Stabilitas Politik dan Demokrasi Digital
A
A
A
M Alfan Alfian Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
dan Pengurus Pusat HIPIIS
PADA 8 Oktober 2019, berbagai media massa arus utama memberitakan pascakerusuhan yang memicu banyaknya pengungsi, kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah dan perkantoran di Wamena, Papua, mulai pulih. Aktivitas ekonomi juga semakin membaik. Negara hadir melalui jaminan keamanan dan ketertiban.
Pemberitaan-pemberitaan demikian cukup memberikan optimisme ketimbang silang sengkarutnya di media sosial yang sering kali tak terkontrol dan fatal. Tak terkontrol yang dimaksud ialah karena begitu banyaknya orang mengunggah sesuatu dan mengomentarinya sehingga yang sering timbul ialah pesta pora hoaks merunyamkan keadaan. Hoaks kini telah menjadi pemicu kerusuhan paling efektif.
Dari perspektif pembangunan politik (political development), fenomena pemulihan keadaan di Wamena tersebut mencerminkan tercegahnya suatu kondisi kemerosotan (political decay). Samuel P Huntington dalam bukunya yang telah menjadi klasik Political Order in Changing Societies (1968) memberi pesan pentingnya stabilitas politik di negara-negara berkembang. Sekian tahun kemudian, Francis Fukuyama mengingatkan kembali gagasan Huntington itu dalam Political Order and Political Decay (2014) sebagai hal yang masih demikian relevan untuk abad kita. Tatanan politik yang stabil demokratis itulah seharusnya diikhtiarkan.
Hal menarik untuk kita garis bawahi ialah buku Huntington dipakai ketika partisipasi masyarakat dalam demokrasi belum melibatkan peranti telepon pintar (smartphone) yang dimiliki oleh hampir semua orang saat ini. Pola partisipasi politik, kini sudah jauh bergeser dari pola mobilisasi yang bisa berlangsung secara supercepat. Kajian-kajian mengenai sosial media sebagai media penggalang solidaritas digital lantas menggerakkan suatu "revolusi" yang menggerakkan massa "emosional" telah banyak dilakukan. Fenomena musim semi Arab dalam satu dekade belakangan, barang kali paling banyak mengaitkannya dengan konteks revolusi digital. Apa yang terjadi di Hong Kong belakangan ini ketika demonstrasi besar-besaran terjadi dan belum sepenuhnya mereda, juga sangat terkait dengan media sosial.
Bagaimana semua itu dikaitkan dengan konteks Huntington dan Fukuyama yang cenderung memperkuat pendekatan kelembagaan? Sistem berjalan mana kala lembaga-lembaga fungsional dan berperan dalam mekanisme interaksional yang demokratis. Stabilitas barang kali bisa juga ditegakkan dalam sistem politik otoriter, tetapi tentu yang sedemikian itu menyimpang dari jalan demokrasi dan tidak bisa awet. Fukuyama, antara lain mempersyaratkan pentingnya peran negara, penegakan hukum (rule of law), dan akuntabilitas demokrasi dalam penguatan tatanan politik. Negara punya tanggung jawab utama dalam mewujudkan tatanan politik, tetapi itu semua dilakukan dalam koridor penegakan hukum dan pertanggung jawaban demokrasi. Karenanya, negara tak boleh sewenang-wenang pula, kecuali memakai pendekatan yang memang seharusnya.
Negara bukan entitas jangka pendek pemulih keadaan setelah terjadi kerusuhan di daerah. Negara merupakan entitas yang langgeng, karena itu perannya diharapkan juga harus optimal dalam memastikan tatanan politik berlangsung secara demokratis. Pemahaman tentang "secara demokratis" paling luas ialah mengelaborasi dan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi substansial. Sedangkan paling minimal ialah sekadar memastikan demokrasi prosedural berjalan.
Demokrasi substansial meniscayakan banyak nilai universal, seperti kebebasan, keadilan, kesejahteraan, penghargaan yang tinggi terhadap hak asasi manusia, antikekerasan, menghindari tirani, dan lainnya. Itu semua lebih penting aktualisasinya ketimbang apa yang dulu demikian populer disebut sebagai pendekatan keamanan (security approach). Pendekatan keamanan sering kali sekadar jalan pintas untuk menciptakan suatu stabilitas semu, justru karena adanya kebebasan yang terkekang atau sekadar menutupi realitas sosial kemasyarakatan yang timpang atau paceklik keadilan sosial.
Dalam konteks kejadian di Papua belakangan ini, isu paceklik keadilan sosial itu harus digarisbawahi betul oleh negara. Dengan begitu, pasca-kerusuhan Wamena dan di berbagai tempat di Papua, pemulihannya dilakukan secara cermat dalam koridor penegakan hukum dan pertanggungjawaban demokrasi. Masalah-masalah mendasar seperti di atas, justru yang harus direspons betul, bukan semata-mata isu-isu permukaannya yang cukup pelik. Inilah tantangan abadi negara dalam mewujudkan tatanan politik yang stabil demokratis.
Dalam mengatasi kerusuhan belakangan ini, negara punya dalih mematikan internet untuk wilayah dan waktu tertentu. Tujuannya mencegah agar tidak berkembang isu-isu liar bersifat provokatif sehingga situasi menjadi semakin runyam. Tetapi, pembatasan itu hanya bersifat sementara. Kalau tidak, negara akan dinilai telah membatasi kebebasan warganya, hal ini dalam negara demokrasi bertentangan dengan konstitusinya.
Namun, masalahnya juga terletak pada perkembangan teknologi itu sendiri. Negara, bagaimanapun tak sepenuhnya bisa membatasi kebebasan informasi. Dalam bukunya You Tomorrow: The Future of Humanity, Gender, Everyday Life, Careers, Belongings and Surroundings (2013), futurolog Ian Pearson mencatat bahwa ketika penggunaan media sosial semakin luas di ranah politik yang antara lain tergambar dengan hadirnya gerakan kebangkitan di Timur Tengah, hal tersebut belum seberapa dibandingkan dengan apa yang bisa terjadi di masa mendatang, ketika "bangsa-bangsa ranah maya" mulai bangkit.
Menurutnya, pemerintah akan berupaya membatasi "kebangkitan" itu dengan menutup tautan internet. Tetapi, kelak kita akan memiliki peranti kecil yang bisa berkomunikasi langsung satu sama lain dengan tersedianya jaringan hop by hop yang merentang benua dan memintas internet. Tentu jaringan semacam ini akan sangat sulit dibendung dan orang bisa sangat leluasa mengorganisasi pergerakan.
Merujuk pencandraan masa depan Pearson tersebut, maka negara semakin dituntut substansial ketimbang prosedural. Pendekatan yang baik dan bermartabat lebih dituntut ketimbang sebaliknya. Negara, siapa pun rezim pemerintahan yang mengendalikan pascapemilu demokratis, semakin dituntut untuk menggunakan pendekatan-pendekatan berbeda ketimbang di masa lampau. Negara akan turut serta dalam mekanisme demokrasi digital yang tidak lebih mudah dibanding demokrasi konvensional.
Imajinasi ke arah demokrasi digital itulah yang kita perlukan sekarang agar negara tidak menjadi bulan-bulanan apa yang disitir Pearson sebagai "bangsa-bangsa ranah maya". Di sisi lain, juga negara tidak terpeleset pada pendekatan-pendekatan tanpa perhitungan dan koridor pertanggungjawaban demokrasi. Teknologi terus berkembang, dampaknya terhadap demokrasi pun tak terelakkan. Tak hanya negara, tetapi seluruh pemangku kepentingan, terutama aktor-aktor nonnegara juga harus menyesuaikan dengan situasi baru ketika partisipasi politik bergerak-gerak seperti amuba.
dan Pengurus Pusat HIPIIS
PADA 8 Oktober 2019, berbagai media massa arus utama memberitakan pascakerusuhan yang memicu banyaknya pengungsi, kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah dan perkantoran di Wamena, Papua, mulai pulih. Aktivitas ekonomi juga semakin membaik. Negara hadir melalui jaminan keamanan dan ketertiban.
Pemberitaan-pemberitaan demikian cukup memberikan optimisme ketimbang silang sengkarutnya di media sosial yang sering kali tak terkontrol dan fatal. Tak terkontrol yang dimaksud ialah karena begitu banyaknya orang mengunggah sesuatu dan mengomentarinya sehingga yang sering timbul ialah pesta pora hoaks merunyamkan keadaan. Hoaks kini telah menjadi pemicu kerusuhan paling efektif.
Dari perspektif pembangunan politik (political development), fenomena pemulihan keadaan di Wamena tersebut mencerminkan tercegahnya suatu kondisi kemerosotan (political decay). Samuel P Huntington dalam bukunya yang telah menjadi klasik Political Order in Changing Societies (1968) memberi pesan pentingnya stabilitas politik di negara-negara berkembang. Sekian tahun kemudian, Francis Fukuyama mengingatkan kembali gagasan Huntington itu dalam Political Order and Political Decay (2014) sebagai hal yang masih demikian relevan untuk abad kita. Tatanan politik yang stabil demokratis itulah seharusnya diikhtiarkan.
Hal menarik untuk kita garis bawahi ialah buku Huntington dipakai ketika partisipasi masyarakat dalam demokrasi belum melibatkan peranti telepon pintar (smartphone) yang dimiliki oleh hampir semua orang saat ini. Pola partisipasi politik, kini sudah jauh bergeser dari pola mobilisasi yang bisa berlangsung secara supercepat. Kajian-kajian mengenai sosial media sebagai media penggalang solidaritas digital lantas menggerakkan suatu "revolusi" yang menggerakkan massa "emosional" telah banyak dilakukan. Fenomena musim semi Arab dalam satu dekade belakangan, barang kali paling banyak mengaitkannya dengan konteks revolusi digital. Apa yang terjadi di Hong Kong belakangan ini ketika demonstrasi besar-besaran terjadi dan belum sepenuhnya mereda, juga sangat terkait dengan media sosial.
Bagaimana semua itu dikaitkan dengan konteks Huntington dan Fukuyama yang cenderung memperkuat pendekatan kelembagaan? Sistem berjalan mana kala lembaga-lembaga fungsional dan berperan dalam mekanisme interaksional yang demokratis. Stabilitas barang kali bisa juga ditegakkan dalam sistem politik otoriter, tetapi tentu yang sedemikian itu menyimpang dari jalan demokrasi dan tidak bisa awet. Fukuyama, antara lain mempersyaratkan pentingnya peran negara, penegakan hukum (rule of law), dan akuntabilitas demokrasi dalam penguatan tatanan politik. Negara punya tanggung jawab utama dalam mewujudkan tatanan politik, tetapi itu semua dilakukan dalam koridor penegakan hukum dan pertanggung jawaban demokrasi. Karenanya, negara tak boleh sewenang-wenang pula, kecuali memakai pendekatan yang memang seharusnya.
Negara bukan entitas jangka pendek pemulih keadaan setelah terjadi kerusuhan di daerah. Negara merupakan entitas yang langgeng, karena itu perannya diharapkan juga harus optimal dalam memastikan tatanan politik berlangsung secara demokratis. Pemahaman tentang "secara demokratis" paling luas ialah mengelaborasi dan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi substansial. Sedangkan paling minimal ialah sekadar memastikan demokrasi prosedural berjalan.
Demokrasi substansial meniscayakan banyak nilai universal, seperti kebebasan, keadilan, kesejahteraan, penghargaan yang tinggi terhadap hak asasi manusia, antikekerasan, menghindari tirani, dan lainnya. Itu semua lebih penting aktualisasinya ketimbang apa yang dulu demikian populer disebut sebagai pendekatan keamanan (security approach). Pendekatan keamanan sering kali sekadar jalan pintas untuk menciptakan suatu stabilitas semu, justru karena adanya kebebasan yang terkekang atau sekadar menutupi realitas sosial kemasyarakatan yang timpang atau paceklik keadilan sosial.
Dalam konteks kejadian di Papua belakangan ini, isu paceklik keadilan sosial itu harus digarisbawahi betul oleh negara. Dengan begitu, pasca-kerusuhan Wamena dan di berbagai tempat di Papua, pemulihannya dilakukan secara cermat dalam koridor penegakan hukum dan pertanggungjawaban demokrasi. Masalah-masalah mendasar seperti di atas, justru yang harus direspons betul, bukan semata-mata isu-isu permukaannya yang cukup pelik. Inilah tantangan abadi negara dalam mewujudkan tatanan politik yang stabil demokratis.
Dalam mengatasi kerusuhan belakangan ini, negara punya dalih mematikan internet untuk wilayah dan waktu tertentu. Tujuannya mencegah agar tidak berkembang isu-isu liar bersifat provokatif sehingga situasi menjadi semakin runyam. Tetapi, pembatasan itu hanya bersifat sementara. Kalau tidak, negara akan dinilai telah membatasi kebebasan warganya, hal ini dalam negara demokrasi bertentangan dengan konstitusinya.
Namun, masalahnya juga terletak pada perkembangan teknologi itu sendiri. Negara, bagaimanapun tak sepenuhnya bisa membatasi kebebasan informasi. Dalam bukunya You Tomorrow: The Future of Humanity, Gender, Everyday Life, Careers, Belongings and Surroundings (2013), futurolog Ian Pearson mencatat bahwa ketika penggunaan media sosial semakin luas di ranah politik yang antara lain tergambar dengan hadirnya gerakan kebangkitan di Timur Tengah, hal tersebut belum seberapa dibandingkan dengan apa yang bisa terjadi di masa mendatang, ketika "bangsa-bangsa ranah maya" mulai bangkit.
Menurutnya, pemerintah akan berupaya membatasi "kebangkitan" itu dengan menutup tautan internet. Tetapi, kelak kita akan memiliki peranti kecil yang bisa berkomunikasi langsung satu sama lain dengan tersedianya jaringan hop by hop yang merentang benua dan memintas internet. Tentu jaringan semacam ini akan sangat sulit dibendung dan orang bisa sangat leluasa mengorganisasi pergerakan.
Merujuk pencandraan masa depan Pearson tersebut, maka negara semakin dituntut substansial ketimbang prosedural. Pendekatan yang baik dan bermartabat lebih dituntut ketimbang sebaliknya. Negara, siapa pun rezim pemerintahan yang mengendalikan pascapemilu demokratis, semakin dituntut untuk menggunakan pendekatan-pendekatan berbeda ketimbang di masa lampau. Negara akan turut serta dalam mekanisme demokrasi digital yang tidak lebih mudah dibanding demokrasi konvensional.
Imajinasi ke arah demokrasi digital itulah yang kita perlukan sekarang agar negara tidak menjadi bulan-bulanan apa yang disitir Pearson sebagai "bangsa-bangsa ranah maya". Di sisi lain, juga negara tidak terpeleset pada pendekatan-pendekatan tanpa perhitungan dan koridor pertanggungjawaban demokrasi. Teknologi terus berkembang, dampaknya terhadap demokrasi pun tak terelakkan. Tak hanya negara, tetapi seluruh pemangku kepentingan, terutama aktor-aktor nonnegara juga harus menyesuaikan dengan situasi baru ketika partisipasi politik bergerak-gerak seperti amuba.
(kri)