Pemerintah Baru dan Urgensi Memetakan Masalah
A
A
A
Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
MENJELANG hadirnya pemerintahan baru yang akan kembali dipimpin Presiden terpilih Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, beberapa persoalan strategis di bidang sosial-politik kembali mengemuka. Sejumlah aspirasi yang dimunculkan melalui rangkaian unjuk rasa dan peristiwa rusuh di Papua itu layak dimaknai sebagai masukkan bagi pemerintah baru, termasuk masukkan bagi DPR, MPR, dan DPD RI masa bakti lima tahun ke depan. Ada urgensi untuk bersama-sama memetakan masalah dan mencari solusi.
Sepanjang Agustus hingga pengujung September 2019, ragam persoalan sosial-politik mengemuka di ruang publik dan semua persoalan itu harus ditanggapi, baik oleh pemerintah maupun DPR dan juga institusi penegak hukum. Ketika pemerintah dan penegak hukum coba meredakan kerusuhan di sejumlah kota di Papua, di Riau terjadi eskalasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Karena ekses karhutla itu sudah sangat serius, pemerintah dan penegak hukum pun harus all out mengatasi persoalan ini. Belum tuntas penanganan karhutla di Riau, Jakarta dan beberapa kota lainnya di Jawa dilanda unjuk rasa sejumlah elemen masyarakat yang menyoal muatan RUU KUHP dan RUU KPK.
Rentetan persoalan itu mengemuka ketika Presiden Joko Widodo sedang menggodok formasi anggota kabinet baru untuk masa bakti 2019–2024 dan juga ketika DPR RI sedang memproses penggantian ketua DPR dan para wakil ketua DPR. Dengan begitu, sejumlah aspirasi yang disuarakan publik dari rangkaian peristiwa itu bisa diterima sebagai masukkan bagi pemerintah baru dan masukan bagi DPR, MPR, serta DPD RI masa bakti lima tahun ke depan. Harus ada inisiatif bersama antara pemerintah dan parlemen untuk memetakan persoalan-persoalan itu dengan lebih rinci, untuk kemudian mencari solusi terbaik.
Karena nyaris menjadi rutinitas setiap tahunnya, penanganan kasus karhutla mestinya tidak lagi fokus menyoal penyebab dan para terduga pelaku. Tindak lanjutnya harus digeser ke masalah pencegahan. Diyakini bahwa strategi serta upaya pencegahan sudah ada dan sudah dipraktikkan. Namun, jika karhutla selalu terjadi setiap tahunnya, tentu harus dipersoalkan adalah efektivitas strategi pencegahan itu. Untuk meningkatkan efektivitas strategi pencegahan karhutla, ketua DPR sempat menyarankan agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membentuk gugus tugas pada tingkat daerah yang tugas pokok serta fungsi (tupoksi)-nya mengupayakan langkah dan tindakan preventif mencegah karhutla untuk alasan apapun. Mudah-mudahan, pada tahun-tahun mendatang, karhutla bisa dicegah.
Perhatian lebih sungguh-sungguh patut diberikan pada persoalan Papua dan juga sikap sejumlah elemen masyarakat yang mempersoalkan esensi RUU KUHP dan RUU KPK. Sebagaimana dicatat bersama, kedua isu ini memicu gelombang unjuk rasa dan kerusuhan di sejumlah tempat. Berbeda dengan aparat keamanan dan para intelijen yang mungkin sudah bisa memprediksi, gelombang unjuk rasa dan kerusuhan akibat dua masalah ini cukup mengejutkan bagi masyarakat kebanyakan. Terutama pada skala peristiwa karena unjuk rasa terjadi di sejumlah kota dan sangat anarkis. Ada kecenderungan unjuk rasa itu tidak lagi murni unjuk rasa. Konon ada pihak yang bermain dan mengail di air keruh.
Rangkaian peristiwa di Papua sepanjang Agustus–September 2019 memberi penjelasan kepada semua pihak bahwa persoalan Papua kini menjadi isu sangat sensitif. Peristiwa penangkapan sejumlah mahasiswa asal Papua oleh pihak berwenang di beberapa tempat di Jawa Timur pada 17 Agustus 2019, menjadi sumbu pemicu yang membuat tanah Papua bergolak. Merespons peristiwa penangkapan itu, bahkan orang muda Papua di sejumlah kota pun menggelar unjuk rasa. Sejumlah kelompok orang yang bergerak dari luar untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua memanfaatkan situasi itu memprovokasi masyarakat setempat. Memang, soal kemerdekaan Papua sempat disuarakan peserta unjuk rasa. Banyak kalangan prihatin karena hal itu menunjukkan ada orang muda Papua masih menolak menjadi bagian dari warga bangsa Indonesia.
Komunikatif
Fakta peristiwa di Papua itu mendorong semua pihak untuk melihat ke belakang. Ada sejumlah persoalan masa lalu yang belum diselesaikan sebagaimana mestinya, terutama masalah pelanggaran HAM. Selain itu, kebanyakan warga Papua juga merasa tidak nyaman dengan pendekatan keamanan yang diterapkan negara di tanah Papua. Khusus masalah Papua inilah masukkan yang hendaknya digarisbawahi oleh pemerintah baru bersama DPR, MPR, dan DPD RI. Masyarakat Papua memang bersyukur karena pemerintahan Presiden Joko Widodo telah berupaya melengkapi tanah Papua dengan ragam infrastruktur selama lima tahun terakhir. Namun, pendekatan pembangunan seperti itu ternyata belum mampu menyembuhkan luka lama yang dialami sebagian warga Papua.
Untuk lebih mempererat ikatan persaudaraan satu bangsa-satu Tanah Air Indonesia, pemerintah bersama DPR, MPR, dan DPD perlu mencari pendekatan atau rumusan baru penyelesaian masalah Papua. Salah satu solusi jangka pendek adalah segera mewujudkan dialog. Dialog dari hati ke hati itu sebaiknya menghadirkan tujuh wilayah budaya meliputi Mamta/Tabi, Seireri, Bomberai, Doberai, Meepago, Haanim, dan Lapago. Masyarakat Papua saat ini butuh kehadiran negara dan pemerintah untuk menyentuh hati mereka sebagai sesama anak bangsa. Jangan lupa bahwa hati sebagian warga Papua masih terluka karena merasa martabatnya direndahkan.
Selain isu Papua, pesan atau masukkan lain yang bisa dibaca dari rangkaian unjuk rasa menyoal RUU KUHP dan RUU KPK adalah tinggi rendahnya framing kepercayaan sebagian masyarakat pada pemerintah dan DPR. Apakah sungguh-sungguh tidak percaya atau ketidakpercayaan yang sengaja dibuat-buat untuk memperjuangkan kepentingan kelompok, ini bisa diperdebatkan. Akan tetapi, sudah menjadi fakta yang lama bahwa setiap upaya pemerintah dan DPR menguatkan KPK selalu direspons dengan persepsi sebaliknya, bahwa pemerintah dan DPR ingin melemahkan KPK. Mengapa kecenderungan seperti ini bisa terjadi secara berulang-ulang?
Setidaknya, dalam kasus inisiatif memperkuat KPK yang selalu menghadapi halangan itu, bisa dilihat bahwa ada urgensinya untuk memetakan masalah. Tentu saja berangkat dari pertanyaan: mengapa sebagian publik tidak pernah mau percaya dengan niat baik pemerintah-DPR memperkuat KPK? Apakah karena minimnya sosialisasi atau komunikasi dengan publik? Atau ada kekuatan lain yang menggalang opini agar sebagian masyarakat jangan percaya pada pemerintah dan DPR? Tidak berlebihan untuk mengungkapkan bahwa dalam beberapa inisiatif terdahulu untuk memperkuat KPK, pemerintah dan DPR selalu dikalahkan oleh opini yang dikembangkan beberapa kelompok sehingga upaya menguatkan dan memperbaiki KPK tak pernah terwujud sampai saat ini.
Seperti halnya saran menyelenggarakan dialog dengan semua elemen warga Papua, pemerintah dan DPR pun hendaknya segera berinisiatif untuk berkomunikasi dan menyosialisasikan urgensi penguatan KPK dengan berbagai elemen masyarakat, termasuk kampus-kampus perguruan tinggi. Sebab, lazimnya, dari komunikasi dua arah itu, akan terbangun semangat saling percaya.
Ketua MPR RI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
MENJELANG hadirnya pemerintahan baru yang akan kembali dipimpin Presiden terpilih Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, beberapa persoalan strategis di bidang sosial-politik kembali mengemuka. Sejumlah aspirasi yang dimunculkan melalui rangkaian unjuk rasa dan peristiwa rusuh di Papua itu layak dimaknai sebagai masukkan bagi pemerintah baru, termasuk masukkan bagi DPR, MPR, dan DPD RI masa bakti lima tahun ke depan. Ada urgensi untuk bersama-sama memetakan masalah dan mencari solusi.
Sepanjang Agustus hingga pengujung September 2019, ragam persoalan sosial-politik mengemuka di ruang publik dan semua persoalan itu harus ditanggapi, baik oleh pemerintah maupun DPR dan juga institusi penegak hukum. Ketika pemerintah dan penegak hukum coba meredakan kerusuhan di sejumlah kota di Papua, di Riau terjadi eskalasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Karena ekses karhutla itu sudah sangat serius, pemerintah dan penegak hukum pun harus all out mengatasi persoalan ini. Belum tuntas penanganan karhutla di Riau, Jakarta dan beberapa kota lainnya di Jawa dilanda unjuk rasa sejumlah elemen masyarakat yang menyoal muatan RUU KUHP dan RUU KPK.
Rentetan persoalan itu mengemuka ketika Presiden Joko Widodo sedang menggodok formasi anggota kabinet baru untuk masa bakti 2019–2024 dan juga ketika DPR RI sedang memproses penggantian ketua DPR dan para wakil ketua DPR. Dengan begitu, sejumlah aspirasi yang disuarakan publik dari rangkaian peristiwa itu bisa diterima sebagai masukkan bagi pemerintah baru dan masukan bagi DPR, MPR, serta DPD RI masa bakti lima tahun ke depan. Harus ada inisiatif bersama antara pemerintah dan parlemen untuk memetakan persoalan-persoalan itu dengan lebih rinci, untuk kemudian mencari solusi terbaik.
Karena nyaris menjadi rutinitas setiap tahunnya, penanganan kasus karhutla mestinya tidak lagi fokus menyoal penyebab dan para terduga pelaku. Tindak lanjutnya harus digeser ke masalah pencegahan. Diyakini bahwa strategi serta upaya pencegahan sudah ada dan sudah dipraktikkan. Namun, jika karhutla selalu terjadi setiap tahunnya, tentu harus dipersoalkan adalah efektivitas strategi pencegahan itu. Untuk meningkatkan efektivitas strategi pencegahan karhutla, ketua DPR sempat menyarankan agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membentuk gugus tugas pada tingkat daerah yang tugas pokok serta fungsi (tupoksi)-nya mengupayakan langkah dan tindakan preventif mencegah karhutla untuk alasan apapun. Mudah-mudahan, pada tahun-tahun mendatang, karhutla bisa dicegah.
Perhatian lebih sungguh-sungguh patut diberikan pada persoalan Papua dan juga sikap sejumlah elemen masyarakat yang mempersoalkan esensi RUU KUHP dan RUU KPK. Sebagaimana dicatat bersama, kedua isu ini memicu gelombang unjuk rasa dan kerusuhan di sejumlah tempat. Berbeda dengan aparat keamanan dan para intelijen yang mungkin sudah bisa memprediksi, gelombang unjuk rasa dan kerusuhan akibat dua masalah ini cukup mengejutkan bagi masyarakat kebanyakan. Terutama pada skala peristiwa karena unjuk rasa terjadi di sejumlah kota dan sangat anarkis. Ada kecenderungan unjuk rasa itu tidak lagi murni unjuk rasa. Konon ada pihak yang bermain dan mengail di air keruh.
Rangkaian peristiwa di Papua sepanjang Agustus–September 2019 memberi penjelasan kepada semua pihak bahwa persoalan Papua kini menjadi isu sangat sensitif. Peristiwa penangkapan sejumlah mahasiswa asal Papua oleh pihak berwenang di beberapa tempat di Jawa Timur pada 17 Agustus 2019, menjadi sumbu pemicu yang membuat tanah Papua bergolak. Merespons peristiwa penangkapan itu, bahkan orang muda Papua di sejumlah kota pun menggelar unjuk rasa. Sejumlah kelompok orang yang bergerak dari luar untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua memanfaatkan situasi itu memprovokasi masyarakat setempat. Memang, soal kemerdekaan Papua sempat disuarakan peserta unjuk rasa. Banyak kalangan prihatin karena hal itu menunjukkan ada orang muda Papua masih menolak menjadi bagian dari warga bangsa Indonesia.
Komunikatif
Fakta peristiwa di Papua itu mendorong semua pihak untuk melihat ke belakang. Ada sejumlah persoalan masa lalu yang belum diselesaikan sebagaimana mestinya, terutama masalah pelanggaran HAM. Selain itu, kebanyakan warga Papua juga merasa tidak nyaman dengan pendekatan keamanan yang diterapkan negara di tanah Papua. Khusus masalah Papua inilah masukkan yang hendaknya digarisbawahi oleh pemerintah baru bersama DPR, MPR, dan DPD RI. Masyarakat Papua memang bersyukur karena pemerintahan Presiden Joko Widodo telah berupaya melengkapi tanah Papua dengan ragam infrastruktur selama lima tahun terakhir. Namun, pendekatan pembangunan seperti itu ternyata belum mampu menyembuhkan luka lama yang dialami sebagian warga Papua.
Untuk lebih mempererat ikatan persaudaraan satu bangsa-satu Tanah Air Indonesia, pemerintah bersama DPR, MPR, dan DPD perlu mencari pendekatan atau rumusan baru penyelesaian masalah Papua. Salah satu solusi jangka pendek adalah segera mewujudkan dialog. Dialog dari hati ke hati itu sebaiknya menghadirkan tujuh wilayah budaya meliputi Mamta/Tabi, Seireri, Bomberai, Doberai, Meepago, Haanim, dan Lapago. Masyarakat Papua saat ini butuh kehadiran negara dan pemerintah untuk menyentuh hati mereka sebagai sesama anak bangsa. Jangan lupa bahwa hati sebagian warga Papua masih terluka karena merasa martabatnya direndahkan.
Selain isu Papua, pesan atau masukkan lain yang bisa dibaca dari rangkaian unjuk rasa menyoal RUU KUHP dan RUU KPK adalah tinggi rendahnya framing kepercayaan sebagian masyarakat pada pemerintah dan DPR. Apakah sungguh-sungguh tidak percaya atau ketidakpercayaan yang sengaja dibuat-buat untuk memperjuangkan kepentingan kelompok, ini bisa diperdebatkan. Akan tetapi, sudah menjadi fakta yang lama bahwa setiap upaya pemerintah dan DPR menguatkan KPK selalu direspons dengan persepsi sebaliknya, bahwa pemerintah dan DPR ingin melemahkan KPK. Mengapa kecenderungan seperti ini bisa terjadi secara berulang-ulang?
Setidaknya, dalam kasus inisiatif memperkuat KPK yang selalu menghadapi halangan itu, bisa dilihat bahwa ada urgensinya untuk memetakan masalah. Tentu saja berangkat dari pertanyaan: mengapa sebagian publik tidak pernah mau percaya dengan niat baik pemerintah-DPR memperkuat KPK? Apakah karena minimnya sosialisasi atau komunikasi dengan publik? Atau ada kekuatan lain yang menggalang opini agar sebagian masyarakat jangan percaya pada pemerintah dan DPR? Tidak berlebihan untuk mengungkapkan bahwa dalam beberapa inisiatif terdahulu untuk memperkuat KPK, pemerintah dan DPR selalu dikalahkan oleh opini yang dikembangkan beberapa kelompok sehingga upaya menguatkan dan memperbaiki KPK tak pernah terwujud sampai saat ini.
Seperti halnya saran menyelenggarakan dialog dengan semua elemen warga Papua, pemerintah dan DPR pun hendaknya segera berinisiatif untuk berkomunikasi dan menyosialisasikan urgensi penguatan KPK dengan berbagai elemen masyarakat, termasuk kampus-kampus perguruan tinggi. Sebab, lazimnya, dari komunikasi dua arah itu, akan terbangun semangat saling percaya.
(wib)