Benci dan Rindu BPJS Kesehatan

Kamis, 05 September 2019 - 08:15 WIB
Benci dan Rindu BPJS Kesehatan
Benci dan Rindu BPJS Kesehatan
A A A
Asriana Ariyanti
Statistisi BPS Kota Bogor
Alumnus The Australian National University

JIKA kita menelisik pendapat masyarakat yang berseliweran di dunia maya, terdapat dua sikap terhadap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Ada yang “membencinya” habis-habisan akibat rencana kenaikan iuran sehingga memberatkan masyarakat. Tapi, banyak pula yang “merindukannya”, menganggapnya sebagai dewa penolong ketika mereka harus menebus resep jutaan rupiah saat jatuh sakit.

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan program sangat penting dan terobosan besar di bidang kesehatan yang dirasakan manfaatnya secara langsung oleh semua kalangan. Program ini memberikan akses kesehatan yang lebih luas, terutama masyarakat kategori tidak mampu, sesuai dengan amanah UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Pemerintah Indonesia kemudian menerbitkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) untuk program tersebut, khususnya fakir miskin dan tidak mampu serta iurannya dibayarkan oleh pemerintah.

JKN diresmikan dan dilaksanakan pada 1 Januari 2014. Hal ini memberikan konsekuensi bahwa semua warga negara Indonesia tanpa terkecuali secara mandatori atau wajib mengikuti program JKN baik sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI) maupun peserta mandiri. Hingga awal 2019 JKN (KIS) telah terdaftar 216,2 juta jiwa sebagai peserta atau sekitar 82% populasi penduduk Indonesia.

Pada tahap ini patut kita garis bawahi bahwa cakupan keanggotaan JKN yang sangat besar ini merupakan pencapaian luar biasa bagi sebuah program nasional yang sejak awal diresmikan sudah mengundang pro dan kontra. Marilah kita bandingkan dengan penerapan UHC di berbagai negara. Pemerintah Jerman membutuhkan waktu 127 tahun untuk mencakup 85% populasi dan Kosta Rika perlu 48 tahun mencapai 87%. Selain itu, Belgia memerlukan waktu 118 tahun, Luxemburg 72 tahun, Austria 79 tahun, dan Jepang 36 tahun untuk mencapai cakupan 100% populasi penduduknya.

Besarnya pencapaian cakupan ini tentu harus diiringi dengan kualitas pelayanan yang memadai jika belum mencapai tingkat memuaskan. Berdasarkan laporan tahunan BPJS 2018, peserta yang merasakan manfaat pelayanan JKN di seluruh tingkat layanan sebanyak 233,8 juta dengan rata-rata 640.765 orang per hari. Fakta ini menunjukkan antusiasme tinggi masyarakat untuk memanfaatkan akses kesehatan yang terbuka luas bagi semua kelompok.

Mengapa Defisit?

Di balik pencapaian JKN, ada beberapa hambatan yang masih dikeluhkan oleh masyarakat. Satu di antara faktor yang menjadi isu utama pelaksanaan JKN adalah defisitnya anggaran BPJS. Mengapa defisit? Ada beberapa faktor yang disinyalir menjadi penyebab utama defisitnya BPJS. Jumlah klaim yang jauh melampaui besarnya iuran anggota menjadi penyebab utama. Rendahnya kepatuhan peserta, baik perorangan maupun perusahaan, dalam membayar iuran menjadi faktor rendahnya penerimaan.

Menurut data BPJS, selama 2018 terdapat tunggakan iuran dari sekitar 12 juta orang atau sekitar 6% dari seluruh total peserta. Sementara hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan 2.348 perusahaan telah memanipulasi data gaji karyawan untuk pembayaran iuran kepesertaan.

Defisit juga terjadi akibat ada pembengkakan biaya operasional JKN di luar budget yang dianggarkan. Satu di antaranya karena penambahan peserta penerima bantuan iuran (PBI). Akhir tahun ini BPJS Kesehatan menurut audit BPKP berpotensi defisit hingga Rp32,2 triliun. Namun, angka tersebut bisa ditekan hingga menjadi Rp14 triliun jika iuran peserta PBI naik mulai Agustus 2019.

Potensi defisit hingga Rp32,2 triliun tampaknya sulit dikurangi karena DPR pada Senin (2/9) menolak usulan kenaikan iuran mandiri kelas III yang diajukan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sebelumnya Menkeu mengajukan agar peserta kelas mandiri I naik dari Rp80.000 menjadi Rp160.000 per bulan. Lalu, kelas mandiri II naik dari Rp59.000 menjadi Rp110.000 per bulan dan kelas mandiri III naik dari Rp25.500 menjadi Rp42.000.

Mengapa BPJS Kesehatan masih menderita defisit meskipun sudah ada iuran dan subsidi?

Terjadinya defisit memang disebabkan oleh besaran iuran peserta yang under market price. Menurut Direktur BPJS Fahmi Idris, hanya iuran kelas I sebesar Rp80.000 per orang per bulan yang sudah cukup ideal untuk tarif pelayanan dasar peserta. Sementara untuk kelas II yang iurannya sebesar Rp51.000 masih memerlukan subsidi sebesar Rp12.000 per orang per bulan karena tarif wajar pelayanan di kisaran biaya Rp63.000.

Iuran peserta kelas III saat ini Rp25.500 sehingga masih diperlukan subsidi sebesar Rp27.500 dari APBN karena tarif wajar pelayanan seharusnya pada level Rp53.000. Selain itu, untuk peserta PBI, tarif wajar juga seharusnya pada level Rp36.000, sedangkan sekarang pemerintah hanya bisa membayar Rp23.000 per orang per bulan sehingga memerlukan subsidi dari peserta mandiri sebesar Rp13.000.

Kondisi ini menyebabkan gelontoran dana subsidi yang berasal dari APBN masih belum mampu menutup defisit operasional BPJS. Berdasarkan data laporan bulanan BPJS, pada akhir 2019 defisit ini diprediksikan akan mencapai Rp28 triliun, jauh lebih rendah dari taksiran BPKP yang mencapai Rp32,2 triliun. Dalam konteks ini, usulan kenaikan iuran seperti yang disampaikan Menkeu Sri Mulyani menjadi masuk akal.

Mengurangi defisit dengan menaikan iuran kepesertaan – yang kemudian akhirnya ditolak DPR – bisa jadi bukan satu-satunya cara agar keuangan BPJS Kesehatan membaik. BPJS Kesehatan bisa melakukan perbaikan dari dalam misalnya dengan mengkaji ulang dan menyesuaikan pos-pos pengeluaran operasional atau gaji karyawan maupun direksi dan komisaris sehingga perusahaan menjadi lebih efisien.

Selain itu, bersama-sama dengan pemerintah dan instansi terkait, BPJS Kesehatan juga melakukan perbaikan dan pemutakhiran data. Hampir semua masalah yang ditemukan dalam audit BKPP terhadap 25.528 fasilitas kesehatan yang masuk dalam sistem JKN berpangkal pada ketidakakuratan data.Misalnya, BPKP menemukan banyak rumah sakit rujukan yang melakukan pembohongan data terkait dengan kategori rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan rujukan tingkat pertama (FKRTL) BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan wajib memperbaharui data kategori atau kelas FKRTL mulai dari A hingga D karena setiap kategori memiliki biaya per unit pasien yang berbeda. Jangan sampai rumah sakit menaikkan kategori tanpa bisa diketahui sejak dini lewat database BPJS Kesehatan.

Berdasarkan audit BPKP juga diketahui layanan lebih banyak dari peserta. BPKP mengungkap terjadi penggunaan layanan sebanyak 233,9 juta layanan, padahal total peserta JKN hanya 223,3 juta orang.

Permasalahan data ini pasti berimbas pada proses klaim dalam sistem di BPJS Kesehatan sendiri. Buktinya, BPKP menemukan ada yang klaim ganda peserta, bahkan ada klaim dari peserta yang sudah meninggal. Selain itu, ada peserta tidak aktif, tetapi klaimnya bisa dicairkan.

Dengan data-data peserta BPJS akurat, selain akan menekan angka defisit, masyarakat miskin yang belum menerima fasilitas KIS juga akan bisa mendapatkan fasilitas yang sangat penting ini.

Harapan Hidup

Kesuksesan pelaksanaan JKN yang tidak banyak disinggung di masyarakat atau pemberitaan media adalah pengaruhnya pada peningkatan umur harapan hidup (UHH). Berdasarkan riset yang diselenggarakan Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat FEB Universitas Indonesia, pada 2016 JKN berhasil meningkatkan angka harapan hidup masyarakat Indonesia hingga 2,9 tahun. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa UHH yang dipakai sebagai salah satu ukuran pencapaian kesehatan untuk menghitung indeks pembangunan manusia (IPM) selalu mengalami peningkatan.

Selain itu, gaya hidup tidak sehat seperti merokok juga menjadi satu di antara penyebab beban berat JKN. Data BPJS Kesehatan pada 2017 mencatat sebanyak 10,801 juta orang atau 5,7% peserta JKN mendapat pelayanan untuk penyakit katastropik dan menghabiskan biaya kesehatan sebesar Rp14,6 triliun atau 21,8% dari seluruh biaya pelayanan kesehatan dengan komposisi peringkat penyakit jantung sebesar 50,9% atau Rp7,4 triliun, penyakit ginjal kronik sebesar 17,7% atau Rp2,6 triliun.

Tujuan JKN untuk menjamin kesehatan masyarakat berdampak sangat penting dalam menyelamatkan masyarakat dari kemiskinan. Kelompok masyarakat miskin yang relatif sangat rentan terserang penyakit karena faktor lingkungan dan gaya hidup tidak sehat sangat terselamatkan dengan JKN. Karena peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, kemudahan akses, serta lebih banyak pilihan fasilitas kesehatan yang mereka manfaatkan, mereka dapat disembuhkan saat sakit dan dapat kembali produktif untuk bekerja.

Dengan segala permasalahan yang terjadi selama penerapan JKN, manfaat yang diperoleh jauh lebih besar dirasakan oleh sebagian masyarakat. Dikaitkan dengan asas gotong-royong serta tolong-menolong antara si kaya dan si miskin melalui subsidi silang, JKN ini diharapkan dapat memenuhi tujuannya mencakup 100% penduduk Indonesia pada tahun-tahun mendatang.Tentu saja, semua itu membutuhkan kerja keras, dukungan, serta sumbangsih dari semua pihak, termasuk terus mendorong gerakan hidup sehat dan kampanye antirokok.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5790 seconds (0.1#10.140)