Pemindahan Ibu Kota Negara Perlu Sinergi Antarlembaga
A
A
A
JAKARTA - Rencana pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta ke Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, saat ini tengah dalam pembahasan oleh panitia khusus (pansus) di DPR. Rencananya pembahasan oleh DPR akan dikebut dan nantinya pada pengujung masa tugas DPR, 30 September 2019, mendatang, akan disahkan dalam rapat paripurna.
Pengamat perkotaan dari Fakultas Arsitektur Lanskap dan Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti, Jakarta, Yayat Supriatna, menilai, pembahasan ini terlalu singkat karena Pansus baru dibentuk pada Senin, 16 September 2019 lalu. Artinya hanya ada waktu efektif dua minggu untuk pembahasan di DPR. Yayat menekankan pentingnya kerja sama atau sinergi antarkementerian terkait dalam pelaksanaan di lapangan.
"Sekarang mohon maaf ini, mungkin PU sudah di lapangan, Bappenas sedang menajamkan, teman-teman dari Lingkungan Hidup (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) membuat KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis-nya). Ini siapa pemandunya, kapan targetnya?" tutur Yayat dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk "Efektifkah Rumusan Pemindahan Ibu Kota Dikebut Satu Minggu?" di Media Center DPR, Senayan, Jakarta, kemarin.
Tidak hanya sinergi antarlembaga, menurutnya dalam pemindahan ibu kota juga harus ada aktor kuat yang ditunjuk Presiden yang memiliki komitmen dan konsisten untuk menjaga rencana itu dan bisa dijalankan. "Terserah, menteri mana yang akan ditunjuk, tetapi dia punya power. Ingat, Putrajaya (ibu kota Malaysia) itu bisa bertahan cepat karena ada faktor Mahathir. Sekarang ada faktor Pak Jokowi. Di bawah Pak Jokowi harus ada orang kuat juga yang menjaga sinergi antarkementerian," tuturnya.
Menurutnya, Presiden perlu menunjuk menko untuk memberikan dukungan bagi langkah-langkah strategi percepatan dan bisa mengoordinasikan kementerian yang lain, bisa mendorong dan memandu. "Dan yang paling penting artinya ada sinergi dalam konteks kebijakan dan pembiayaan sama waktunya," urainya.
Yayat mengatakan, dalam menjalankan tugas di lapangan, setiap institusi negara itu seharusnya bekerja dengan target payung bersama. "Pertanyaannya, siapa yang menjadi lead-nya, apakah Bappenas? Kalau misalnya kajian Bappenas kita tanya kepada Bappenas, ketika presiden menetapkan 2024 (pemindahan), 2020 dimulai misalnya, dikatakan (Menteri PUPR) groundbreaking, Bappenas (bilang) 2021, PU misalnya 2020, ini mana yang menjadi rujukan?" katanya.
Karena itu Yayat yang pernah terlibat dalam pembahasan RUU Pemindahan Ibu Kota di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 2007 silam mengatakan, harus ada planning yang sama sehingga semua pihak bisa bekerja seirama. Dalam hal anggaran, misalnya, jika antara satu instansi dengan instansi lainnya tidak sama, hal ini juga bisa menjadi masalah. Misalnya di satu kementerian sudah turun, sementara di kementerian lainnya belum.
"Makanya saya mengatakan, jika nanti ada katakanlah pokja yang ditunjuk oleh Presiden, siapa leading sector-nya? Kemudian didampingi oleh para ahli, ada command center-nya, information center-nya, itu orang yang ingin mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya tentang ibu kota negara baru, itu menarik. Ini banyak juga teman-teman perguruan tinggi, para perencana ingin berkontribusi tapi tidak tahu mau dibawa ke mana," urainya.
Dikatakan Yayat, sinergi antara unsur-unsur lembaga pemerintah harus kuat. Terkait aspek pembiayaan, Yayat mengatakan bahwa saat ini pemerintah memiliki perhitungan biaya total berkisar Rp466 triliun dengan asumsi dari APBN hanya sekitar 19% atau sekitar Rp93,5 triliun.
"Inikan asusmsi yang katakan posistif, angka sekian. Ini bagaimana sekenario, misalnya terkait dengan pembiyaan, dengan KPBU (Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha), dengan kerja sama (swasta). Kalau angka ini tidak tercapai bagaimana, ini kan mengingat pertumbuhan ekonomi kita yang mungkin agak sedikit "andilau", antara dilema dan kegalauan dikit, itu bagaimana kita pendorong supaya target tercapai," katanya.
Karena itu, dalam hal pembiayaan perlu dikembangkan skema-skema alternatif. Yayat mengatakan, dalam merealisasi pemindahan ibu kota ini diperlukan tim kerja yang kuat. "Saya khawatir nanti, begitu ada pergantian menteri, sudah ada ganti kebijakan pula, nunggu Oktober ini, kita belum tahu menteri-menteri yang baru ini kira-kira sama tidak sepiritnya?" tuturnya.
Pemindahan ibu kota juga perlu kepastian undang-undang. "UU kapan ditetapkan ibu kota baru itu karena tidak terkait posisi Jakarta yang sedang dikencang-kencangnya pembangunan. DKI sebentar lagi kan mau ada Pilkada tahun 2022, ini kan harus jelas posisi kepastian perundang-undangannya. Beberapa rancangan undang-undang yang harus kita persiapkan," tuturnya.
Sementara itu Ketua Pansus Pemindahan Ibu Kota Zainuddin Amali mengatakan pihaknya akan melakukan rapat secara maraton dengan Bappenas, Kemenkeu, Kementerian ATR/BPN, PU, KLHK, Kemendagri, Kemkumham, Kemenpan RB, panglima TNI, Kapolri, dan Menhan. Termasuk juga dengan Gubernur DKI dan Kaltim untuk membahas soal rencana pemindahan ibu kota.
"Pansus akan membahas tiga topik besar mulai dari pembiayaan infrastruktur, lokasi dan lingkungan, serta aparatur dan regulasi yang diperlukan. Intinya setelah kami pelajari summary yang telah disampaikan pemerintah, lampiran dari surpres," katanya. Terakhir, pansus akan menghasilkan rekomendasi setelah meminta pandangan semua fraksi. "Insyaallah pada tanggal 30 September kita akan laporan ke paripurna," katanya.
Zainuddin mengatakan, tugas gansus memang hanya sampai pada rekomendasi saja. "Ini yang agak disalahpahami, seolah ini adalah pembentukan undang-undangnya, tidak. Ini pansus untuk membahas kajian pemerintah yang hasil akhirnya adalah rekomendasi yang menjadi dasar pimpinan DPR menjawab surat presiden. Beda dengan pembahasan RUU yang panjang, harus ada DIM, naskah akademik, dan sebagainya," katanya.
Rekomendasi tersebut nantinya akan dilengkapi dengan sejumah catatan hal-hal yang dinilai masih kurang. "Jadi ini bukan setuju atau tidak karena surat presiden itu meminta, beliau menyampaikan kajian dan mohon dukungan. Beda dengan perppu. Kalau perppu kan kita menerima atau menolak. Ini kan tidak," katanya.
Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/Bappenas Rudy Supriadi Prawiradinata mengatakan bahwa pada tahap awal 2020 pemerintah akan menyiapkan masterplan dan grand design. "Jadi nanti 2020 baru persiapan, 2021 kita baru memulai konstruksinya, itu 2021-2023, dan 2024 baru mulai pemindahan," katanya.
Mengenai pembiayaan, dari total Rp466 triliun, tidak semuanya pakai APBN. "Bahkan kita seminimal mungkin memakai APBN, jadi sekitar 19,2 persen itu menggunakan dan APBN, itu pun nanti kita akan menggunakan skema-skema yang tidak membebani pada APBN yang reguler seperti dari pajak dan lain-lain," katanya.
Rudy mengatakan, pemerintah memiliki aset-aset yang bisa dioptimalkan dan dikelola lebih baik. "Aset-aset tersebut itupun akan dikelola dengan cara yang berbeda. Jadi mohon diingatkan juga bahwa ini suatu pekerjaan yang besar, proyek yang besar, mungkin tidak akan terjadi 100 tahun sekali. Jadi kita melakukannya pun tidak boleh biasa-biasa, harus kita mencari inovasi-inovasi yang bagaimana pembangunannya bisa lebih cepat," katanya.
Pengamat perkotaan dari Fakultas Arsitektur Lanskap dan Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti, Jakarta, Yayat Supriatna, menilai, pembahasan ini terlalu singkat karena Pansus baru dibentuk pada Senin, 16 September 2019 lalu. Artinya hanya ada waktu efektif dua minggu untuk pembahasan di DPR. Yayat menekankan pentingnya kerja sama atau sinergi antarkementerian terkait dalam pelaksanaan di lapangan.
"Sekarang mohon maaf ini, mungkin PU sudah di lapangan, Bappenas sedang menajamkan, teman-teman dari Lingkungan Hidup (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) membuat KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis-nya). Ini siapa pemandunya, kapan targetnya?" tutur Yayat dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk "Efektifkah Rumusan Pemindahan Ibu Kota Dikebut Satu Minggu?" di Media Center DPR, Senayan, Jakarta, kemarin.
Tidak hanya sinergi antarlembaga, menurutnya dalam pemindahan ibu kota juga harus ada aktor kuat yang ditunjuk Presiden yang memiliki komitmen dan konsisten untuk menjaga rencana itu dan bisa dijalankan. "Terserah, menteri mana yang akan ditunjuk, tetapi dia punya power. Ingat, Putrajaya (ibu kota Malaysia) itu bisa bertahan cepat karena ada faktor Mahathir. Sekarang ada faktor Pak Jokowi. Di bawah Pak Jokowi harus ada orang kuat juga yang menjaga sinergi antarkementerian," tuturnya.
Menurutnya, Presiden perlu menunjuk menko untuk memberikan dukungan bagi langkah-langkah strategi percepatan dan bisa mengoordinasikan kementerian yang lain, bisa mendorong dan memandu. "Dan yang paling penting artinya ada sinergi dalam konteks kebijakan dan pembiayaan sama waktunya," urainya.
Yayat mengatakan, dalam menjalankan tugas di lapangan, setiap institusi negara itu seharusnya bekerja dengan target payung bersama. "Pertanyaannya, siapa yang menjadi lead-nya, apakah Bappenas? Kalau misalnya kajian Bappenas kita tanya kepada Bappenas, ketika presiden menetapkan 2024 (pemindahan), 2020 dimulai misalnya, dikatakan (Menteri PUPR) groundbreaking, Bappenas (bilang) 2021, PU misalnya 2020, ini mana yang menjadi rujukan?" katanya.
Karena itu Yayat yang pernah terlibat dalam pembahasan RUU Pemindahan Ibu Kota di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 2007 silam mengatakan, harus ada planning yang sama sehingga semua pihak bisa bekerja seirama. Dalam hal anggaran, misalnya, jika antara satu instansi dengan instansi lainnya tidak sama, hal ini juga bisa menjadi masalah. Misalnya di satu kementerian sudah turun, sementara di kementerian lainnya belum.
"Makanya saya mengatakan, jika nanti ada katakanlah pokja yang ditunjuk oleh Presiden, siapa leading sector-nya? Kemudian didampingi oleh para ahli, ada command center-nya, information center-nya, itu orang yang ingin mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya tentang ibu kota negara baru, itu menarik. Ini banyak juga teman-teman perguruan tinggi, para perencana ingin berkontribusi tapi tidak tahu mau dibawa ke mana," urainya.
Dikatakan Yayat, sinergi antara unsur-unsur lembaga pemerintah harus kuat. Terkait aspek pembiayaan, Yayat mengatakan bahwa saat ini pemerintah memiliki perhitungan biaya total berkisar Rp466 triliun dengan asumsi dari APBN hanya sekitar 19% atau sekitar Rp93,5 triliun.
"Inikan asusmsi yang katakan posistif, angka sekian. Ini bagaimana sekenario, misalnya terkait dengan pembiyaan, dengan KPBU (Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha), dengan kerja sama (swasta). Kalau angka ini tidak tercapai bagaimana, ini kan mengingat pertumbuhan ekonomi kita yang mungkin agak sedikit "andilau", antara dilema dan kegalauan dikit, itu bagaimana kita pendorong supaya target tercapai," katanya.
Karena itu, dalam hal pembiayaan perlu dikembangkan skema-skema alternatif. Yayat mengatakan, dalam merealisasi pemindahan ibu kota ini diperlukan tim kerja yang kuat. "Saya khawatir nanti, begitu ada pergantian menteri, sudah ada ganti kebijakan pula, nunggu Oktober ini, kita belum tahu menteri-menteri yang baru ini kira-kira sama tidak sepiritnya?" tuturnya.
Pemindahan ibu kota juga perlu kepastian undang-undang. "UU kapan ditetapkan ibu kota baru itu karena tidak terkait posisi Jakarta yang sedang dikencang-kencangnya pembangunan. DKI sebentar lagi kan mau ada Pilkada tahun 2022, ini kan harus jelas posisi kepastian perundang-undangannya. Beberapa rancangan undang-undang yang harus kita persiapkan," tuturnya.
Sementara itu Ketua Pansus Pemindahan Ibu Kota Zainuddin Amali mengatakan pihaknya akan melakukan rapat secara maraton dengan Bappenas, Kemenkeu, Kementerian ATR/BPN, PU, KLHK, Kemendagri, Kemkumham, Kemenpan RB, panglima TNI, Kapolri, dan Menhan. Termasuk juga dengan Gubernur DKI dan Kaltim untuk membahas soal rencana pemindahan ibu kota.
"Pansus akan membahas tiga topik besar mulai dari pembiayaan infrastruktur, lokasi dan lingkungan, serta aparatur dan regulasi yang diperlukan. Intinya setelah kami pelajari summary yang telah disampaikan pemerintah, lampiran dari surpres," katanya. Terakhir, pansus akan menghasilkan rekomendasi setelah meminta pandangan semua fraksi. "Insyaallah pada tanggal 30 September kita akan laporan ke paripurna," katanya.
Zainuddin mengatakan, tugas gansus memang hanya sampai pada rekomendasi saja. "Ini yang agak disalahpahami, seolah ini adalah pembentukan undang-undangnya, tidak. Ini pansus untuk membahas kajian pemerintah yang hasil akhirnya adalah rekomendasi yang menjadi dasar pimpinan DPR menjawab surat presiden. Beda dengan pembahasan RUU yang panjang, harus ada DIM, naskah akademik, dan sebagainya," katanya.
Rekomendasi tersebut nantinya akan dilengkapi dengan sejumah catatan hal-hal yang dinilai masih kurang. "Jadi ini bukan setuju atau tidak karena surat presiden itu meminta, beliau menyampaikan kajian dan mohon dukungan. Beda dengan perppu. Kalau perppu kan kita menerima atau menolak. Ini kan tidak," katanya.
Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/Bappenas Rudy Supriadi Prawiradinata mengatakan bahwa pada tahap awal 2020 pemerintah akan menyiapkan masterplan dan grand design. "Jadi nanti 2020 baru persiapan, 2021 kita baru memulai konstruksinya, itu 2021-2023, dan 2024 baru mulai pemindahan," katanya.
Mengenai pembiayaan, dari total Rp466 triliun, tidak semuanya pakai APBN. "Bahkan kita seminimal mungkin memakai APBN, jadi sekitar 19,2 persen itu menggunakan dan APBN, itu pun nanti kita akan menggunakan skema-skema yang tidak membebani pada APBN yang reguler seperti dari pajak dan lain-lain," katanya.
Rudy mengatakan, pemerintah memiliki aset-aset yang bisa dioptimalkan dan dikelola lebih baik. "Aset-aset tersebut itupun akan dikelola dengan cara yang berbeda. Jadi mohon diingatkan juga bahwa ini suatu pekerjaan yang besar, proyek yang besar, mungkin tidak akan terjadi 100 tahun sekali. Jadi kita melakukannya pun tidak boleh biasa-biasa, harus kita mencari inovasi-inovasi yang bagaimana pembangunannya bisa lebih cepat," katanya.
(don)