Soal Imajinasi Budaya
A
A
A
Nadjamuddin Ramly
Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbud RI
Sang jenius Albert Einstein pernah bilang, "Imajinasi lebih penting dari pengetahuan." Alasannya, "Karena pengetahuan terbatas, sedangkan imajinasi mencakup seluruh dunia, merangsang kemajuan, melahirkan evolusi."
Melalui imajinasinya, Einstein menciptakan teori relativitas yang dikenang sepanjang abad. Mungkin karena itu pula, seorang fasilitator di acara Kemah Budaya Kaum Muda yang berlangsung di Candi Prambanan beberapa waktu lalu lantas membuat kesimpulan agak aneh: "Imajinasi adalah inti kebudayaan." Padahal, menurut Ralph Linton, inti kebudayaan adalah sistem nilai, keyakinan agama, dan adat istiadat. Bukan imajinasi.
Dalam bukunya The Study of Man (1936), antropolog Linton menyebut kebudayaan terdiri dari inti tadi, lalu pada bagian luar terdapat wujud lahiriah berupa bentuk fisik atau objek kebudayaan. Setiap item objek kebudayaan, meski bentuknya diubah sesuai tuntutan zaman, dapat dikenali selama intinya dipertahankan. Kita terbiasa berpikir tentang budaya yang terkait dengan masa lalu, dengan konservasi, transmisi, dan pewarisan tradisi masyarakat tertentu.
Tetapi budaya juga memiliki wajah yang mengarah ke masa depan, ke kebudayaan yang maju sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Sisi budaya yang prospektif ini, yang terdiri dari penemuan dan bukan konservasi, mesti dikembangkan melalui imajinasi dan ingatan.
Kemah Budaya Kaum Muda mencoba merangsang dua kemampuan bawaan yang saling melengkapi ini, yang juga pasti dimiliki para pemuda yang belakangan sering diberi label milenial. Mereka didorong ikut mengatasi tantangan lingkungan baru era informasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan mengembangkan imajinasi sebagai sumber daya budaya. Di sini imajinasi bukan menjadi inti kebudayaan, tapi menjadi sumber dayanya yang memberikan ide-ide visioner bagi pemajuan kebudayaan.
Mereka diberi rangsangan dan dorongan untuk mengembangkan kedua potensi mereka tadi dalam memajukan kebudayaan bersama komponen masyarakat lain, sekaligus diajak memahami situasi ambigu yang tercipta akibat adopsi teknologi baru yang tak terelakkan dan dikembangkan secara masif.
Sebagai milenial, mereka tentu sadar bahwa mereka sedang hidup di era teknologi yang membentuk lingkungan hidup dan kerja baru. Teknologi komputer tak dimungkiri sedang membangun skenario baru cara manusia bekerja, di mana masa depan dan sekarang bercampur aneh dan unik, bahkan sering mengagetkan. Memahami situasi saat ini membutuhkan imajinasi budaya, yang sering mengaduk rasa curiga dan penerimaan atas kemungkinan bentuk kehidupan lain.
Bentuknya bisa saja berbeda dari yang sudah kita kenal, yang membentuk pikiran kita melalui proses transmisi budaya. Jenis imajinasi ini, yang disebut Shweder (1996) sebagai "etnografi sejati," dapat mengajarkan kepada kita apa artinya hidup berbeda. Bagaimana rasanya memiliki preferensi yang berbeda dalam hal nilai, tujuan, selera, keinginan, dan cita-cita, serta bagaimana hidup di tengah ragam hambatan tak terduga. Biasanya kita berpikir tentang imajinasi dalam kerja individual, sebagai proses kreatif untuk menemukan artefak baru atau aplikasi baru bagi artefak yang ada.
Tapi seperti ditekankan dalam Kemah Budaya, imajinasi yang kita maksudkan sekarang lebih merupakan sumber daya komunitas ketimbang individu. Pada akhir milenium, kita memerlukan imajinasi budaya dapat memberi kita jawaban atas pertanyaan berorientasi masa depan. Misalnya bagaimana rasanya menjadi dokter dengan belajar di lingkungan virtual (VE), alih-alih di dunia nyata konvensional? Atau, bagaimana nanti menjadi rekan kerja di kantor virtual? Baik imajinasi maupun ingatan, diperlukan untuk usaha menghasilkan jawaban yang masuk akal atas pertanyaan-pertanyaan masa depan seperti di atas.
Keduanya mengembangkan dan membuat kita dapat mengakses dunia makna dan praktik yang tampaknya jauh dari yang kita kenal. Imajinasi diperlukan terutama dalam periode perubahan yang cepat dan mendalam, karena teknologi mengubah cara orang berinteraksi di antara mereka sendiri dan dengan lingkungan mereka. Sebagai sumber daya kebudayaan, imajinasi mesti dikerahkan untuk melahirkan artefak-artefak budaya baru yang dibutuhkan.
Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbud RI
Sang jenius Albert Einstein pernah bilang, "Imajinasi lebih penting dari pengetahuan." Alasannya, "Karena pengetahuan terbatas, sedangkan imajinasi mencakup seluruh dunia, merangsang kemajuan, melahirkan evolusi."
Melalui imajinasinya, Einstein menciptakan teori relativitas yang dikenang sepanjang abad. Mungkin karena itu pula, seorang fasilitator di acara Kemah Budaya Kaum Muda yang berlangsung di Candi Prambanan beberapa waktu lalu lantas membuat kesimpulan agak aneh: "Imajinasi adalah inti kebudayaan." Padahal, menurut Ralph Linton, inti kebudayaan adalah sistem nilai, keyakinan agama, dan adat istiadat. Bukan imajinasi.
Dalam bukunya The Study of Man (1936), antropolog Linton menyebut kebudayaan terdiri dari inti tadi, lalu pada bagian luar terdapat wujud lahiriah berupa bentuk fisik atau objek kebudayaan. Setiap item objek kebudayaan, meski bentuknya diubah sesuai tuntutan zaman, dapat dikenali selama intinya dipertahankan. Kita terbiasa berpikir tentang budaya yang terkait dengan masa lalu, dengan konservasi, transmisi, dan pewarisan tradisi masyarakat tertentu.
Tetapi budaya juga memiliki wajah yang mengarah ke masa depan, ke kebudayaan yang maju sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Sisi budaya yang prospektif ini, yang terdiri dari penemuan dan bukan konservasi, mesti dikembangkan melalui imajinasi dan ingatan.
Kemah Budaya Kaum Muda mencoba merangsang dua kemampuan bawaan yang saling melengkapi ini, yang juga pasti dimiliki para pemuda yang belakangan sering diberi label milenial. Mereka didorong ikut mengatasi tantangan lingkungan baru era informasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan mengembangkan imajinasi sebagai sumber daya budaya. Di sini imajinasi bukan menjadi inti kebudayaan, tapi menjadi sumber dayanya yang memberikan ide-ide visioner bagi pemajuan kebudayaan.
Mereka diberi rangsangan dan dorongan untuk mengembangkan kedua potensi mereka tadi dalam memajukan kebudayaan bersama komponen masyarakat lain, sekaligus diajak memahami situasi ambigu yang tercipta akibat adopsi teknologi baru yang tak terelakkan dan dikembangkan secara masif.
Sebagai milenial, mereka tentu sadar bahwa mereka sedang hidup di era teknologi yang membentuk lingkungan hidup dan kerja baru. Teknologi komputer tak dimungkiri sedang membangun skenario baru cara manusia bekerja, di mana masa depan dan sekarang bercampur aneh dan unik, bahkan sering mengagetkan. Memahami situasi saat ini membutuhkan imajinasi budaya, yang sering mengaduk rasa curiga dan penerimaan atas kemungkinan bentuk kehidupan lain.
Bentuknya bisa saja berbeda dari yang sudah kita kenal, yang membentuk pikiran kita melalui proses transmisi budaya. Jenis imajinasi ini, yang disebut Shweder (1996) sebagai "etnografi sejati," dapat mengajarkan kepada kita apa artinya hidup berbeda. Bagaimana rasanya memiliki preferensi yang berbeda dalam hal nilai, tujuan, selera, keinginan, dan cita-cita, serta bagaimana hidup di tengah ragam hambatan tak terduga. Biasanya kita berpikir tentang imajinasi dalam kerja individual, sebagai proses kreatif untuk menemukan artefak baru atau aplikasi baru bagi artefak yang ada.
Tapi seperti ditekankan dalam Kemah Budaya, imajinasi yang kita maksudkan sekarang lebih merupakan sumber daya komunitas ketimbang individu. Pada akhir milenium, kita memerlukan imajinasi budaya dapat memberi kita jawaban atas pertanyaan berorientasi masa depan. Misalnya bagaimana rasanya menjadi dokter dengan belajar di lingkungan virtual (VE), alih-alih di dunia nyata konvensional? Atau, bagaimana nanti menjadi rekan kerja di kantor virtual? Baik imajinasi maupun ingatan, diperlukan untuk usaha menghasilkan jawaban yang masuk akal atas pertanyaan-pertanyaan masa depan seperti di atas.
Keduanya mengembangkan dan membuat kita dapat mengakses dunia makna dan praktik yang tampaknya jauh dari yang kita kenal. Imajinasi diperlukan terutama dalam periode perubahan yang cepat dan mendalam, karena teknologi mengubah cara orang berinteraksi di antara mereka sendiri dan dengan lingkungan mereka. Sebagai sumber daya kebudayaan, imajinasi mesti dikerahkan untuk melahirkan artefak-artefak budaya baru yang dibutuhkan.
(maf)