Pukat UGM: Presiden Diberi Waktu Sepekan untuk Terbitkan Perppu KPK
A
A
A
YOGYAKARTA - Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) mendesak Presiden Joko Widodo segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pukat FH UGM memberikan waktu sepekan kepada presiden untuk penerbitan Perppu KPK hasil revisi.
Desakan ini bukan tanpa alasan. Pengesahan RUU KPK bukan hanya menyebabkan kegentingan yang ditandai dengan gelombang penolak UU KPK hasil revisi dari mahasiswa, pelajar dan masyarakat sipil di berbagai daerah, tapi juga akan membawa masalah serius bagi pemberantasan korupsi. Di antaranya untuk kewenangan penindakan KPK akan terhambat oleh Dewan Pengawas.
Untuk diketahui, dalam revisi UU KPK, kewenangan Dewan Pengawas sudah masuk ranah projusticia, yakni memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Dewan Pengawas juga tidak bersifat independen karena diangkat oleh Presiden, sehingga memunculkan peluang hambatan ketika KPK akan menangani kasus menyangkut kekuasaan seperti pejabat atau pihak dari kelompok berkuasa.
"Langkah mengeluarkan Perppu ini dapat dilakukan berdasarkan Pasal 22 UUD 1945 yang mengatur bahwa dalam hal ihwal kepentingan memaksa, Perppu dapat dikeluarkan Presiden. Untuk itu presiden harus mengambil sikap tegas dan menunjukkan komitmennya dalam menghadapai keadaan yang gentung saat ini," kata Direktur Pukat FH UGM Oce Madril di Pukat FH UGM, Jumat (27/9/2019).
Oce Madril menjelaskan saat ini presiden masih memberikan janji kosong karena belum secara jelas dan tegas merespons tuntutan agar membatalkan UU KPK hasil revisi. Sebab apa yang disampaikan presiden seusai bertemu beberapa tokoh di Istana masih menggunakan diksi mempertimbangkan dan membuka peluang penerbitan Perppu.
"Untuk itu, kami menagih keinginan kuat presiden agar menyelesaikan dan harus mengambil peran, tidak boleh ragu dan bimbang. Situasi sudah mendesak," katanya.
Menurut dosen FH UGM itu, jika presiden diam saja dan lalai, maka dalam perspektif hukum administrasi negara, presiden sudah dianggap melalaikan kewajiban hukum konstitusional atau terjadi maladministrasi dengan membiarkan keadaan semakin kacau.
"Agar kondisi ini segera bisa teratasi, maka UU KPK yang telah disahkan segera diundangkan dan sehari setelah itu dicabut dengan menerbitkan Perppu," katanya.
Peneliti Pukat FH UGM Agung Nugroho menambahkan, desakan presiden mengeluarkan Perppu karena ada 21 catatan yang akan membahayakan pemberantasan korupsi jika UU KPK yang disahkan DPR diberlakukan. Di antaranya KPK bukan lagi lembaga independen karena berada di ranah eksekutif.
"Dewan pengawas juga tidak independen karena diangkat presiden dan KPK diberi kewenangan mengeluarkan SP3 (surat penghentian perkara). Ini dinilai akan mendiskreditkan KPK sebagai lembaga yang menanggani kasus korupsi yang besar," katanya.
Desakan ini bukan tanpa alasan. Pengesahan RUU KPK bukan hanya menyebabkan kegentingan yang ditandai dengan gelombang penolak UU KPK hasil revisi dari mahasiswa, pelajar dan masyarakat sipil di berbagai daerah, tapi juga akan membawa masalah serius bagi pemberantasan korupsi. Di antaranya untuk kewenangan penindakan KPK akan terhambat oleh Dewan Pengawas.
Untuk diketahui, dalam revisi UU KPK, kewenangan Dewan Pengawas sudah masuk ranah projusticia, yakni memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Dewan Pengawas juga tidak bersifat independen karena diangkat oleh Presiden, sehingga memunculkan peluang hambatan ketika KPK akan menangani kasus menyangkut kekuasaan seperti pejabat atau pihak dari kelompok berkuasa.
"Langkah mengeluarkan Perppu ini dapat dilakukan berdasarkan Pasal 22 UUD 1945 yang mengatur bahwa dalam hal ihwal kepentingan memaksa, Perppu dapat dikeluarkan Presiden. Untuk itu presiden harus mengambil sikap tegas dan menunjukkan komitmennya dalam menghadapai keadaan yang gentung saat ini," kata Direktur Pukat FH UGM Oce Madril di Pukat FH UGM, Jumat (27/9/2019).
Oce Madril menjelaskan saat ini presiden masih memberikan janji kosong karena belum secara jelas dan tegas merespons tuntutan agar membatalkan UU KPK hasil revisi. Sebab apa yang disampaikan presiden seusai bertemu beberapa tokoh di Istana masih menggunakan diksi mempertimbangkan dan membuka peluang penerbitan Perppu.
"Untuk itu, kami menagih keinginan kuat presiden agar menyelesaikan dan harus mengambil peran, tidak boleh ragu dan bimbang. Situasi sudah mendesak," katanya.
Menurut dosen FH UGM itu, jika presiden diam saja dan lalai, maka dalam perspektif hukum administrasi negara, presiden sudah dianggap melalaikan kewajiban hukum konstitusional atau terjadi maladministrasi dengan membiarkan keadaan semakin kacau.
"Agar kondisi ini segera bisa teratasi, maka UU KPK yang telah disahkan segera diundangkan dan sehari setelah itu dicabut dengan menerbitkan Perppu," katanya.
Peneliti Pukat FH UGM Agung Nugroho menambahkan, desakan presiden mengeluarkan Perppu karena ada 21 catatan yang akan membahayakan pemberantasan korupsi jika UU KPK yang disahkan DPR diberlakukan. Di antaranya KPK bukan lagi lembaga independen karena berada di ranah eksekutif.
"Dewan pengawas juga tidak independen karena diangkat presiden dan KPK diberi kewenangan mengeluarkan SP3 (surat penghentian perkara). Ini dinilai akan mendiskreditkan KPK sebagai lembaga yang menanggani kasus korupsi yang besar," katanya.
(pur)