Jangan Paksakan BPJPH Terima Pendaftaran Sertifikasi Halal
A
A
A
Ikhsan Abdullah
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch
ISU sertifikasi halal menjadi perbincangan menjelang 17 Oktober 2019 yang menandai mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Mengacu UU JPH, seluruh produk usaha makanan dan minuman wajib besertifikasi halal terhitung pada tanggal tersebut.
Sertifikasi halal terhadap produk sebenarnya bukan lagi isu, karena ini telah dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) sejak 30 tahun lalu atau diawali sejak 1988.
Jika Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang ditugaskan UU melakukan sertifikasi halal pada 17 Oktober 2019 ternyata tidak mampu, lembaga ini tidak lantas bisa berdalih pada penahapan.
Sebagaimana diatur Pasal 67 UU JPH dengan membuat kebijakan mundur, yakni memberikan tenggang waktu lima tahun lagi bagi usaha makanan dan minuman untuk menjalankan kewajiban sertifikasi halal, dan selama lima tahun ke depan untuk dilakukan pembinaan. Kebijakan ini seakan menyenangkan pelaku usaha, tapi sebaliknya berimplikasi menciptakan persoalan baru yang merugikan dunia usaha.
Seperti disebut di awal, pemberlakuan UU JPH dimulai 17 Oktober, sementara BPJPH menegaskan wajib sertifikasi halal dimulai 17 Oktober 2019 untuk produk makanan dan minuman, dan pada 2024 untuk obat.
Akan tetapi karena BPJPH menerima permohonan pendaftaran sertifikasi halal, ini kebijakan yang sangat membingungkan dan sangat tidak proper sehingga akan menimbulkan ketidakpastian, tidak adil, ambigu, dan dapat menciptakan kekacauan pada dunia usaha dan masyarakat serta umat Islam.
Kita tilik di Pasal 4 UU JPH yang secara tegas menyebutkan bahwa, "Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal". Kewajiban tersebut telah di atur dengan jelas di dalam Pasal 67 UU JPH, "Kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan".
Perlu kita ketahui bersama bahwa UU JPH diundangkan pada 17 Oktober 2014 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295. Artinya, lima tahun jika dihitung dari 17 Oktober 2014 adalah 17 Oktober 2019.
Ada banyak persoalan yang akan muncul. Pertama, bagaimana penahapan akan diberlakukan bagi produk atau barang-barang impor yang berkaitan dengan makanan, minuman, obat, dan kosmetika. Apakah juga akan di atur sama dengan produk lokal? Karena bila dipersamakan perlakuannya dengan produk lokal, berarti UU ini tidak memiliki arti apa pun dalam upaya melindungi produk lokal dari serbuan produk asing. Padahal, salah satu tujuan awal UU ini yakni dapat difungsikan sebagai barrier bagi masuknya produk asing ke Indonesia dalam rangka melindungi pelaku usaha kecil dan menengah.
Jika memahami pola kebijakan BPJPH berarti produk asing pun masih diperlakukan voluntary (sukarela) sertifikasi halal, dan ini berarti kebijakan pro terhadapasing, karena tetap membiarkan produk asing masuk dengan tanpa sertifikasi halal. Padahal, semangat dari UU JPH adalah melindungi warga negara untuk memperoleh produk halal, di samping itu kebijakan tersebut akan gagal melindungi pelaku usaha dan UKM dalam negeri dari serbuan produk asing.
BPJPH tidak dapat memberi tafsir sendiri mengenai pemberlakuan UU melalui penahapan dengan instrumen Peraturan Menteri Agama (Permenag) karena ketentuan UU bersifat lebih tinggi (superior) dibandingkan dengan Permenag. Pasal 67 UU JPH telah jelas mengatur mengenai jenis produk yang diatur secara bertahap akan dilakukan melalui PP Nomor 31 Tahun 2019 Pasal 72. Bunyi pasal 72 PP Nomor 31/2019 adalah:
(1) Kewajiban besertifikat halal bagi Jenis produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 71 dilakukan secara bertahap. (2) Penahapan kewajiban besertifikat halal bagi jenis produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
Kewajiban kehalalan produk sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; Produk sudah besertifikat halal sebelum UU JPH berlaku;Produk merupakan kebutuhan primer dan di konsumsi secara naif; Produk yang memiliki titik kritis ketidakhalalan yang tinggi; Kesiapan pelaku usaha dan; Kesiapan infrastruktur pelaksanaan JPH.
Pada poin a, b dan c berarti kepada jenis produk tersebut diberlakukan wajib sertifikat halal. Persoalannya adalah terhadap produk b dan c, produknya sama tetapi ada yang sudah dan belum besertifikat halal, misal untuk jenis roti. Misalnya roti merek tertentu yang telah besertifikat halal, maka mereka harus menjaga kehalalan produknya dan wajib memperpanjang sertifikasinya. Artinya ada kewajiban dan dikenakan sanksi bila tidak menjalankan kewajibannya sesuai dengan pasal di UU.
Sementara, seperti contoh roti merek lain yang sama jenisnya namun belum besertifikat halal, sesuai dengan ketentuan PP dan rancangan Permenag mengenai penahapan, maka pelaku usaha tersebut tidak memiliki kewajiban sampai lima tahun ke depan untuk menyesuaikan undang-undang. Dengan demikian, regulasi ini bersifat diskriminatif dan tidak adil serta tidak memiliki kepastian hukum.
Bila Kemenag dan BPJPH menerapkan kebijakan tersebut, jelas bertentangan dengan UU JPH, menciptakan ketidakpastian hukum, ambigu dan merugikan dunia usaha, masyarakat dan umat Islam. Tujuan dari UU JPH adalah untuk memberikan perlindungan kepada warga negara dalam rangka memperoleh produk halal. Dengan ditundanya kewajiban besertifikat halal bagi pelaku usaha, dengan dalih penahapan, maka semangatnya sudah tidak sejalan dengan undang-undang itu sendiri.
KH Ma’ruf Amin, selaku wakil presiden terpilih ketika menerima pengurus Indonesia Halal Watch (IHW) dan berdiskusi secara informal mengenai bagaimana implementasi UU JPH pada Selasa pekan lalu, menyampaikan bahwa apabila terjadi perbedaan pemahaman dalam menerapkan UU, maka harus dikembalikan kepada ketentuan undang-undang dan tidak membuat tafsir sendiri.
Sejalan dengan pemikiran KH Ma’ruf Amin sebagai maestro dan peletak dasar sistem jaminan halal di Indonesia, maka diperlukan rembuk dan musyawarah semua stakeholder untuk bersama-sama ikut berperan agar UU JPH dapat dilaksanakan dengan baik. Selanjutnya KH Ma’ruf Amin menyampaikan bahwa halal itu adalah hukum, batas yang halal dan yang haram sudah sangat jelas serta lembaga yang diberikan otoritas untuk menentukan kehalalan produk sudah jelas yakni MUI melalui Komisi Fatwa MUI.
Artinya, BPJPH tidak akan dapat berjalan sendiri tanpa MUI. Harus bekerja sama dengan baik dan harmonis karena tanpa fatwa MUI tidak pernah ada sertifikasi halal, yang juga berarti tidak ada produk halal yang besertifikat.
Kondisi riil saat ini, sampai dengan 2 September 2019, belum satu pun terbentuk Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang mendapatkan akreditasi dari BPJPH dan MUI. Sebagaimana Pasal 13 UU JPH, bahwa keberadaan LPH harus diakreditasi oleh BPJPH dan MUI. Padahal satu syarat utama bagi berfungsinya BPJPH adalah harus didirikannya LPH-LPH yang akan melakukan pemeriksaan produk halal yang pendaftarannya melalui BPJPH. Syarat LPH bisa melakukan pemeriksaan produk, wajib di akreditasi, sebagai LPH wajib memenuhi syarat yakni memiliki tiga orang auditor halal.
Selama BPJPH dibentuk yakni pada 14 Oktober 2017, belum ada satu pun auditor halal yang dihasilkan. Auditor yang ada saat ini berjumlah 1.061 orang yang telah mendapatkan sertifikasi dari MUI dan merupakan auditor halal yang selama ini bekerja. Auditor halal LPPOM MUI saat ini ada di 33 wilayah provinsi dari Aceh hingga Papua.
Untuk dapat menjalankan fungsi sebagai badan sertifikasi halal, BPJPH seyogianya telah menyiapkan sistem pendaftaran yang mudah diakses, memiliki perwakilan BPJPH di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, menetapkan tarif sertifikasi halal yang lebih baik.
Lalu, bagaimana dengan kesiapan BPJPH seperti disebutkan di atas yang belum satu pun infrastrukturnya terpenuhi? Bagaimana BPJPH dapat bertindak sekaligus menerima pendaftaran sertifikasi halal? Keadaan ini tentu tidak dapat dipaksakan. Apa pun alasan dan legal reason yang dibangun, karena itu akan dapat menimbulkan keadaan yang lebih buruk bagi dunia usaha dan pemerintah. Bahkan sebaliknya, justru akan menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha yang berdampak bagi perekonomian nasional.
Sekali lagi, sertifikasi halal itu sudah bukan lagi merupakan isu karena telah dijalankan dengan baik oleh LPPOM MUI selama 30 tahun dan telah mampu memberikan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat. Selain itu, juga telah berkontribusi besar bagi ketersediaan produk halal di masyarakat.
Hal ini harus dipandang sebagai instrumen pendorong bagi tumbuhnya industri halal. Saat ini yang harus kita fokuskan adalah bagaimana memperoleh manfaat dari perdagangan produk halal tersebut bagi masyarakat dan pemerintah agar mendongkrak devisa dan pertumbuhan ekonomi nasional. Bila kita masih terjebak pada bagaimana melakukan sertifikasi halal, itu artinya kita mundur 30 tahun.
Dengan melihat kenyataan bahwa BPJPH dari sisi organisasi, sistem dan infrastruktur serta kesiapan lainnya yang belum siap maka sesuai dengan UU JPH yakni Pasal 59 dan 60, maka kewenangan penyelenggara sertifikasi halal tetap harus diberikan kepada MUI sampai dengan BPJPH benar-benar siap. Kesiapan tersebut dapat diaudit melalui uji publik atas sistem dan infrastrukturnya. Jangan sampai menjadi trial and run karena sertifikasi halal berkaitan dengan keberlangsungan pelaku usaha dan industri.
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch
ISU sertifikasi halal menjadi perbincangan menjelang 17 Oktober 2019 yang menandai mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Mengacu UU JPH, seluruh produk usaha makanan dan minuman wajib besertifikasi halal terhitung pada tanggal tersebut.
Sertifikasi halal terhadap produk sebenarnya bukan lagi isu, karena ini telah dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) sejak 30 tahun lalu atau diawali sejak 1988.
Jika Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang ditugaskan UU melakukan sertifikasi halal pada 17 Oktober 2019 ternyata tidak mampu, lembaga ini tidak lantas bisa berdalih pada penahapan.
Sebagaimana diatur Pasal 67 UU JPH dengan membuat kebijakan mundur, yakni memberikan tenggang waktu lima tahun lagi bagi usaha makanan dan minuman untuk menjalankan kewajiban sertifikasi halal, dan selama lima tahun ke depan untuk dilakukan pembinaan. Kebijakan ini seakan menyenangkan pelaku usaha, tapi sebaliknya berimplikasi menciptakan persoalan baru yang merugikan dunia usaha.
Seperti disebut di awal, pemberlakuan UU JPH dimulai 17 Oktober, sementara BPJPH menegaskan wajib sertifikasi halal dimulai 17 Oktober 2019 untuk produk makanan dan minuman, dan pada 2024 untuk obat.
Akan tetapi karena BPJPH menerima permohonan pendaftaran sertifikasi halal, ini kebijakan yang sangat membingungkan dan sangat tidak proper sehingga akan menimbulkan ketidakpastian, tidak adil, ambigu, dan dapat menciptakan kekacauan pada dunia usaha dan masyarakat serta umat Islam.
Kita tilik di Pasal 4 UU JPH yang secara tegas menyebutkan bahwa, "Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal". Kewajiban tersebut telah di atur dengan jelas di dalam Pasal 67 UU JPH, "Kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan".
Perlu kita ketahui bersama bahwa UU JPH diundangkan pada 17 Oktober 2014 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295. Artinya, lima tahun jika dihitung dari 17 Oktober 2014 adalah 17 Oktober 2019.
Ada banyak persoalan yang akan muncul. Pertama, bagaimana penahapan akan diberlakukan bagi produk atau barang-barang impor yang berkaitan dengan makanan, minuman, obat, dan kosmetika. Apakah juga akan di atur sama dengan produk lokal? Karena bila dipersamakan perlakuannya dengan produk lokal, berarti UU ini tidak memiliki arti apa pun dalam upaya melindungi produk lokal dari serbuan produk asing. Padahal, salah satu tujuan awal UU ini yakni dapat difungsikan sebagai barrier bagi masuknya produk asing ke Indonesia dalam rangka melindungi pelaku usaha kecil dan menengah.
Jika memahami pola kebijakan BPJPH berarti produk asing pun masih diperlakukan voluntary (sukarela) sertifikasi halal, dan ini berarti kebijakan pro terhadapasing, karena tetap membiarkan produk asing masuk dengan tanpa sertifikasi halal. Padahal, semangat dari UU JPH adalah melindungi warga negara untuk memperoleh produk halal, di samping itu kebijakan tersebut akan gagal melindungi pelaku usaha dan UKM dalam negeri dari serbuan produk asing.
BPJPH tidak dapat memberi tafsir sendiri mengenai pemberlakuan UU melalui penahapan dengan instrumen Peraturan Menteri Agama (Permenag) karena ketentuan UU bersifat lebih tinggi (superior) dibandingkan dengan Permenag. Pasal 67 UU JPH telah jelas mengatur mengenai jenis produk yang diatur secara bertahap akan dilakukan melalui PP Nomor 31 Tahun 2019 Pasal 72. Bunyi pasal 72 PP Nomor 31/2019 adalah:
(1) Kewajiban besertifikat halal bagi Jenis produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 71 dilakukan secara bertahap. (2) Penahapan kewajiban besertifikat halal bagi jenis produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
Kewajiban kehalalan produk sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; Produk sudah besertifikat halal sebelum UU JPH berlaku;Produk merupakan kebutuhan primer dan di konsumsi secara naif; Produk yang memiliki titik kritis ketidakhalalan yang tinggi; Kesiapan pelaku usaha dan; Kesiapan infrastruktur pelaksanaan JPH.
Pada poin a, b dan c berarti kepada jenis produk tersebut diberlakukan wajib sertifikat halal. Persoalannya adalah terhadap produk b dan c, produknya sama tetapi ada yang sudah dan belum besertifikat halal, misal untuk jenis roti. Misalnya roti merek tertentu yang telah besertifikat halal, maka mereka harus menjaga kehalalan produknya dan wajib memperpanjang sertifikasinya. Artinya ada kewajiban dan dikenakan sanksi bila tidak menjalankan kewajibannya sesuai dengan pasal di UU.
Sementara, seperti contoh roti merek lain yang sama jenisnya namun belum besertifikat halal, sesuai dengan ketentuan PP dan rancangan Permenag mengenai penahapan, maka pelaku usaha tersebut tidak memiliki kewajiban sampai lima tahun ke depan untuk menyesuaikan undang-undang. Dengan demikian, regulasi ini bersifat diskriminatif dan tidak adil serta tidak memiliki kepastian hukum.
Bila Kemenag dan BPJPH menerapkan kebijakan tersebut, jelas bertentangan dengan UU JPH, menciptakan ketidakpastian hukum, ambigu dan merugikan dunia usaha, masyarakat dan umat Islam. Tujuan dari UU JPH adalah untuk memberikan perlindungan kepada warga negara dalam rangka memperoleh produk halal. Dengan ditundanya kewajiban besertifikat halal bagi pelaku usaha, dengan dalih penahapan, maka semangatnya sudah tidak sejalan dengan undang-undang itu sendiri.
KH Ma’ruf Amin, selaku wakil presiden terpilih ketika menerima pengurus Indonesia Halal Watch (IHW) dan berdiskusi secara informal mengenai bagaimana implementasi UU JPH pada Selasa pekan lalu, menyampaikan bahwa apabila terjadi perbedaan pemahaman dalam menerapkan UU, maka harus dikembalikan kepada ketentuan undang-undang dan tidak membuat tafsir sendiri.
Sejalan dengan pemikiran KH Ma’ruf Amin sebagai maestro dan peletak dasar sistem jaminan halal di Indonesia, maka diperlukan rembuk dan musyawarah semua stakeholder untuk bersama-sama ikut berperan agar UU JPH dapat dilaksanakan dengan baik. Selanjutnya KH Ma’ruf Amin menyampaikan bahwa halal itu adalah hukum, batas yang halal dan yang haram sudah sangat jelas serta lembaga yang diberikan otoritas untuk menentukan kehalalan produk sudah jelas yakni MUI melalui Komisi Fatwa MUI.
Artinya, BPJPH tidak akan dapat berjalan sendiri tanpa MUI. Harus bekerja sama dengan baik dan harmonis karena tanpa fatwa MUI tidak pernah ada sertifikasi halal, yang juga berarti tidak ada produk halal yang besertifikat.
Kondisi riil saat ini, sampai dengan 2 September 2019, belum satu pun terbentuk Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang mendapatkan akreditasi dari BPJPH dan MUI. Sebagaimana Pasal 13 UU JPH, bahwa keberadaan LPH harus diakreditasi oleh BPJPH dan MUI. Padahal satu syarat utama bagi berfungsinya BPJPH adalah harus didirikannya LPH-LPH yang akan melakukan pemeriksaan produk halal yang pendaftarannya melalui BPJPH. Syarat LPH bisa melakukan pemeriksaan produk, wajib di akreditasi, sebagai LPH wajib memenuhi syarat yakni memiliki tiga orang auditor halal.
Selama BPJPH dibentuk yakni pada 14 Oktober 2017, belum ada satu pun auditor halal yang dihasilkan. Auditor yang ada saat ini berjumlah 1.061 orang yang telah mendapatkan sertifikasi dari MUI dan merupakan auditor halal yang selama ini bekerja. Auditor halal LPPOM MUI saat ini ada di 33 wilayah provinsi dari Aceh hingga Papua.
Untuk dapat menjalankan fungsi sebagai badan sertifikasi halal, BPJPH seyogianya telah menyiapkan sistem pendaftaran yang mudah diakses, memiliki perwakilan BPJPH di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, menetapkan tarif sertifikasi halal yang lebih baik.
Lalu, bagaimana dengan kesiapan BPJPH seperti disebutkan di atas yang belum satu pun infrastrukturnya terpenuhi? Bagaimana BPJPH dapat bertindak sekaligus menerima pendaftaran sertifikasi halal? Keadaan ini tentu tidak dapat dipaksakan. Apa pun alasan dan legal reason yang dibangun, karena itu akan dapat menimbulkan keadaan yang lebih buruk bagi dunia usaha dan pemerintah. Bahkan sebaliknya, justru akan menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha yang berdampak bagi perekonomian nasional.
Sekali lagi, sertifikasi halal itu sudah bukan lagi merupakan isu karena telah dijalankan dengan baik oleh LPPOM MUI selama 30 tahun dan telah mampu memberikan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat. Selain itu, juga telah berkontribusi besar bagi ketersediaan produk halal di masyarakat.
Hal ini harus dipandang sebagai instrumen pendorong bagi tumbuhnya industri halal. Saat ini yang harus kita fokuskan adalah bagaimana memperoleh manfaat dari perdagangan produk halal tersebut bagi masyarakat dan pemerintah agar mendongkrak devisa dan pertumbuhan ekonomi nasional. Bila kita masih terjebak pada bagaimana melakukan sertifikasi halal, itu artinya kita mundur 30 tahun.
Dengan melihat kenyataan bahwa BPJPH dari sisi organisasi, sistem dan infrastruktur serta kesiapan lainnya yang belum siap maka sesuai dengan UU JPH yakni Pasal 59 dan 60, maka kewenangan penyelenggara sertifikasi halal tetap harus diberikan kepada MUI sampai dengan BPJPH benar-benar siap. Kesiapan tersebut dapat diaudit melalui uji publik atas sistem dan infrastrukturnya. Jangan sampai menjadi trial and run karena sertifikasi halal berkaitan dengan keberlangsungan pelaku usaha dan industri.
(maf)