Arah Reformasi Penegakan Hukum

Jum'at, 20 September 2019 - 06:45 WIB
Arah Reformasi Penegakan...
Arah Reformasi Penegakan Hukum
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Universitas Padjadjaran


SAAT ini iklim penegakan hukum tengah dilanda euforia reformasi yang mengunggulkan transparansi dan akuntabilitas publik kepada masyarakat luas tanpa menghiraukan masalah etika dan sopan santun, baik secara personal maupun secara institusional. Reformasi diterjemahkan sebagai “serba-terbuka” yang memiliki konotasi berbeda dengan “transparansi” karena yang terakhir harus dilandaskan pada aturan hukum. Tanpa aturan hukum, itulah yang dimaksudkan dengan “serba-terbuka”.

Fenomena negatif ini melanda bukan hanya lapisan masyarakat luas yang konon sebagian besar belum melek hukum, tetapi telah pula menjangkiti lapisan birokrasi yang sangat mengetahui aturan hukum yang berlaku dan kode etik kelembagaan yang dimilikinya dan seharusnya ditaati. Akibat dari kondisi serba-tidak jelasnya batas-batas mana yang “transparan” dan mana yang “serba-terbuka”, mana yang beretika dan tidak, mana yang sopan dan yang tidak santun, kondisi riil penegakan hukum tengah mengalami anomi dan distorsi disusul dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pejabat publik dan lembaga pemerintah yang semakin rendah.

Kemerosotan tingkat kepercayaan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika itu disebabkan salah satunya lembaga ini telah “dipasung” oleh kasus Bibit-Chandra yang diikuti penunjukan pelaksana tugas (plt) pimpinan melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang kemudian bahkan ditolak DPR RI.

Penanganan kasus Century merupakan penyebab lain yang memicu rendahnya kepercayaan publik terhadap KPK. Kepercayaan masyarakat, khususnya ahli hukum, kepada KPK Jilid III terjadi pada peristiwa pembatalan penetapan status tersangka BG dan HP oleh putusan praperadilan yang mencerminkan kecerobohan KPK selama 17 tahun berkiprah memberantas korupsi. Ini diperburuk dengan penetapan tersangka RJ Lino dan beberapa tersangka lain yang telah berlangsung lebih dari satu tahun tanpa kejelasan tindak lanjutnya. Ini jelas pelanggaran HAM.

Akan tetapi dengan Perubahan Undang-Undang KPK yang telah setujui DPR pada 17 September 2019, peristiwa seperti itu tidak akan terjadi lagi karena status tersangka lebih dari satu tahun harus dibebaskan. Dilema penegakan hukum yang kini tengah dialami KPK adalah sering menjadi “perantara” keinginan publik untuk menghukum atau tidak menghukum seseorang yang diduga terlibat dalam perkara pidana. (I)mparsialitas, (I)ntegritas, dan (A)kuntabilitas pejabat publik lembaga penegak hukum merupakan conditio sine qua non terhadap tinggi rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga dimaksud.

Melihat kondisi dilematis dalam penegakan hukum, kiranya patut kita pertanyakan mengenai arah reformasi birokrasi yang telah dilaksanakan oleh lembaga penegakan hukum saat ini. Pemerintah kehilangan arah reformasi di bidang penegakan hukum, terutama dalam pemberantasan korupsi, hanya karena lembaga KPK yang mendominasinya telah menyimpang jauh dari tujuan semula, yaitu penghukuman dan pengembalian kerugian negara tanpa dilandasi balanced probability principle. Politik hukum pidana bertolak dari doktrin yang membedakan antara tujuan mencapai keadilan retributif, keadilan distributif, keadilan komutatif atau keadilan restoratif.

Model keadilan terakhir mengutamakan rekonsiliasi dan menghindarkan persengketaan yang lebih mendahulukan konflik berdasarkan prinsip cost and benefit ratio dan prinsip ultimum remedium. Ataukah pemerintah memiliki komitmen sungguh-sungguh untuk menegakkan hukum versi ajaran Kelsen yang menafikan kepentingan moral dan kesusilaan dalam penegakan hukum kecuali hanya semata-mata bersumber pada hukum yang lebih tinggi yang dijadikan dasar penegakan hukum?

Jika ajaran ini yang akan diikuti, konsekuensi logis bagi aparat penegak hukum adalah hanya melihat fakta hukum semata-mata sebagai suatu sistem norma (normative system) yang mengandalkan “aturan dan logika (rules and logic) –(Roger Cotterrell, 2003). Jika pemerintah memiliki komitmen penegakan hukum dengan berkiblat pada ajaran Roscou Pound pragmatic legal realism yang menegaskan bahwa law as a tool of social engineering atau “hukum merupakan sarana pembaruan masyarakat” (Mochtar Kusumaatmadja), maka apakah hukum yang berlaku saat ini sudah cukup memadai untuk membawa perubahan pandangan masyarakat ke arah yang lebih maju atau sesuai dengan nilai peradaban modern?

Jika komitmen politik hukum (penegakan hukum) pemerintah adalah agar hukum lebih mendekati kenyataan sosial atau hukum yang hidup dalam masyarakat (Eugen Erlich), apakah pemerintah telah dapat meyakinkan masyarakat luas tentang kebutuhan yang riil dan mendesak dari masyarakat Indonesia saat ini dalam berbagai kehidupan sosial ekonomi? Atau apakah pemerintah akan memelihara keragaman adat dan budaya setempat sebagai salah satu alternatif solusi dari tegaknya kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan dalam kehidupan masyarakat?

Sudah tentu jika kerangka teoritik hukum masih melekat pada para pengambil keputusan, baik pemerintah maupun badan legislatif, tampak masih banyak jalan menuju Roma untuk solusi atas karut-marut pembentukan undang-undang dan penegakan hukum di Tanah Air tercinta ini.

Fungsi dan peranan penegak hukum bukan lagi solusi dari masalah, tetapi bagian dari masalah. Masyarakat luas terutama mereka yang paham hukum mendambakan adanya suatu sikap politik pemerintah di bidang pemberantasan korupsi yang memiliki visi dan misi yang jelas disertai landasan pemikiran (teoretik dan praksis) di dalam berbagai bidang kehidupan, terutama perekonomian, perbankan, perdagangan, dan penegakan hukum (pidana), yang dapat menegakkan kedaulatan hukum negara RI.

Solusi dari kondisi tanpa arah yang jelas, baik dalam pembentukan hukum maupun dalam penegakan hukum, seharusnya becermin pada tiga hal. Pertama, mengingatkan para legislator dan eksekutif mengenai fungsi filsafat hukum yang bercita-cita menempatkan hukum dalam tempat dan perspektif yang tepat sebagai bagian dari usaha manusia menjadikan dunia ini suatu tempat yang lebih pantas untuk didiaminya ( Mochtar Kusumaatmadja, 1986).

Dalam konteks hukum di Indonesia fungsi filsafat hukum adalah menghaluskan pemikiran tentang hukum bukan semata-mata sebagai sistem norma semata-mata. Lebih dari itu ia merupakan sistem nilai (values system) yang lebih hidup dan dinamis mengikuti perkembangan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Cermin kedua yang perlu diperhatikan oleh legislator dan eksekutif adalah fungsi hukum harus dapat menciptakan ketertiban, keteraturan, kedamaian, dan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat (fungsi integratif), terlepas dari topik undang-undang direncanakan dan termasuk ke dalam agenda prolegnas.

Atas dasar inilah fungsi dan peranan harmonisasi serta sinkronisasi perancangan setiap UU sangat menentukan apakah setelah pengesahan, UU dimaksud memperoleh akseptabilitas yang tinggi atau rendah dari masyarakat luas atau justru menciptakan konflik sosial atau konflik kelembagaan baru.

Cermin ketiga yang perlu diperhatikan adalah kenyataan bahwa lembaga penegak hukum di Indonesia sejak dikeluarkannya UU Kepolisian, UU Kejaksaan, dan UU Kekuasaan Kehakiman adalah representasi kemandirian kelembagaan secara organisasi dan struktural satu sama lain. Berlainan halnya dengan ketika di bawah hukum Hindia Belanda di mana jaksa termasuk kekuasaan kehakiman di bawah Menteri Kehakiman dan polisi merupakan pembantu jaksa.

Konsekuensi logis dari keberadaan UU organik di atas seharusnya tidak ada lagi pemikiran subordinasiantar-kelembagaanpenegak hukum, apalagi saat ini kontrol masyarakat dan kebebasan pers yang telah menguat didukung oleh keberadaan Komisi Kepolisian dan Komisi Kejaksaan serta Komisi Yudisial, telah terbukti lebih ampuh dan efektif ketimbang peranan supervisi dan koordinasi antara instansi penegak hukum itu sendiri.

Sesungguhnya pemikiran subordinatif lebih mencerminkan “berburuk sangka” daripada “berbaik sangka” antarlembaga penegak hukum. Hal ini potensial memicu konflik kelembagaan dan meningkatkan arogansi sektoral di antara lembaga tersebut. Penyusunan RUU HAP baru pengganti KUHAP 1981 seharusnya mempertimbangkan hal tersebut secara serius. Arah politik penegakan hukum jauh lebih penting untuk ditetapkan daripada penegakan hukum yang bersifat “instan” dan “adhoc” sehingga dalam jangka panjang kita akan memperoleh suatu jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0676 seconds (0.1#10.140)