The Santri dan Pertarungan Wacana Islam Indonesia

Kamis, 26 September 2019 - 09:01 WIB
The Santri dan Pertarungan Wacana Islam Indonesia
The Santri dan Pertarungan Wacana Islam Indonesia
A A A
Umni Labib
Mahasiswa Program Doktoral UIN Walisongo

SEBAGAI santri, saya terusik atas berbagai pertanyaan dan sanggahan beberapa teman yang digempur hoaks ataupun narasi miring seputar rencana penggarapan film The Santri. Ada beberapa hal yang ingin saya soroti terkait hal ini. Kegaduhan film The santri dilemparkan oleh kelompok yang dalam sejarah sosial masyarakat Indonesia selama ini mereka bukan bahkan enggan dimasukkan dalam "kategori" santri. Mereka secara sosial selama ini tidak mau menggunakan idiom-idiom santri serta atribut-atribut santri. Anehnya, saat ini mereka mengklaim sepihak sebagai paling santri dari santri.

Santri dan Trikotomi Geertz
Mari kita lihat, santri adalah dikotomi masyarakat yang sudah ada sejak zaman dahulu. Clifford Geertz, membaca masyarakat Jawa dalam trikotomi: santri, priyayi, dan abangan. Meski pemilahan trikotomi ini menuai berbagai kritik, nyatanya pembacaan tersebut dalam beberapa hal masih relevan di dalam kehidupan sosial keagamaan masyarakat hingga kini.

Santri adalah identitas bagi komunitas yang mengamalkan syariat Islam. Mereka adalah produk dari sistem pendidikan Islam. Istilah abangan mewakili komunitas petani dan sinkretisme Jawa. Istilah priyayi digunakan untuk merujuk pada birokrat dan aristokrasi Jawa.

Sejauh ini kaum abangan maupun priyayi enggan disebut sebagai santri. Meskipun keadaan demikian, kini telah bergeser dan terjadi persinggungan dinamis antara trikotomi tipe masyarakat di atas. Tetapi, sisa-sisa kenangan itu masih ada, bagaimana ketegangan kelompok santri dengan terutama kelompok priyayi. Santri dianggap marginal, inferior, udik, tidak modern, dekat dengan takhayul, bidah, dan lainnya. Anggapan-anggapan ini memunculkan antitesa baru berupa semangat keislaman kaum priyayi dengan jargon, atribut, dan idiom-idiom keislaman, berbeda dari yang sehari-hari dipakai kalangan santri.

Indeginiutas santri (Nusantara) ada pada kiai. Santri tidak akan ada tanpa adanya kiai. Kiai menjadi sentral dalam kehidupan santri. Mondok atau tidak mondok , orang yang nderek kiai itulah yang dalam kenyataan masyarakat disebut sebagai santri. Nilai-nilai ta’dzim dan hidmah kepada kiai ini menjadikan santri pada umumnya nderek dawuh dan gondelan sarunge kyai .

Dalam komunitas santri, meski didefinisikan sebagai kelompok yang menjalankan syariat agama oleh Geertz, nyatanya kehidupan sehari-harinya justru sangat lekat dengan budaya dan adat leluhur. Kelompok ini justru bergandengan mesra dengan adat dan istiadat masyarakatnya, mulai dari ngupati , mitoni , nujuh hari , upacara sedekah laut, sedekah bumi dan berbagai ritual keagamaan yang bernuansa adat di-islamisasi dengan baik oleh kaum santri. Sedekah dan ater-ater kepada sanak kerabat, tetangga, dan handai taulan adalah bagian dari pemahaman keislaman yang sudah bersinergi dengan nilai-nilai lokal. Karena itu tak perlu kaget, bagi muslim santri berbagi tumpeng , berkat , kenduren , dan lainnya dengan tetangga, baik seagama maupun tidak. Nilai-nilai kearifan kaum santri sebagai implementasi keagamaannya mengikuti para kiai pendahulunya yang lentur, luwes, dan tidak kaku. Hal itu pula kemudian dalam perkembangannya, kaum abangan lebih mudah berinteraksi keagamaan dengan kaum santri.

Pakaian kesehariannya pun fleksibel, jika bekerja bagi para pria menggunakan celana biasa. Dalam kegiatan keagamaan atau pakaian sehari-hari selalu mengenakan sarung serta peci hitam. Bagi kaum perempuan pun dalam berpakaian terlihat biasa saja pada umumnya, tidak bercadar atau ber-niqab dan ber-burqoh, cukup mengenakan kerudung penutup kepala.

Berbeda dengan santri yang sudah menyejarah demikian, kaum priyayi kini pun tengah bereuforia dalam berislam, dengan nilai, atribut, dan idiom yang berbeda, sebagaimana telah melembaga dalam masyarakat.

Kelompok "Islam baru" tidak memiliki kiai, mereka hanya mempunyai ustaz-ustaz penceramah. Idiom yang digunakan pun berbeda, kelompok ini menggunakan idiom-idiom semi-Arab dan selalu berlabel syari.

Dalam hal praktik keagamaan, kelompok ini melepaskan diri dari adat dan tradisi, bahkan menuduhnya sebagai sumber bidah serta khurafat. Kelompok ini mengemas "Islam syari" sebagai vis a vis "Islam santri" yang tradisional dan bidah. Jualan "syari" ini meliputi semua hal yang jika ditilik di sisi agama bukan lagi sebagai nilai, tetapi sebagai komoditi. "Islam baru" jelas mempunyai nilai dan standar berbeda dengan Islam santri.

Membaca Kontroversi Film The Santri
Berdasarkan paparan di atas, ada beberapa hal menarik diulas. Pertama , ada ketidakseimbangan dan standar ganda dalam penilaian dari para penolak film The Santri sehingga tuduhan terhadap film itu oleh kelompok "Islam Baru" ini lebih terkesan bukan kritik membangun, tetapi perang wacana keislaman. Mengapa, jelas sekali mereka adalah kelompok yang menolak keberadaan santri, baik dari sisi ideologis maupun praksis, tetapi kini mereka mengaku paling santri dan menghakimi yang lain tidak "nyantri ".

Kedua , standar ganda penilaian yang mereka lakukan tak lebih menjadi upaya pembunuhan karakter terhadap personal pemain film The Santri khususnya dan juga pada Santri dengan S besar sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang menyejarah. Pembunuhan karakter ini tak lepas dari perang wacana dan perang media kelompok keislaman yang kian hari kian menguat. Santri yang selama ini dikenal udik, kolot, dan tradisional, telah mulai menyadari positioning -nya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka tidak lagi hanya berkutat dengan kitab kuning, tetapi piawai dan mahir teknologi. Perang konten dunia maya bagaimanapun tak lepas dari situasi ini.

Ketiga, dari aspek komoditi, komunitas santri selama ini tidak terlalu concern dengan jualan atribut. Tampaknya penolakan film The Santri yang ternyata dibarengi dengan gencarnya film tandingan versi kelompok "Islam baru" ini lebih sebagai perang komoditi. Kelompok ini mahir dalam mengolah isu agama menjadi bagian dari komoditas. Atas munculnya film The Santri , terkesan sekali kritiknya adalah bagian dari penghancuran identitas atau narasi tanding atas komoditas mereka.

Keempat, The Santri menjadi pemeta Islam tekstual dan Islam kontekstual yang ada di Indonesia, termasuk organisasi yang ada mewadahinya. Geliat santri untuk menampilkan dirinya kepada pihak lain melalui berbagai media, termasuk film, adalah bagian dari kesadaran santri tentang pentingnya media sebagai agensi pemikiran dan identitas. Santri dengan pedoman, "al-mukhafadhotu ‘ala qodimi sholih, wal akhdu ‘ala jadidi ashlah " menampilkan kepada publik sebagai kelompok masyarakat Islam egalitarian, tidak anti terhadap perubahan zaman, dan mampu mengakomodasi zaman berdasarkan nilai-nilai tasamuh, tawazun, dan ta’adul. Maka bagi santri, berinteraksi dengan adat-istiadat dan juga agama lain, termasuk pula simbol-simbol agama lain, seperti tempat ibadah atau lainnya, dapat diletakkan dalam konteks tasamuh tanpa mengulik-ngulik aspek keimanan sehingga tidak mudah terjebak dalam jargon takfiri maupun murtadi .

Sebaliknya, pro kontra film The Santri dengan tegas menjelaskan ada kelompok Islam yang tadi saya istilahkan dengan "Islam baru", menginterpretasikan Islam secara tekstual. Dengan begitu, mudah sekali terkungkung dalam narasi pengafiran dan pemurtadan. Bahkan, untuk hal-hal sepele, seperti menonton film drama Korea, merayakan ulang tahun, merayakan tahun baru, dan bahkan mungkin menonton film The Santri .

Terlepas dari kontroversi dan penilaian di atas, mari adil sejak dalam pikiran. Mengkritisi suatu hal tentu bijak jika menggunakan ukuran, standar, dan nilai yang sama. Jika memang berbeda, hargailah perbedaan. Beragama tidak sesulit itu sepertinya, dan menjadi santri tidak sesuci klaim mereka yang menolak lirik-lirikan antarsantri putra dan putri. Beragama tidak seberat itu, menjadi santri ya, sebercanda itu.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7740 seconds (0.1#10.140)