Renungan Calon Menteri Ekonomi
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Dosen dan Guru Besar FEB Universitas Brawijaya
ADAM Smith dalam teorinya mengemukakan bahwa perekonomian akan berjalan sendiri dan mampu menyesuaikan diri menuju titik keseimbangan menurut mekanisme pasar. Adam Smith juga menyebutkan bahwa tarik-menarik kekuatan dalam sistem perekonomian tersebut dikendalikan oleh the invisible hand sehingga tidak memerlukan banyak campur tangan pemerintah.
Namun munculnya pasar persaingan tidak sempurna dengan informasi asimetris dan eksternalitas serta adanya barang publik merupakan wujud kegagalan pasar sebagaimana ide Adam Smith yang menyebabkan alokasi sumber daya pada masyarakat tidak efisien. Oleh sebab itu kehadiran pemerintah dalam aktivitas perekonomian diperlukan untuk dapat mengurangi dampak dari kegagalan pasar sehingga tujuan kesejahteraan dan keadilan pada masyarakat bisa tercipta.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat ketimpangan ekonomi penduduk Indonesia yang diukur berdasarkan pengeluaran penduduk Indonesia berada di level 0,382 pada Maret 2019. Level tersebut merupakan yang terendah sejak 5 tahun terakhir.
Rasio dini Indonesia tersebut mengalami penurunan sebesar 0,002 poin bila dibandingkan dengan rasio gini September 2018 yang sebesar 0,384. Adapun bila dibandingkan dengan Maret 2018, rasio gini tercatat menurun 0,007 poin dari 0,389. Angka tersebut juga relatif rendah bila dibandingkan dengan emerging economies lain seperti Tiongkok dan Brasil.
Namun jika dilihat dari kepemilikan asetnya, tingkat ketimpangan aset di Indonesia masih terbilang tinggi. Berdasarkan data Credit Suisse (2018), ketimpangan berdasarkan kekayaan, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% kekayaan nasional, meningkat dari 45,4% pada 2017.
Posisi Indonesia pada 2018 terburuk kelima di dunia. Adapun 10% orang terkaya di Indonesia menguasai 75,3% kekayaan nasional, terburuk keenam di dunia.
Data tersebut juga sejalan dengan fakta bahwa mayoritas dana perbankan semakin terkonsentrasi hanya di sebagian kecil rekening. Selain itu skema bank tanah dan penguasaan properti hingga jumlah High Net Worth Individual (HNWI) di Indonesia yang meningkat pesat juga merupakan indikasi adanya kepemilikan aset yang tidak merata.
Kondisi di atas semakin memperjelas bahwa persoalan kemiskinan di Indonesia terletak pada ketimpangan penguasaan aset dan kekayaan di mana kekayaan tersebut hanya terkonsentrasi pada sekelompok orang saja. Aset yang dimiliki kelompok keluarga sangat kaya akan terus-menerus terakumulasi dari generasi ke generasi.
Akibatnya akumulasi kekayaan antargenerasi tersebut berakibat pada timpangnya kesempatan (unequal opportunity) antarlapisan ekonomi masyarakat. Kepemilikan aset dapat menjadi salah satu faktor penentu untuk mengurangi ketimpangan.
Selama ini ketimpangan kepemilikan aset menyebabkan keluarga miskin sulit mengakses lembaga keuangan/perbankan karena tidak memiliki jaminan/aset. Sejatinya kepemilikan aset oleh masyarakat miskin dapat mendorong munculnya kegiatan ekonomi di golongan masyarakat tersebut.
Kepemilikan aset memberikan kemampuan bagi masyarakat untuk melakukan usaha dan mencegah terjadinya kemiskinan baru. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan bahwa tanpa aset produktif yang memadai, masyarakat ekonomi terbawah tidak dapat keluar dari kemiskinan serta tidak dapat meningkatkan pendapatannya.
Redistribusi aset mampu mempermudah usaha pemerintah untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan di Indonesia. Selama ini berbagai program untuk penanganan kemiskinan telah banyak dan beragam dilakukan pemerintah pusat maupun daerah.
Tapi sepertinya seluruh program tersebut belum memberikan angka capaian yang maksimal. Selama pemerintahan Jokowi, angka kemiskinan belum mampu mencapai target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019.
Pemerintah dalam RPJMN menargetkan angka kemiskinan 7–8%, tetapi hingga Maret 2019 pemerintah hanya mampu menekan angka kemiskinan hingga 9,41%. Meski angka kemiskinan telah turun pada angka 9,41%, jumlah penduduk miskin dan rentan miskin masih besar, sekitar 78,44 juta atau 29,36% dari total penduduk Indonesia (Investor Daily, 2019).
Melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas, jumlah orang miskin akan dapat ditekan. Hal itu telah terjadi di China di mana pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah menekan angka kemiskinan di China.
Di sisi lain, jika terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi jumlah kemiskinan tetap atau cenderung meningkat, bisa dibaca bahwa sektor pertumbuhan ekonomi tersebut terkonsentrasi pada kelompok masyarakat tertentu atau sektor tersebut sangat sarat kapital dan memerlukan tenaga kerja yang berkeahlian (high skilled labor).
Pengalaman Indonesia, capaian pertumbuhan ekonomi yang terhenti di angka +/- 5% ternyata belum cukup mampu untuk menekan angka kemiskinan secara signifikan. Menyikapi hal tersebut, pemerintah memberikan kebijakan penguat seperti memberikan bantuan langsung, di antaranya melalui program bantuan pangan, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Bidik Misi, serta Program Keluarga Harapan (PKH) untuk dapat menekan angka kemiskinan dan pengangguran.
GCG dan Perbaikan Ekonomi
Syarat penting di dalam masuknya pemerintah dalam perekonomian tentu adalah GCG (good corporate governance). Birokrasi yang bersih dan baik menjadi syarat utama untuk keberhasilan kebijakan pemerintah. Ironisnya, kinerja birokrasi di Indonesia masih jauh dari kriteria GCG.
Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa pada 2018 terdapat 454 kasus korupsi yang terjadi dengan jumlah tersangka 1.087 orang di mana korupsi tersebut justru paling banyak dilakukan kalangan aparatur sipil negara (ASN), yakni sebanyak 375 tersangka atau 34,5% dari total tersangka. Melihat fenomena tersebut, ketidakberhasilan kebijakan menjadi suatu keniscayaan.
Upaya pemerintah mengeluarkan belasan paket kebijakan untuk menarik investor masuk ke Indonesia tidak akan memberikan hasil yang baik jika tidak didukung dengan perbaikan sistem birokrasi yang baik. Permasalahan korupsi dan inefisiensi birokrasi menjadi salah satu faktor yang membuat investor enggan berinvestasi di Indonesia.
Akibat tindakan koruptif yang dilakukan ASN, pengusaha harus mengeluarkan biaya tambahan untuk memperlancar birokrasi yang terlalu rumit. Baru-baru ini terdapat 33 perusahaan China yang memindahkan usahanya di negara ASEAN, tetapi tidak satu pun dari mereka berminat untuk berinvestasi di Indonesia.
Vietnam lebih menarik bagi China untuk berinvestasi. Selain Vietnam, negara ASEAN lainnya yang juga menjadi tempat favorit bagi China untuk berinvestasi adalah Malaysia, Thailand.
Besar harapan masyarakat, kabinet baru ke depan mulai berbenah diri dan segera bangkit dari kompleksitas permasalahan ketimpangan dan kemiskinan melalui regulasi yang tepat dan efektif. Selain itu mesin administrasi birokrasi yang bersih, cepat, murah, dan baik juga menjadi kunci bagi pemerintah ke depan untuk dapat menunjang keberhasilan dari berbagai program penanggulangan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi yang dimiliki.
Tanpa reformasi birokrasi yang seperti itu, kita akan melihat Indonesia pada lima tahun berada di posisi yang sama seperti saat ini, bahkan berpotensi semakin tertinggal dari negara berkembang ASEAN lainnya. Semoga Presiden bisa mendapatkan orang-orang terbaik, yang tidak hanya baik secara etika dan akademik, tetapi juga mampu memperbaiki mesin birokrasi di lingkungannya. Semoga.
Dosen dan Guru Besar FEB Universitas Brawijaya
ADAM Smith dalam teorinya mengemukakan bahwa perekonomian akan berjalan sendiri dan mampu menyesuaikan diri menuju titik keseimbangan menurut mekanisme pasar. Adam Smith juga menyebutkan bahwa tarik-menarik kekuatan dalam sistem perekonomian tersebut dikendalikan oleh the invisible hand sehingga tidak memerlukan banyak campur tangan pemerintah.
Namun munculnya pasar persaingan tidak sempurna dengan informasi asimetris dan eksternalitas serta adanya barang publik merupakan wujud kegagalan pasar sebagaimana ide Adam Smith yang menyebabkan alokasi sumber daya pada masyarakat tidak efisien. Oleh sebab itu kehadiran pemerintah dalam aktivitas perekonomian diperlukan untuk dapat mengurangi dampak dari kegagalan pasar sehingga tujuan kesejahteraan dan keadilan pada masyarakat bisa tercipta.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat ketimpangan ekonomi penduduk Indonesia yang diukur berdasarkan pengeluaran penduduk Indonesia berada di level 0,382 pada Maret 2019. Level tersebut merupakan yang terendah sejak 5 tahun terakhir.
Rasio dini Indonesia tersebut mengalami penurunan sebesar 0,002 poin bila dibandingkan dengan rasio gini September 2018 yang sebesar 0,384. Adapun bila dibandingkan dengan Maret 2018, rasio gini tercatat menurun 0,007 poin dari 0,389. Angka tersebut juga relatif rendah bila dibandingkan dengan emerging economies lain seperti Tiongkok dan Brasil.
Namun jika dilihat dari kepemilikan asetnya, tingkat ketimpangan aset di Indonesia masih terbilang tinggi. Berdasarkan data Credit Suisse (2018), ketimpangan berdasarkan kekayaan, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% kekayaan nasional, meningkat dari 45,4% pada 2017.
Posisi Indonesia pada 2018 terburuk kelima di dunia. Adapun 10% orang terkaya di Indonesia menguasai 75,3% kekayaan nasional, terburuk keenam di dunia.
Data tersebut juga sejalan dengan fakta bahwa mayoritas dana perbankan semakin terkonsentrasi hanya di sebagian kecil rekening. Selain itu skema bank tanah dan penguasaan properti hingga jumlah High Net Worth Individual (HNWI) di Indonesia yang meningkat pesat juga merupakan indikasi adanya kepemilikan aset yang tidak merata.
Kondisi di atas semakin memperjelas bahwa persoalan kemiskinan di Indonesia terletak pada ketimpangan penguasaan aset dan kekayaan di mana kekayaan tersebut hanya terkonsentrasi pada sekelompok orang saja. Aset yang dimiliki kelompok keluarga sangat kaya akan terus-menerus terakumulasi dari generasi ke generasi.
Akibatnya akumulasi kekayaan antargenerasi tersebut berakibat pada timpangnya kesempatan (unequal opportunity) antarlapisan ekonomi masyarakat. Kepemilikan aset dapat menjadi salah satu faktor penentu untuk mengurangi ketimpangan.
Selama ini ketimpangan kepemilikan aset menyebabkan keluarga miskin sulit mengakses lembaga keuangan/perbankan karena tidak memiliki jaminan/aset. Sejatinya kepemilikan aset oleh masyarakat miskin dapat mendorong munculnya kegiatan ekonomi di golongan masyarakat tersebut.
Kepemilikan aset memberikan kemampuan bagi masyarakat untuk melakukan usaha dan mencegah terjadinya kemiskinan baru. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan bahwa tanpa aset produktif yang memadai, masyarakat ekonomi terbawah tidak dapat keluar dari kemiskinan serta tidak dapat meningkatkan pendapatannya.
Redistribusi aset mampu mempermudah usaha pemerintah untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan di Indonesia. Selama ini berbagai program untuk penanganan kemiskinan telah banyak dan beragam dilakukan pemerintah pusat maupun daerah.
Tapi sepertinya seluruh program tersebut belum memberikan angka capaian yang maksimal. Selama pemerintahan Jokowi, angka kemiskinan belum mampu mencapai target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019.
Pemerintah dalam RPJMN menargetkan angka kemiskinan 7–8%, tetapi hingga Maret 2019 pemerintah hanya mampu menekan angka kemiskinan hingga 9,41%. Meski angka kemiskinan telah turun pada angka 9,41%, jumlah penduduk miskin dan rentan miskin masih besar, sekitar 78,44 juta atau 29,36% dari total penduduk Indonesia (Investor Daily, 2019).
Melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas, jumlah orang miskin akan dapat ditekan. Hal itu telah terjadi di China di mana pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah menekan angka kemiskinan di China.
Di sisi lain, jika terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi jumlah kemiskinan tetap atau cenderung meningkat, bisa dibaca bahwa sektor pertumbuhan ekonomi tersebut terkonsentrasi pada kelompok masyarakat tertentu atau sektor tersebut sangat sarat kapital dan memerlukan tenaga kerja yang berkeahlian (high skilled labor).
Pengalaman Indonesia, capaian pertumbuhan ekonomi yang terhenti di angka +/- 5% ternyata belum cukup mampu untuk menekan angka kemiskinan secara signifikan. Menyikapi hal tersebut, pemerintah memberikan kebijakan penguat seperti memberikan bantuan langsung, di antaranya melalui program bantuan pangan, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Bidik Misi, serta Program Keluarga Harapan (PKH) untuk dapat menekan angka kemiskinan dan pengangguran.
GCG dan Perbaikan Ekonomi
Syarat penting di dalam masuknya pemerintah dalam perekonomian tentu adalah GCG (good corporate governance). Birokrasi yang bersih dan baik menjadi syarat utama untuk keberhasilan kebijakan pemerintah. Ironisnya, kinerja birokrasi di Indonesia masih jauh dari kriteria GCG.
Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa pada 2018 terdapat 454 kasus korupsi yang terjadi dengan jumlah tersangka 1.087 orang di mana korupsi tersebut justru paling banyak dilakukan kalangan aparatur sipil negara (ASN), yakni sebanyak 375 tersangka atau 34,5% dari total tersangka. Melihat fenomena tersebut, ketidakberhasilan kebijakan menjadi suatu keniscayaan.
Upaya pemerintah mengeluarkan belasan paket kebijakan untuk menarik investor masuk ke Indonesia tidak akan memberikan hasil yang baik jika tidak didukung dengan perbaikan sistem birokrasi yang baik. Permasalahan korupsi dan inefisiensi birokrasi menjadi salah satu faktor yang membuat investor enggan berinvestasi di Indonesia.
Akibat tindakan koruptif yang dilakukan ASN, pengusaha harus mengeluarkan biaya tambahan untuk memperlancar birokrasi yang terlalu rumit. Baru-baru ini terdapat 33 perusahaan China yang memindahkan usahanya di negara ASEAN, tetapi tidak satu pun dari mereka berminat untuk berinvestasi di Indonesia.
Vietnam lebih menarik bagi China untuk berinvestasi. Selain Vietnam, negara ASEAN lainnya yang juga menjadi tempat favorit bagi China untuk berinvestasi adalah Malaysia, Thailand.
Besar harapan masyarakat, kabinet baru ke depan mulai berbenah diri dan segera bangkit dari kompleksitas permasalahan ketimpangan dan kemiskinan melalui regulasi yang tepat dan efektif. Selain itu mesin administrasi birokrasi yang bersih, cepat, murah, dan baik juga menjadi kunci bagi pemerintah ke depan untuk dapat menunjang keberhasilan dari berbagai program penanggulangan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi yang dimiliki.
Tanpa reformasi birokrasi yang seperti itu, kita akan melihat Indonesia pada lima tahun berada di posisi yang sama seperti saat ini, bahkan berpotensi semakin tertinggal dari negara berkembang ASEAN lainnya. Semoga Presiden bisa mendapatkan orang-orang terbaik, yang tidak hanya baik secara etika dan akademik, tetapi juga mampu memperbaiki mesin birokrasi di lingkungannya. Semoga.
(poe)