Menuju Keadilan RKUHP
A
A
A
Muhammad Fatahillah Akbar
Sekretaris dan Dosen pada Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
“THE only thing that is permanent in life is impermanence” Thor – Avengers: Endgame.
Ungkapan yang disampaikan Thor, dewa yang dalam mitos dikenal memiliki sifat kekal atau abadi, tentu memiliki makna mendalam. Hal tersebut juga melekat dalam pembentukan hukum. Merupakan hal yang niscaya bahwa hukum itu harus selalu diperbaiki. Situasi tersebut sejalan dengan konsep het recht hink achter de feiten aan, yakni bahwa hukum akan selalu tertinggal di belakang perkembangan zaman.
Karena itu, pembaharuan hukum diperlukan untuk mengikuti perkembangan zaman. Salah satu hal yang paling menjadi perhatian dan diskusi panjang adalah mengenai pembaruan hukum pidana secara universal melalui pembentukan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Seiring berakhirnya masa jabatan DPR dan dikejarnya pengesahan RKUHP, masyarakat mulai memperhatikan pasal-pasal dalam RKUHP tersebut secara parsial dan memicu reaksi publik yang cukup besar. Tulisan ini mencoba menggambarkan semangat yang ada dalam RKUHP dan bagaimana seharusnya sikap masyarakat terhadapnya.
Pembaharuan KUHP pada dasarnya merupakan kerja keras para pakar hukum pidana dengan proses yang cukup panjang. KUHP dulu bernama wet boek van straftrecht NI atau KUHP untuk Hindia Belanda berlaku sejak Januari 1918. Umur berlakunya KUHP sudah 101 tahun. Dengan logika pembentukan hukum, umur tersebut sangat tua. Pada 1963 sudah dicetuskan pembentukan RKUHP. Rancangan lengkapnya kemudian pertama kali ada pada 1993.
Sejak 1994 masuk sebagai program legislasi nasional (prolegnas). Sempat tertunda pembahasannya pada 2009, kemudian Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat surat presiden (surpres) untuk membahas dan mengesahkan RKUHP. Pada 24 September 2019 sempat menjadi jadwal pengesahan, untuk kemudian ditunda. Dalam penundaannya Presiden Jokowi sempat menyebut terdapat 14 pasal yang kontroversial. Namun, tidak terdapat rincian pasal-pasal tersebut.
Dalam sebagian besar aksi-aksi menentang RKUHP, penolakan didasarkan pada pasal-pasal dalam Buku Kedua KUHP. RKUHP terdiri atas dua buku: Buku Kesatu mengenai aturan umum dan Buku Kedua mengenai tindak pidana. Masalah yang timbul di masyarakat adalah mengenai pasal-pasal yang ada dalam Buku Kedua KUHP, seperti pasal aborsi, perzinaan, kontrasepsi, penghinaan presiden, unggas masuk pekarangan, dan pasal-pasal lain. Membahas keseluruhan pasal kontroversial akan membutuhkan beberapa jurnal tersendiri. Namun, tulisan ini mencoba mengulas RKUHP secara komprehensif melihat tujuan dan semangat dari RKUHP.
Sebagaimana isi penjelasan umum RKUHP terdapat beberapa misi di balik pembentukannya, yakni dekolonialisasi, demokratisasi, konsolidasi, adaptasi dan harmonisasi. Jika melihat tujuan utama adalah dekolonialisasi, sejak KUHP berlaku sampai saat ini, Indonesia tidak memiliki terjemahan resmi mengenai KUHP. Aslinya memang peninggalan kolonial.
Terdapat beberapa pakar yang menerjemahkan KUHP seperti Moeljatno dan R Soesilo. Badan Pembinaan Hukum Nasional memberikan terjemahan juga, tetapi tidak ditetapkan sebagai terjemahan resmi. Selain dari itu, pasal-pasal yang bersifat kolonial dan represif masih termuat dalam KUHP saat ini. Karena itu, penting misi dekolonialisasi dengan pembentukan RKUHP ini. Hal ini sejalan dengan misi-misi lain dalam pembentukan RKUHP.
Sebelum membaca Buku Kedua RKUHP, semangat RKUHP lebih jelas terlihat dalam Buku Kesatu mengenai aturan umum. Dalam Buku Kesatu RKUHP telah ditunjukkan semangat RKUHP yang bersifat restoratif. Albert Eglash membagi keadilan ke dalam tiga bentuk, yakni keadilan retributif, distributif, dan restoratif. Pada keadilan retributif, pidana dijatuhkan memang untuk menghukum pelaku kejahatan.
Hal ini tercermin sangat kuat dalam KUHP yang masih berlaku saat ini. Untuk keadilan distributif, pidana dijatuhkan untuk merehabilitasi pelaku. Hal ini tecermin dalam sistem pemasyarakatan Indonesia saat ini. Selanjutnya, bentuk yang lebih baik, keadilan restoratif adalah tujuan dari proses pidana untuk mengembalikan keadaan semula dengan mempertimbangkan kepentingan korban dan rehabilitasi terhadap pelaku. Dapat dikatakan bahwa RKUHP telah menggunakan konsep pemidanaan dengan keadilan restoratif.
Konsep restoratif terlihat dari diaturnya tujuan pemidanaan dalam RKUHP. Tujuan pemidanaan sebelumnya sama sekali tidak diatur dalam produk hukum apa pun. Pasal 51 huruf c menggambarkan keadilan restoratif dengan mengatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah “menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat.” Bahkan Pasal 52 menolak konsep retributif sama sekali dengan mengatakan, “pemidanaan tidak bertujuan untuk merendahkan martabat manusia.”
Dengan konsep pemidanaan tersebut, hakim kemudian dibekali pedoman pemidanaan dengan salah satu amunisi berupa rectherlijk pardon atau dikenal dengan pemaafan hakim. Pasal 54 ayat (2) mengatakan “Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.”
Dengan kewenangan tersebut, sekalipun rumusan delik terpenuhi hakim dapat tidak menjatuhkan pidana dan tindakan sama sekali. Dengan pengaturan pedoman pemidanaan ini sudah sepatutnya masyarakat tidak perlu mengkhawatirkan adanya pemidanaan secara berlebihan oleh penegak hukum. Masalah pada kasus unggas masuk perkarangan ataupun masalah perzinaan bisa saja mendapatkan pemaafan hakim.
Konsep restoratif juga tercermin dalam Pasal 70 RKUHP dimana terdapat pedoman untuk tidak menjatuhkan pidana penjara pada beberapa kondisi. Salah satu kondisi yang menunjukkan konsep restoratif adalah ketika “terdakwa telah membayar ganti rugi kepada Korban”.
Konsep ini menempatkan adanya resolusi penyelesaian tindak pidana antara pelaku dan korban yang tecermin dalam konsep keadilan restoratif. Selain dari itu, jika “terdakwa tidak menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar,” pidana penjara juga tidak selayaknya untuk dijatuhkan.
Selain konsep restoratif yang ditemukan dalam pedoman pemidanaan, pilihan pidana alternatif selain pidana penjara juga menunjukkan bentuk RKUHP yang lebih mementingkan rehabilitasi dibandingkan sifat pembalasan (retributif). Dalam RKUHP, pidana penjara dapat diganti dengan pidana denda, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial, tergantung berat atau ringannya pemidanaan. RKUHP ini sejalan dengan RUU Pemasyarakatan yang menekankan pada konsep rehabilitasi. Dengan konsep pembaharuan ini, kekurangan kapasitas penjara akan susut dan rehabilitasi terhadap pelaku akan menjadi lebih optimal.
Selain itu, pasal-pasal yang menjadi kontroversi di masyarakat harus pula merujuk pada Buku Kesatu. Sebagai contoh, kasus unggas masuk pekarangan, ketika terdapat penyelesaian antara pemilik unggas dan korban, perkara dapat diselesaikan tanpa mekanisme hukum. Apalagi dalam pasal tersebut ancaman pidana utama hanya denda.
Terkait aborsi, harus dilihat juga konsep melawan hukum pada Buku Kesatu. Jika dilakukan karena perkosaan atau alasan medis, jelas menghapus sifat melawan hukumnya. Dalam membaca kasus-kasus perzinaan yang merupakan delik aduan dan pasal-pasal lain harus pula merujuk pada Buku Kesatu KUHP.
Pasal yang dianggap cukup kontroversial juga yakni mengenai penghinaan presiden yang sempat ada dalam KUHP sebelumnya. Pasal ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 013- 022/PUU-IV/2006 karena dianggap melanggar asas kebebasan berpendapat. Pengaturannya kembali dalam RKUHP harusnya diapresiasi karena pasal penghinaan presiden menghargai kebebasan berpendapat dan diatur berbeda dengan KUHP saat ini. Dalam RKUHP, pengaturannya dibuat lebih tegas dan menjadi delik aduan. Dalam pengaturannya, jika yang dilakukan adalah kritik untuk kepentingan umum maka tidak dapat dijerat dengan pasal penghinaan presiden dalam RKUHP.
Karena itu, dengan konsep RKUHP yang bersifat restoratif dan juga delik-delik dalam Buku Kedua RKUHP yang harus dicermati secara komprehensif, RKUHP ini harus didukung penuh. Pengesahan RKUHP akan memperkuat perlindungan kepada masyarakat dari berbagai jenis tindak pidana. Tanpa perlu tindakan anarki, kritik terhadap RKUHP bisa didiskusikan dengan lebih elegan. Sebagaimana petuah Gandhi, “In a gentle way, you can shake the world.”
Sekretaris dan Dosen pada Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
“THE only thing that is permanent in life is impermanence” Thor – Avengers: Endgame.
Ungkapan yang disampaikan Thor, dewa yang dalam mitos dikenal memiliki sifat kekal atau abadi, tentu memiliki makna mendalam. Hal tersebut juga melekat dalam pembentukan hukum. Merupakan hal yang niscaya bahwa hukum itu harus selalu diperbaiki. Situasi tersebut sejalan dengan konsep het recht hink achter de feiten aan, yakni bahwa hukum akan selalu tertinggal di belakang perkembangan zaman.
Karena itu, pembaharuan hukum diperlukan untuk mengikuti perkembangan zaman. Salah satu hal yang paling menjadi perhatian dan diskusi panjang adalah mengenai pembaruan hukum pidana secara universal melalui pembentukan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Seiring berakhirnya masa jabatan DPR dan dikejarnya pengesahan RKUHP, masyarakat mulai memperhatikan pasal-pasal dalam RKUHP tersebut secara parsial dan memicu reaksi publik yang cukup besar. Tulisan ini mencoba menggambarkan semangat yang ada dalam RKUHP dan bagaimana seharusnya sikap masyarakat terhadapnya.
Pembaharuan KUHP pada dasarnya merupakan kerja keras para pakar hukum pidana dengan proses yang cukup panjang. KUHP dulu bernama wet boek van straftrecht NI atau KUHP untuk Hindia Belanda berlaku sejak Januari 1918. Umur berlakunya KUHP sudah 101 tahun. Dengan logika pembentukan hukum, umur tersebut sangat tua. Pada 1963 sudah dicetuskan pembentukan RKUHP. Rancangan lengkapnya kemudian pertama kali ada pada 1993.
Sejak 1994 masuk sebagai program legislasi nasional (prolegnas). Sempat tertunda pembahasannya pada 2009, kemudian Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat surat presiden (surpres) untuk membahas dan mengesahkan RKUHP. Pada 24 September 2019 sempat menjadi jadwal pengesahan, untuk kemudian ditunda. Dalam penundaannya Presiden Jokowi sempat menyebut terdapat 14 pasal yang kontroversial. Namun, tidak terdapat rincian pasal-pasal tersebut.
Dalam sebagian besar aksi-aksi menentang RKUHP, penolakan didasarkan pada pasal-pasal dalam Buku Kedua KUHP. RKUHP terdiri atas dua buku: Buku Kesatu mengenai aturan umum dan Buku Kedua mengenai tindak pidana. Masalah yang timbul di masyarakat adalah mengenai pasal-pasal yang ada dalam Buku Kedua KUHP, seperti pasal aborsi, perzinaan, kontrasepsi, penghinaan presiden, unggas masuk pekarangan, dan pasal-pasal lain. Membahas keseluruhan pasal kontroversial akan membutuhkan beberapa jurnal tersendiri. Namun, tulisan ini mencoba mengulas RKUHP secara komprehensif melihat tujuan dan semangat dari RKUHP.
Sebagaimana isi penjelasan umum RKUHP terdapat beberapa misi di balik pembentukannya, yakni dekolonialisasi, demokratisasi, konsolidasi, adaptasi dan harmonisasi. Jika melihat tujuan utama adalah dekolonialisasi, sejak KUHP berlaku sampai saat ini, Indonesia tidak memiliki terjemahan resmi mengenai KUHP. Aslinya memang peninggalan kolonial.
Terdapat beberapa pakar yang menerjemahkan KUHP seperti Moeljatno dan R Soesilo. Badan Pembinaan Hukum Nasional memberikan terjemahan juga, tetapi tidak ditetapkan sebagai terjemahan resmi. Selain dari itu, pasal-pasal yang bersifat kolonial dan represif masih termuat dalam KUHP saat ini. Karena itu, penting misi dekolonialisasi dengan pembentukan RKUHP ini. Hal ini sejalan dengan misi-misi lain dalam pembentukan RKUHP.
Sebelum membaca Buku Kedua RKUHP, semangat RKUHP lebih jelas terlihat dalam Buku Kesatu mengenai aturan umum. Dalam Buku Kesatu RKUHP telah ditunjukkan semangat RKUHP yang bersifat restoratif. Albert Eglash membagi keadilan ke dalam tiga bentuk, yakni keadilan retributif, distributif, dan restoratif. Pada keadilan retributif, pidana dijatuhkan memang untuk menghukum pelaku kejahatan.
Hal ini tercermin sangat kuat dalam KUHP yang masih berlaku saat ini. Untuk keadilan distributif, pidana dijatuhkan untuk merehabilitasi pelaku. Hal ini tecermin dalam sistem pemasyarakatan Indonesia saat ini. Selanjutnya, bentuk yang lebih baik, keadilan restoratif adalah tujuan dari proses pidana untuk mengembalikan keadaan semula dengan mempertimbangkan kepentingan korban dan rehabilitasi terhadap pelaku. Dapat dikatakan bahwa RKUHP telah menggunakan konsep pemidanaan dengan keadilan restoratif.
Konsep restoratif terlihat dari diaturnya tujuan pemidanaan dalam RKUHP. Tujuan pemidanaan sebelumnya sama sekali tidak diatur dalam produk hukum apa pun. Pasal 51 huruf c menggambarkan keadilan restoratif dengan mengatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah “menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat.” Bahkan Pasal 52 menolak konsep retributif sama sekali dengan mengatakan, “pemidanaan tidak bertujuan untuk merendahkan martabat manusia.”
Dengan konsep pemidanaan tersebut, hakim kemudian dibekali pedoman pemidanaan dengan salah satu amunisi berupa rectherlijk pardon atau dikenal dengan pemaafan hakim. Pasal 54 ayat (2) mengatakan “Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.”
Dengan kewenangan tersebut, sekalipun rumusan delik terpenuhi hakim dapat tidak menjatuhkan pidana dan tindakan sama sekali. Dengan pengaturan pedoman pemidanaan ini sudah sepatutnya masyarakat tidak perlu mengkhawatirkan adanya pemidanaan secara berlebihan oleh penegak hukum. Masalah pada kasus unggas masuk perkarangan ataupun masalah perzinaan bisa saja mendapatkan pemaafan hakim.
Konsep restoratif juga tercermin dalam Pasal 70 RKUHP dimana terdapat pedoman untuk tidak menjatuhkan pidana penjara pada beberapa kondisi. Salah satu kondisi yang menunjukkan konsep restoratif adalah ketika “terdakwa telah membayar ganti rugi kepada Korban”.
Konsep ini menempatkan adanya resolusi penyelesaian tindak pidana antara pelaku dan korban yang tecermin dalam konsep keadilan restoratif. Selain dari itu, jika “terdakwa tidak menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar,” pidana penjara juga tidak selayaknya untuk dijatuhkan.
Selain konsep restoratif yang ditemukan dalam pedoman pemidanaan, pilihan pidana alternatif selain pidana penjara juga menunjukkan bentuk RKUHP yang lebih mementingkan rehabilitasi dibandingkan sifat pembalasan (retributif). Dalam RKUHP, pidana penjara dapat diganti dengan pidana denda, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial, tergantung berat atau ringannya pemidanaan. RKUHP ini sejalan dengan RUU Pemasyarakatan yang menekankan pada konsep rehabilitasi. Dengan konsep pembaharuan ini, kekurangan kapasitas penjara akan susut dan rehabilitasi terhadap pelaku akan menjadi lebih optimal.
Selain itu, pasal-pasal yang menjadi kontroversi di masyarakat harus pula merujuk pada Buku Kesatu. Sebagai contoh, kasus unggas masuk pekarangan, ketika terdapat penyelesaian antara pemilik unggas dan korban, perkara dapat diselesaikan tanpa mekanisme hukum. Apalagi dalam pasal tersebut ancaman pidana utama hanya denda.
Terkait aborsi, harus dilihat juga konsep melawan hukum pada Buku Kesatu. Jika dilakukan karena perkosaan atau alasan medis, jelas menghapus sifat melawan hukumnya. Dalam membaca kasus-kasus perzinaan yang merupakan delik aduan dan pasal-pasal lain harus pula merujuk pada Buku Kesatu KUHP.
Pasal yang dianggap cukup kontroversial juga yakni mengenai penghinaan presiden yang sempat ada dalam KUHP sebelumnya. Pasal ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 013- 022/PUU-IV/2006 karena dianggap melanggar asas kebebasan berpendapat. Pengaturannya kembali dalam RKUHP harusnya diapresiasi karena pasal penghinaan presiden menghargai kebebasan berpendapat dan diatur berbeda dengan KUHP saat ini. Dalam RKUHP, pengaturannya dibuat lebih tegas dan menjadi delik aduan. Dalam pengaturannya, jika yang dilakukan adalah kritik untuk kepentingan umum maka tidak dapat dijerat dengan pasal penghinaan presiden dalam RKUHP.
Karena itu, dengan konsep RKUHP yang bersifat restoratif dan juga delik-delik dalam Buku Kedua RKUHP yang harus dicermati secara komprehensif, RKUHP ini harus didukung penuh. Pengesahan RKUHP akan memperkuat perlindungan kepada masyarakat dari berbagai jenis tindak pidana. Tanpa perlu tindakan anarki, kritik terhadap RKUHP bisa didiskusikan dengan lebih elegan. Sebagaimana petuah Gandhi, “In a gentle way, you can shake the world.”
(cip)