Papua, Kemanusiaan, dan Krisis Agraria

Jum'at, 30 Agustus 2019 - 06:51 WIB
Papua, Kemanusiaan,...
Papua, Kemanusiaan, dan Krisis Agraria
A A A
Eko Cahyono
Peneliti Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor (IPB)

Hal
yang sering diabaikan dalam melihat satu amok, protes, dan konflik sosial adalah apa akar historis yang melatarinya. Jika pun dijelaskan, umumnya lebih pada logika kausalitas jangka pendek yang memunculkan amok dan konflik hadir, dan sering tidak sampai pada kompleksitas yang mengepung pemicu amok dan konflik sosial itu terjadi.

Menurut Dom Helder Camara (Spiral and Violence, 1971) jika cara pandang dan solusi atas amok, konflik, dan kekerasan tidak memutus mata rantai akar masalah, dan menciptakan kekerasan yang terus susul-menyusul, akan lahir 'spiral kekerasan'.

Amok rakyat Papua di Manokwari dan aksi protes di Jayapura yang muncul pekan lalu hanyalah pucuk gunung es, dari yang tak terlihat di permukaan. Artinya, ekspresi amok dan protes itu tidak bisa dibaca sebagai reaksi atas tindakan kekerasan bernuansa rasialis di Malang dan Surabaya semata.

Namun, amok dan protes itu mesti dilihat lebih jauh sebagai bagian dari endapan panjang ketidakadilan dan penciptaan krisis kemanusiaan dan krisis agraria yang dialami rakyat Papua sejak proyek-proyek pembangunan berwatak politik pengabaian (politic of ignorance) dan eksploitatif-ekstraktif atas sumber agraria ruang hidup orang Papua.

Salah satu tonggak penting masuknya kebijakan pembangunan yang paling berpengaruh bagi orang Papua adalah pembangunan tambang emas PT Freeport Indonesia di Timika-Papua (1967).

Dampaknya, bukan semata multidimensi kerusakan sosial-ekologis, namun bisa jadi telah masuk kategori kejahatan Ecoside (Walhi, 2019) atau penghancuran ruang hidup dan malapetaka kemanusiaan rakyat Papua, khususnya suku Amungme.

Sebab, rusak dan hancurnya pegunungan Esrberg (gunung sakral bagi Suku Amungme), bukan semata hilangnya hutan, binatang, sumber pangan, sumber ekonomi atau tegakan kayu dan batu, tapi, yang tak banyak dilihat adalah hilangnya satu unsur kehidupan dan identitas peradaban orang Papua (Suku Amungme) dan masyarakat adat di sekitarnya.

Sebab, hubungan masyarakat adat Papua atas gunung dan alamnya (sebagaimana dijumpai di masyarakat adat lain di Nusantara) bukan semata hubungan ekonomis, tetapi hubungan berlapis (sosial, ekonomi, politik, budaya, religio-magic, dst). Kini, masyarakat Amungme sebagai pemegang hak adat Gunung Ersberg tidak bisa lagi menjejakkan kaki di tempat pemujaan (dugu-dugu) mereka di sekitar gunung suci Ersberg itu. Bagaimana mengganti identitas, sumber kepercayaan, dan peradaban yang punah?

Selama pemerintahan Orde Baru, dengan watak kebijakan developmentalistik dan top-down yang didukung pendekatan militeristik, telah menciptakan ketimpangan struktural dan ketergantungan (sosial-ekonomi) serta ketidakadilan (politik) yang mewariskan trauma dan stigmatisasi buruk pada Orang Papua hingga sekarang. Corak pembangunan Orde Baru memosisikan masyarakat Papua sebagai “terbelakang”, “tertinggal” dan sumber “gangguan” dari stabilitas nasional akibat gerakan separatisme yang muncul.

Akibatnya, Papua menjadi “objek pembangunan dan agenda kepentingan keamanan” nasional. Laporan Inkuiri Nasional Komnas HAM dan Masyarakat Sipil (2016) atas 40 kasus konflik masyarakat adat di dalam kawasan hutan (5 kasus dari Papua: Suku Malind-Merauke, Suku Yaresiam-Nabire, Suku Deiget, Keerom, Suku Moi, Walani dan Mee-Sorong, dan Suku Maerasi, Miere, Dusner dan Kuri-Wondama) menunjukkan bahwa pengabaian/ketiadaan pengakuan hak masyarakat adat/lokal/tempatan menjadi akar konflik (sosial-agraria). Dampaknya, tercipta beragam kekerasan dan pelanggaran HAM berat.

Di era Reformasi, masuknya proyek raksasa Merauke Integrated Food Energi Estate (MIFEE, 2010) menjadi penanda kelanjutan salah kaprah pembangunan atas orang Papua dan ruang hidupnya. Atas nama dan demi krisis pangan dan energi akan dikembangkan proyek kebun dan pangan dengan energi yang terintegrasi di Merauke.

Rencananya tahap awal akan dibuka lahan seluas 1,2 juta hektare, dalam kurun waktu 3 tahun dan mencakup 4,6 juta hektare pengembangannya hingga 2030. Praktik kebijakan pembangunan ini seolah menutup mata Merauke dan Papua itu “wilayah berpenghuni” dengan tata ruang adat mereka atas tanah air (hutan, lembah, sungai, gunung, laut-pesisir) dan alam mereka.

Pernahkah ditanyakan sungguh-sungguh bahwa proyek raksasa MIFEE (dan proyek pembangunan lainnya) itu diinginkan dan selaras dengan kebutuhan orang Merauke dan Papua?

Uraian sekelumit contoh proyek pembangunan di Papua itu adalah penegasan bahwa penciptaan petaka kemanusiaan dan krisis agraria yang dialami orang Papua sekarang adalah residu konsekuensi bersifat historis dari multidimensi kebijakan pembangunan (lokal, nasional dan global) yang dipaksakan masuk ke tanah Papua.

Api dalam Sekam Spiral Kekerasan

Buah utama dari residu konsekuensi kebijakan pembangunan berwatak politik of iqnorance di atas adalah ketimpangan struktural, ketidakadilan sosial-ekonomi-politik dan kekerasan. Menurut teori Camara (1971) kekerasan bisa terjadi dalam tiga bentuk: kekerasan personal, institusional, dan struktural. Wujudnya bisa berupa ketidakadilan, social riots (kerusuhan sosial), dan represi negara.

Fenomena kekerasan merupakan realitas multidimensi yang saling terkait. Dari ketiga bentuk kekerasan itu yang paling mendasar (menjadi sumber utama) adalah ketidakadilan sosial-ekonomi sekaligus sebagai kekerasan nomor satu yang bisa menimpa baik perseorangan, kelompok, maupun negara.

Kekerasan berupa ketidakadilan sosial-ekonomi ini bisanya hasil dari proses makin terkonvergensinya negara berkembang dalam sistem kapitalisme global. Ketidakadilan merupakan buah upaya elite nasional, sebagai kaki tangan atau agen rezim kapitalis internasional, dalam rangka memelihara kepentingan (ekonomi-politik dan ekologi) mereka.

Praktik pembangunan eksploitatif dan ekstraktif atas orang Papua dan alamnya, sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan bagaimana proses dehumanisasi dan pelanggaran HAM tercipta. Pada gilirannya, rakyat kebanyakan dikondisikan hidup di bawah standar yang layak sebagai manusia normal dan jadi warga negara kelas dua.

Kondisi ketidakadilan dan ketimpangan struktural, miskin-papa-hina-dina inilah yang mendorong munculnya berbagai bentuk amok, protes, dan kegaduhan sosial sebagai bentuk manifes dari kekerasan nomor dua. Amok di Manokwari, Jayapura, dan mungkin bisa merembet di belahan wilayah pulau Papua yang lain, menjadi penanda penting bentuk kekerasan nomor dua.

Atas dasar kekerasan pertama dan meletupkan reaksi dalam kekerasan kedua inilah rasionalisasi pembenaran pendekatan keamanan akan dilakukan. Penanganan dengan keamanan/militeristik dan represi negara atas pembangkangan, amok, protes, kerusuhan dan keonaran sipil lain inilah yang oleh Camara dikategorikan sebagai kekerasan nomor tiga.

Masyarakat Papua, selama pemerintahan Orde Baru dan bisa jadi hingga sekarang, masih mengalami proses spiral kekerasan sebagaimana direfleksikan oleh Camara, tentu dengan variasi yang berbeda dengan situasi di Brasil saat Camara mengalami langsung proses spiral kekerasan. Namun, benang merahnya sama, “ketika kekerasan susul-menyusul silih berganti, dunia jatuh ke dalam spiral kekerasan”.

Sebab teori spiral kekerasan membenarkan postulat “kekerasan merupakan mata rantai kekerasan lain”. Salah satu cara memutusnya adalah mengakhiri, sikap dan anggapan bahwa orang Papua dan alamnya sebagai objek dan penonton yang akan jadi korban kebijakan pembangunan.

Mereka mesti kembali menjadi subjek dan pemilik hak yang sah atas tanah airnya di Papua. Siapa pun yang datang ke sana dan atas nama apa pun, mesti hormat atas nilai, adat, budaya yang hidup di sana. Sudah terlalu lama bangsa ini tidak sungguh-sungguh memanusiakan orang Papua dan menjaga ruang hidupnya. Jadi teringat nasihat Gus Dur, “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.” Semoga para pemimpin negeri ini belajar dari keteladananmu di Papua, Gus.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0740 seconds (0.1#10.140)