Polusi Jakarta dan Bahan Bakar Ramah Lingkungan

Senin, 02 September 2019 - 08:02 WIB
Polusi Jakarta dan Bahan Bakar Ramah Lingkungan
Polusi Jakarta dan Bahan Bakar Ramah Lingkungan
A A A
Tulus AbadiKetua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)

GUBERNUR DKI Jakarta Anies Baswedan dalam beberapa bulan terakhir tampak menjadi bulan-bulanan publik. Penyebabnya bukan soal banjir atau kemacetan lalu lintas yang memang masih menjadi “ikon” Kota Jakarta. Namun, Anies Baswedan tampak tertohok soal polusi di Jakarta. Pasalnya, Jakarta menjadi kota terpolusi kedua di dunia. Itulah data yang dilansir olehAirQuality Index.Buntutnya, udara di Jakarta dinyatakan sebagaiunhealthy, alias tidak sehat. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan ambang batas partikel debu terkecil adalah 25 mikrogram per meter kubik udara. Sementara kandungan partikel debu terkecil, baik kategori PM10 (particullate matter) maupun PM2.5, sebanyak 4.5 kali lipat dibanding standar WHO.

Gubernur Jakarta tak boleh bersikap defensif dan kebakaran jenggot karena faktanya seperti itu. Jika kita terbang di langit Jakarta, tampak sangat muram, kelabu; bak tertutup cerobong asap saja. Namun, juga sangat tidakfairjika menjadikan Anies Baswedan sebagai tersangka utama polusi di Jakarta. Kondisi dan polusi di Jakarta adalah klimaks dari persoalan sistem transportasi, bahkan buruknya tata kota di Jakarta. Dengan demikian, ini warisan para pemimpin Kota Jakarta sebelumnya, termasuk warisan Jokowi yang pernah mengomandani Kota Jakarta. Bahkan pemerintah pusat pun punya kontribusi signifikan terhadap polusi di Jakarta, terkait kebijakannya yang tidak konsisten.

Tidak terlalu sulit mencari sebab-musabab Jakarta sebagai salah satu kota terpolusi di dunia. Secara kasatmata penyebab paling dominan adalah sektor transportasi, sektor industri, pembangkit listrik batu bara, dan proyek infrastruktur besar di Jakarta. Sektor transportasi menjadi biang kerok terkait fenomena polusi di Jakarta. Jika dielaborasi lebih dalam, terdapat dua indikator mengapa sektor transportasi menjadi hulu persoalan polusi di Jakarta.Pertama, makin masifnya penggunaan kendaraan pribadi, baik roda empat atau roda dua. Lihatlah faktanya, jumlah sepeda motor di Jakarta kini tidak kurang dari 16 juta unit dengan pertumbuhan kepemilikan tidak kurang 1.800 sepeda motor baru per hari! Bagaimana dengan mobil?Sami mawondengan sepeda motor; kini tak kurang dari 6 juta unit mobil berplat nomor Jakarta.




Kedua, polusi di Jakarta makinteruk(parah, Bahasa Malaysia), yakni kualitas bahan bakar yang digunakan oleh kendaraan pribadi tersebut. Mayoritas kendaraan bermotor (ranmor) di Jakarta menggunakan jenis bahan bakar minyak (BBM), yang kurang/tidak berkualitas, yakni BBM dengan kandunganoctane number(RON) rendah, dan kandungan sulfur yang tinggi. Padahal, jenis BBM inilah yang menghasilkan karbon monoksida di udara Jakarta. Saat ini setidaknya ada tiga jenis BBM yang dominan dipakai oleh ranmor di Jakarta, yakni premium (RON 88), pertalite (RON 91), dan pertamaks, RON 92. Tiga jenis BBM inilah yang secara dominan menggerogoti Kota Jakarta, dan menjadi sumber polutan utama. Maka pantaslah bahwa dari lebih 19.165 ton polutan per hari di Jakarta, sumbernya adalah berasal dari sepeda motor (44,53%), mobil pribadi (16,11%), bus (21,43%), truk (17,7%), dan paling kecil bajaj (0,23%).

Ada beberapa saran konkret untuk membuat wajah Jakarta lebih, segar, adem, dan sehat;pertama, terkait lalu lintas adalah pengendalian penggunaan kendaraan pribadi secara serius dan komprehensif. Penerapan ganjil-genap masih terlihat setengah hati karena belum memasukkan sepeda motor. Apalagi, ada wacana mengecualikan taksi daring. Ini jelas wacana sesat dan antiregulasi. Masih tertundanya menerapkan kebijakan (electronic road pricing(ERP) juga merupakan wujud masih tidak seriusnya membatasi penggunaan kendaraan pribadi. Sebab, jika Anies masih malas-malasan membatasi penggunaan kendaraan bermotor pribadi, maka Jakarta akan makin macet, makin polusi, dan sarana transportasi massal yang telah dibangun akanmuspro, alias sia-sia.

Kedua, terkait bahan bakar, maka Anies Baswedan harus berani melarang penggunaan BBM kualitas rendah seperti premium, pertalite, dan atau yang setara dengan itu. Jenis BBM inilah yang menjadi pemicu utama polusi di Jakarta. Sudah waktunya, bahkan terlambat, jika Jakarta masih menggunakan BBM sekelas premium yang RON-nya hanya 88. Kalah dengan warga Papua yang sudah 50% menggunakan BBM jenis pertalite. Padahal, antara Jakarta dan Papua bukan tandingannya.

Makin teruknya polusi di Jakarta, juga atas kesalahan pemerintah pusat, khususnya Kementerian ESDM, yang membolehkan kembali penjualan BBM jenis premium di Pulau Jawa, termasuk di Kota Jakarta, saat Lebaran 2017. Padahal, semula sudah dikanalisasi bahwa penjualan BBM jenis premium hanya untuk area luar Pulau Jawa. Bahkan tragisnya, Kementerian ESDM juga melegalkan SPBU swasta menjual BBM bersubsidi, setara premium. Kebijakan ESDM ini jelas tidak kompatibel dengan upaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar Indonesia secara bertahap menggunakan BBM jenisEuro 4. Euro 4 itu setara dengan BBM RON 98, seperti pertamaks turbo.Lahbagaimana mau Euro 4 dengan RON 98,wongdengan Euro 2 yang berbasis RON 92 saja belum lulus? Premium dengan RON 88, adalah jenis BBM dengan kualitas rendah, hanya Indonesia dan beberapa gelintir negara di dunia yang masih menggunakan.

Simpulan, Saran

Menjadikan Jakarta sebagai kota yang ramah terhadap kesehatan manusiawi yang layak ditinggali, tidaklah gampang, tidak seperti membalikkan telapak tangan. Sekali lagi, ibarat penyakit sudah sangat kronis. Namun kondisi ini tak boleh dibiarkan berlarut. Kota Jakarta masih bisa diselamatkan dengan kebijakan yang radikal dan semua pihak bertanggung jawab, bukan hanya Gubernur Jakarta, tetapi pemerintah pusat, Multi kementerian dan lembaga. Bahkan industri otomotif pun harus dimintai pertanggungjawaban sosialnya. Sebab seharusnya industri otomotif membuat dan melakukan rekayasa mekanik dan teknologi agar mesin mobil (dan sepeda motor) yang dibuatnya kompatibel dengan BBM Euro 4, dan ada sanksi hukum jika melanggarnya. Dalam hal ini industri automotif sangat kentara tidak konsisten, malah terkesan melakukan pembiaran.

Konsumen sebagai pengguna BBM pun harus diberikan edukasi secara masif, agar terbangun kesadaran bahwa produk yang digunakan (BBM) menimbulkan dampak eksternalitas negatif pada lingkungan, kesehatan, dan bahkan sosial. Selain menuntut hak, konsumen pun harus mempunyai tanggung jawab yakni menjaga dan menyelamatkan bumi dan lingkungan dari polusi, dari kerusakan. Konsumen tidak hanya mengedepankan sisi transaksional. Karena itu, untuk menyelamatkan kota Jakarta dari polusi yang kian kronis, maka mengedepankan penggunaan BBM yang ramah lingkungan, yakni standarEuro 4,menjadi keniscayaan bagi semua pihak: pemerintah pusat, Pemprov DKI Jakarta, industri automotif, dan tentu saja masyarakat konsumen.

Tanpa itu, Jakarta akan makin tenggelam dengan kemacetan dan polusi dan tak ubahnya cerobong asap nan hitam pekat. Apakah hal ini yang akan diwariskan Anies Baswedan pada generasi mendatang?
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3331 seconds (0.1#10.140)