cara formal.
"Dari ketiga syarat itu, kondisi saat ini telah memenuhi semua prasyarat objektif untuk mengeluarkan Perppu KPK, seperti adanya kekosongan hukum bagi KPK dan kebutuhan mendesak menyelamatkan KPK agar menjalankan fungsinya secara efektif," ujar Firman dalam keterangan tertulisnya, Senin (14/10/2019).
Kedua, Perrpu KPK merupakan jalan keluar untuk menjawab kebuntuan konstitusional salah satu anggota KPK terpilih, Nurul Gufron. Bahwa proses revisi UU KPK yang terburu-buru mengakibatkan tercederainya hak konstitusional calon anggota KPK terpilih, Nurul Gufron.
"Karena yang bersangkutan dipilih berdasarkan syarat UU KPK yang lama. Padahal, dalam UU KPK Revisi, Gufron tidak memenuhi syarat usia (50 tahun) sedangkan undang-undang itu harus tetap dijalankan. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan hak konstitusional Nurul Gufron yang tercederai, Presiden harus mengeluarkan Perppu KPK sebagai jalan konstitusional dalam waktu yang singkat," jelasnya.
Ketiga, penerbitan Perrpu lebih memberikan kepastian hukum terhadap KPK secara kelembagaan. Dalam UU KPK versi revisi, tidak ditemukan adanya mekanisme transisi pemberlakukan peraturan tersebut.
UU KPK yang baru harus langsung dijalankan jika disahkan presiden. Meski demikian, terlalu banyak implikasi yuridis turunannya yang harus direspons oleh presiden dan KPK untuk mengefektikan undang-undang hasil revisi tersebut, yang tidak mungkin dilakukan dalam jangka waktu pendek.
"Setidaknya perlu dua atau tiga tahun untuk memastikan semua peraturan pendukung tersebut ada, padahal KPK harus terus bekerja tanpa menunggu kekosongan hukum," katanya.
Keempat, kewenangan menerbitkan Perrpu KPK merupakan kewenangan absolut presiden sebagai bagian mengukuhkan sistem presidensil. Satu hal yang penting untuk diperhatikan, bahwa Indonesia menganut sistem presidensil, bukan parlementer, sehingga posisi konstitusional presiden sangat kuat.
"Oleh karena itu, presiden harus mandiri dan memiliki posisi yang jelas dihadapan parlemen untuk mempertahankan kebijakannya. Kebijakan presiden dalam menerbitkan Perrpu KPK untuk menyelamatkan asa pemberantasan korupsi tidak boleh diintervensi dan ditekan oleh parlemen," ungkapnya.
Kelima, lanjut Firman, penerbitan Perrpu memperpanjang jalan dan napas penyelamatan upaya pemberantasan korupsi. Sebagaimana diketahui apabila menunggu proses pengujian undang-undang di MK, maka akan memakan waktu yang cukup lama dan memiliki risiko yuridis yang tidak pasti.
"Padahal secara kelembagaan, KPK harus tetap berjalan dan fungsional. Melalui Perppu KPK, selain memberikan jalan cepat mengatasi kebuntuan konstitusional, upaya hukum ini juga memperpanjang upaya hukum dalam menyelamatkan asa pemberantasan korupsi apabila di kemudian hari risiko yuridis di MK tidak dapat diprediksi," tegasnya.
Firman berharap dari lima alasan tersebut, presiden untuk tidak takut bahwa Perrpu KPK akan ditolak oleh DPR. Penolakan dari DPR tidak ada hubungannya dengan komitmen presiden dalam memberantas korupsi dan memastikan janji-janji politiknya untuk menyelematkan KPK dan pemberantasan korupsi dalam Pemilu lalu.
"Bahkan jika Perrpu KPK yang dikeluarkan Presiden ditolak oleh DPR, masih terdapat upaya terakhir meskipun mengandung risiko yuridis yang tidak dapat diprediksi. Perppu KPK merupakan standar utama dalam mengukur komitmen pemberantasan Jokowi," tuturnya.
Alasan pertama, pembentukan Perppu memenuhi syarat materil sebagaimana yang dimaksud Putusan MK No.138 /PUU-VII/2009. Ada tiga syarat sebagaimana yang dimaksud oleh MK, yakni, kebutuhan mendesak menyelesaikan masalah hukum, terjadinya kekosongan hukum dan kekosongan hukum itu tidak bisa diselesaikan dengan cara formal.
"Dari ketiga syarat itu, kondisi saat ini telah memenuhi semua prasyarat objektif untuk mengeluarkan Perppu KPK, seperti adanya kekosongan hukum bagi KPK dan kebutuhan mendesak menyelamatkan KPK agar menjalankan fungsinya secara efektif," ujar Firman dalam keterangan tertulisnya, Senin (14/10/2019).
Kedua, Perrpu KPK merupakan jalan keluar untuk menjawab kebuntuan konstitusional salah satu anggota KPK terpilih, Nurul Gufron. Bahwa proses revisi UU KPK yang terburu-buru mengakibatkan tercederainya hak konstitusional calon anggota KPK terpilih, Nurul Gufron.
"Karena yang bersangkutan dipilih berdasarkan syarat UU KPK yang lama. Padahal, dalam UU KPK Revisi, Gufron tidak memenuhi syarat usia (50 tahun) sedangkan undang-undang itu harus tetap dijalankan. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan hak konstitusional Nurul Gufron yang tercederai, Presiden harus mengeluarkan Perppu KPK sebagai jalan konstitusional dalam waktu yang singkat," jelasnya.
Ketiga, penerbitan Perrpu lebih memberikan kepastian hukum terhadap KPK secara kelembagaan. Dalam UU KPK versi revisi, tidak ditemukan adanya mekanisme transisi pemberlakukan peraturan tersebut.
UU KPK yang baru harus langsung dijalankan jika disahkan presiden. Meski demikian, terlalu banyak implikasi yuridis turunannya yang harus direspons oleh presiden dan KPK untuk mengefektikan undang-undang hasil revisi tersebut, yang tidak mungkin dilakukan dalam jangka waktu pendek.
"Setidaknya perlu dua atau tiga tahun untuk memastikan semua peraturan pendukung tersebut ada, padahal KPK harus terus bekerja tanpa menunggu kekosongan hukum," katanya.
Keempat, kewenangan menerbitkan Perrpu KPK merupakan kewenangan absolut presiden sebagai bagian mengukuhkan sistem presidensil. Satu hal yang penting untuk diperhatikan, bahwa Indonesia menganut sistem presidensil, bukan parlementer, sehingga posisi konstitusional presiden sangat kuat.
"Oleh karena itu, presiden harus mandiri dan memiliki posisi yang jelas dihadapan parlemen untuk mempertahankan kebijakannya. Kebijakan presiden dalam menerbitkan Perrpu KPK untuk menyelamatkan asa pemberantasan korupsi tidak boleh diintervensi dan ditekan oleh parlemen," ungkapnya.
Kelima, lanjut Firman, penerbitan Perrpu memperpanjang jalan dan napas penyelamatan upaya pemberantasan korupsi. Sebagaimana diketahui apabila menunggu proses pengujian undang-undang di MK, maka akan memakan waktu yang cukup lama dan memiliki risiko yuridis yang tidak pasti.
"Padahal secara kelembagaan, KPK harus tetap berjalan dan fungsional. Melalui Perppu KPK, selain memberikan jalan cepat mengatasi kebuntuan konstitusional, upaya hukum ini juga memperpanjang upaya hukum dalam menyelamatkan asa pemberantasan korupsi apabila di kemudian hari risiko yuridis di MK tidak dapat diprediksi," tegasnya.
Firman berharap dari lima alasan tersebut, presiden untuk tidak takut bahwa Perrpu KPK akan ditolak oleh DPR. Penolakan dari DPR tidak ada hubungannya dengan komitmen presiden dalam memberantas korupsi dan memastikan janji-janji politiknya untuk menyelematkan KPK dan pemberantasan korupsi dalam Pemilu lalu.
"Bahkan jika Perrpu KPK yang dikeluarkan Presiden ditolak oleh DPR, masih terdapat upaya terakhir meskipun mengandung risiko yuridis yang tidak dapat diprediksi. Perppu KPK merupakan standar utama dalam mengukur komitmen pemberantasan Jokowi," tuturnya.
(cip)