Habitat Bebas Sampah

Jum'at, 11 Oktober 2019 - 08:42 WIB
Habitat Bebas Sampah
Habitat Bebas Sampah
A A A
NIRWONO JOGA
Peneliti Pusat Studi Perkotaan

SAMPAH adalah masalah kita bersama. Pemerintah dan masyarakat, termasuk di Jakarta, harus melakukan aksi bersama dalam upaya mengurangi sampah dan dampak negatif terhadap lingkungan.

Persoalan sampah menjadi tema peringatan Hari Habitat Dunia (HHD) pada 7 Oktober 2019 lalu. Peringatan HHD jatuh setiap Senin pekan pertama Oktober. Tema HHD kali ini yakni "Frontier technologies an an innovative tool to transform waste to wealth ". Pesannya jelas, sampah yang menyejahterakan.

Jumlah timbulan sampah di Indonesia tiap tahun mencapai 65,8 juta ton, terdiri atas sampah organik 43% dan sampah anorganik 57%, berupa plastik 15%, kertas 11%, kain/tekstil 3%, logam 2%, karet/kulit 2%, lain-lain 24%. Dari total timbulan sampah plastik, yang berhasil didaur ulang mencapai 10-15%, ditimbun di tempat pembuangan akhir (TPA) 60-70%, belum terkelola atau terbuang ke sungai/laut 15-30%

Metode kumpul-angkut-buang sampah yang berlaku selama ini harus ditinggalkan karena boros waktu dan biaya, serta tidak menyelesaikan masalah inti persampahan. TPA cepat penuh. Penimbunan sampah terbuka terbukti mengganggu kesehatan masyarakat dan mencemari lingkungan. Lalu apa yang harus dilakukan?

Pertama, menyelesaikan masalah sampah sejak dari sumbernya. Ini kunci dalam penanganan, pengelolaan, dan pengolahan sampah. Sesuai Undang-Undang Nomor 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 3/2013 tentang Pengelolaan Sampah, pemerintah daerah harus menyusun rencana induk pengelolaan sampah yang berisikan penetapan target pengurangan sampah, strategi peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan kebersihan, serta penyediaan sarana dan prasarana.

Data sampah yang akurat sangat dibutuhkan untuk menyusun kebijakan peta jalan, rencana induk, rencana aksi pengurangan, dan pengolahan sampah dalam jangka waktu yang jelas (5, 10, 20, 50, 100 tahun). Pemantauan dan pendataan rutin merupakan kuncinya.

Kedua, melibatkan peran serta masyarakat berbasis komunitas, kerja sama antardaerah (dan lembaga kemitraan), pengembangan dan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan, serta pengembangan infrastruktur pengolahan sampah multisimpul (desentralisasi).

Pemilahan sampah dari sumber/hulu akan mempermudah proses daur ulang sampah. Pemilahan menjadi penentu agar sampah bernilai tinggi bisa dimanfaatkan bank sampah dan industri daur ulang (ekonomi sirkuler). Proses pengelolaan dan pengolahan sampah dilakukan secara berjenjang dari tingkat rumah tangga, RT/RW, kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten, berbasis komunitas lokal (permukiman) atau lokasi (kawasan industri, perkantoran, pusat perbelanjaan, pasar).

Ketiga, memilih dan memilah sampah. Produksi sampah DKI Jakarta pada 2017-2018 mencapai 7.500 ton per hari, terdiri atas sampah rumah tangga 59,17%, perkantoran 10,76%, pusat perniagaan 8,57%, fasilitas publik 6,91%, pasar tradisional 6,83%, sampah kawasan 5,01%, sampah lain 2,75% (Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, 2019).

Jika sampah rumah tangga sebesar 59,17% dapat diselesaikan tuntas sejak dari rumah tangga, semestinya hampir 60% masalah sampah Kota Jakarta sudah terselesaikan. Oleh karena itu, warga perlu diedukasi memilih dan memilah, mengurangi sampah, memperbaiki barang rusak, menggunakan kembali barang yang masih bisa digunakan, serta mendaur ulang sampah.

Sementara terhadap sampah yang dihasilkan perkantoran, pusat perniagaan, fasilitas publik, pasar tradisional, sampah kawasan perlu mewajibkan kepada para pengelola untuk menangani dan mengolahnya di TPS lingkungan masing-masing dengan target zero waste. Jika semua hal itu dilakukan, residu sampah yang diangkut ke TPA akan berkurang signifikan.

Keempat, mengolah sampah. Komposisi sampah DKI Jakarta tahun 2017-2018 terdiri atas sampah organik 53,75%, kertas 14,92%, plastik 14,02%, gelas/kaca 2,45%, logam 1,82%, kain 1,11, kayu 0,87%, baterai 0,56%, karet dan kulit tiruan 0,52%, lain-lain 9,98% (Dinas Lingkungan Hidup, 2019).

Jika seluruh sampah organik sebesar 53,75% diolah menjadi kompos, mulai tingkat RT/RW, kelurahan, kecamatan, hingga kota/kabupaten, maka sampah organik sudah habis menjadi pupuk kompos taman dan kebun sayuran di lingkungan pemukiman.

Sementara sampah anorganik seperti kertas, plastik, gelas/kaca, logam, dan kain dipilah dan dikumpulkan di tempat penampungan dan pengolahan sementara (TPS), yang dilengkapi bank sampah. Program bank sampah dapat berupa pemberian layanan kesehatan gratis, tabungan pendidikan, barter sampah dengan sembako, atau tabungan umrah/haji. Saat ini jumlah bank sampah di Jakarta Pusat 145 unit, Jakarta Utara (58), Jakarta Barat (83), Jakarta Selatan (35), dan Jakarta Timur (98).

Kelima, mengurangi residu sampah yang harus dibuang ke TPS/TPA, sehingga biaya angkut sampah akan berkurang tajam, termasuk biaya pengadaan dan perawatan truk pengangkut, uang lewat, dan uang bau. Biaya pengelolaan sampah pun menjadi lebih hemat.

Sebaliknya, dana kompensasi kesehatan dan beasiswa pendidikan masyarakat terdampak sekitar TPS/TPA dan pemulihan lingkungan dapat lebih dimaksimalkan, sehingga kelak secara bertahap lokasi TPS/TPA dapat disulap sebagai ruang terbuka hijau berupa taman kota, hutan kota, kebun raya, atau stadion olahraga seperti di Amsterdam, Fukuoka, Seoul.

Mewujudkan habitat bebas sampah merupakan keharusan, bukan pilihan.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0799 seconds (0.1#10.140)