Pertanian dan Teknologi
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
SAAT ini dengung perkembangan teknologi sudah setiap saat kita baca dan dengarkan melalui berbagai media sosial. Infiltrasi teknologi pada seluruh struktur ekonomi berjalan cukup cepat dan mengagetkan, terutama sentuhan terhadap sektor keuangan dan perbankan.
Pemanfaatan teknologi dipercaya dapat melipatgandakan keuntungan para penggunanya. Lalu, bagaimana dengan sektor pertanian? Mungkin dalam kondisi eksisting sektor ini masih menjadi pengecualian.
Sektor pertanian cenderung bernilai tambah kecil dan para tenaga kerjanya cenderung telah menua (mayoritas > 60 tahun). Mayoritas tenaga kerjanya juga memiliki latar pendidikan yang rendah dengan jumlah SDM yang tidak bersekolah-tamatan SD mencapai 68,02%, SMP sebesar 16,51%, SMA/SMK sebesar 13,61%, dan lulusan perguruan tinggi hanya mencapai 1,86% (BPS, 2019).
Struktur tenaga kerja yang kurang bertenaga tersebut menjadi salah satu alasan mengapa sektor ini sulit melakukan perubahan dan inovasi radikal. Kebutuhan teknologi pada sektor pertanian tidak hanya pada sisi produksi, tetapi juga diperlukan pada sisi pengolahan dan pemasaran serta rekayasa produksi.
Dengan latar belakang SDM yang sekarang, tampaknya penerapan teknologi akan sulit dilakukan dan dampaknya mungkin sangat terbatas. Faktor SDM sendiri sangat berpengaruh pada perilaku dan efeknya juga menjalar pada gaya pengelolaan yang terlalu tradisional. Karena itu, hanya sentuhan teknologi dan berbagai bentuk insentif bersaing yang akan merangsang minat anak-anak muda dan inovasi untuk mewarnai sektor ini.
Ramai-Ramai Membangun Desa
Keberadaan sektor pertanian masih sangat penting terhadap pembangunan Indonesia. Alasan yang pertama, sektor pertanian merupakan palang pintu ketahanan pangan.
Ketahanan pangan sendiri nanti akan berimplikasi positif pada kecukupan gizi dan standar hidup layak (kesejahteraan) bagi penduduk di suatu wilayah. Peningkatan jumlah penduduk juga akan menuntut ketersediaan pangan yang kian membesar sehingga produktivitas pertanian perlu dijaga untuk menjamin kualitas hidup yang lebih baik dan berimbang.
Kedua, pertanian merupakan ciri kultural Indonesia sebagai negara agraris, terutama di wilayah perdesaan. Anugerah Tuhan yang memberikan tanah yang subur patut kita syukuri dengan memanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan kemakmuran bangsa.
Ketiga, pertanian merupakan ladang pekerjaan utama bagi mayoritas tenaga kerja di Indonesia (29,46%). Kondisi ini terus berjalan selama beberapa dekade kendati tingkat persentasenya cenderung banyak mengalami penurunan.
Akan tetapi, jumlah yang sangat besar tersebut kurang diikuti dengan pendapatan per kapita yang memadai. Nilai PDB per kapita yang dihasilkan pada 2018 hanya mencapai Rp53,23 juta.
Angka tersebut relatif jauh dibandingkan sektor-sektor ekonomi modern seperti industri (Rp161,48 juta), perdagangan (Rp83,73 juta), informasi dan komunikasi (Rp624,87 juta), jasa keuangan (Rp342,95 juta), dan real estate yang dalam setahun menghasilkan PDB per kapita sebesar Rp1.042,86 juta (BPS, 2019). Akibatnya, shifting sektoral sulit dihindarkan serta para pekerja muda dan terdidik kurang berminat untuk berkecimpung di sektor pertanian karena penghasilan yang ditawarkan kurang bersaing untuk peningkatan kesejahteraan.
Peningkatan shifting tenaga kerja secara sektoral juga kurang diimbangi dengan adaptasi keterampilan. Banyak orang tua yang dahulunya bekerja di sektor pertanian yang menginginkan anak-anaknya berkreasi di sektor nonpertanian dengan harapan mereka akan mendapatkan penghasilan yang lebih menggiurkan.
Akan tetapi, tidak sedikit yang alpa untuk membekali putra-putrinya untuk memiliki keterampilan yang spesifik. Akibatnya, masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran terbuka khususnya untuk kalangan terdidik penyelesaiannya menjadi kian runyam. Laju urbanisasi juga menjadi sulit terhindarkan karena peluang kerja yang terbatas, terutama di sektor nonpertanian yang menawarkan upah yang lebih baik.Lalu, bagaimana solusinya? Pertama, sarana dan prasarana pertanian perlu diperbaiki, termasuk dengan menerapkan teknologi mutakhir yang dapat menunjang produktivitas. Saat ini pemangku kebijakan pertanian juga menghadapi tantangan jumlah lahan yang kian menyempit akibat konversi lahan yang semakin tak terbatas.
Pada umumnya alih fungsi lahan pertanian terjadi akibat peningkatan konstruksi perumahan, industri, dan pengembangan infrastruktur. Karena itu, rekayasa produksi perlu digenjot untuk menjaga produktivitas tetap tinggi. Selain itu, teknologi produksi juga perlu ditingkatkan untuk meminimalisasi kegagalan panen.
Kita bisa belajar dari Jepang yang menerapkan Revolusi Pertanian 5.0 dengan mengakomodasi fungsi teknologi sebagai “asisten” petani. Mereka sudah menggunakan berbagai aplikasi untuk menjaga kualitas produksinya tetap baik seperti untuk mendeteksi kondisi lahan, tanaman, peternakan, dan cuaca.
Selain itu, mereka juga memanfaatkan teknologi untuk melakukan perawatan seperti irigasi, pemupukan, dan deteksi hama. Yang tidak kalah pentingnya adalah keberadaan sistem informasi untuk stok dan harga pangan yang sangat mendukung stabilitas pasokan dan harga (inflasi) serta nilai tukar petani (NTP). Masalah-masalah struktural inilah yang di negara kita belum banyak teratasi.
Kedua, pengembangan tenaga kerja (SDM). Tantangan SDM di sektor pertanian adalah skill yang terbatas karena faktor usia dan tingkat pendidikan. Dengan kondisi yang sekarang, kita perlu melakukan peremajaan dan pengembangan skill tenaga kerja, salah satunya melalui pendidikan/pelatihan yang berorientasi pada keterampilan/praktik produksi (tidak sebatas knowledge).
Untuk itu, sekolah vokasi atau community colleague bisa menjadi alternatif yang paling ideal untuk menggenjot tingkat keterampilan SDM di sektor pertanian. Nah, terkait persoalan peremajaan, kita bisa belajar dari pengalaman Jepang dan Desa Pujon Kidul di Kabupaten Malang yang bisa menahan para tenaga kerja mudanya untuk tidak “keluar” dari desanya.
Jepang menggunakan sumber daya fiskalnya (laiknya dana desa di Indonesia) untuk membiayai para pemudanya agar terlibat dalam pengembangan teknologi pertanian. Selain itu, mereka juga membangun wisata edukasi berbasis pertanian untuk menanamkan kecintaan anak-anak sekolah terhadap eksistensi pertanian.
Sementara itu, Desa Pujon Kidul menjadi success story terkait penggunaan dana desa. Para pemuda di desa tersebut diberi ruang untuk memanfaatkan potensi fiskal tersebut menjadi penggerak perekonomian desa melalui pengembangan pariwisata berbasis potensi lokal seperti pertanian, peternakan, perikanan, serta usaha mikro dan kecil di lingkungan sekitar.
Ketiga, pembangunan kelembagaan. Beberapa hari terakhir muncul di berbagai media berita mengenai kasus penangkapan terhadap salah seorang kepala desa di Aceh karena memproduksi dan mengedarkan bibit nonsertifikat.
Berita tersebut cukup menghebohkan lantaran ada persyaratan kelembagaan yang belum dipenuhinya secara legal formal. Terlepas kasus hukum yang tengah menjeratnya, kita patut mengapresiasi pada sisi kreativitasnya untuk melahirkan inovasi benih unggulan. Dan, ternyata kasus seperti ini sudah terjadi di beberapa daerah.
Poin yang ingin penulis sampaikan adalah pemerintah perlu menyikapi kejadian ini dengan hati-hati. Sebenarnya inovasi pertanian sudah terjadi di beberapa daerah, tapi kurang mendapat atensi dan perlindungan luas dari pemerintah setempat sehingga nilai manfaatnya belum digarap dan disebarluaskan secara maksimal.
Selain persoalan pengaturan legal formal, faktor kelembagaan berikutnya adalah keberadaan institusi yang mampu menaungi aktivitas pertanian dari hulu ke hilir. Contoh kasusnya adalah nilai jual produk pertanian yang merosot pada saat panen raya.
Kendati hal tersebut cukup lazim pada saat kita menggunakan hukum inflasi dari sisi suplai, kita seharusnya tidak membiarkan kejadian tersebut terus terulang hingga mematikan semangat petani untuk meningkatkan produktivitasnya. Pada saat panen raya kemungkinan excess supply memang akan sangat tinggi.
Untuk itu, kita perlu memberikan sentuhan dengan menghidupkan aktivitas off-farm melalui industrialisasi pertanian (agroindustri). Stok hasil pertanian yang berlebih dapat diolah menjadi produk olahan, terutama pada komoditas yang daya tahannya tidak cukup panjang.
Dalam beberapa pengalaman, agroindustri ternyata mampu meningkatkan nilai tambah produk dan melahirkan lapangan pekerjaan tambahan terutama di wilayah perdesaan. Selain itu, juga mampu membatasi agar produk primer yang dihasilkan harganya tidak sampai anjlok. Yang kita butuhkan sekarang adalah institusi yang mampu menggerakkan pertanian dan ekonomi perdesaan agar dikelola secara lebih modern.
Keberadaan badan usaha milik desa (BUMDes) mungkin yang paling dekat untuk saat ini karena regulasi yang mewajibkan setiap desa memiliki BUMDes. Eksistensi BUMDes di masa sekarang pun ditunjang dengan keberadaan dana desa maupun alokasi dana desa (ADD) yang rajin dikucurkan setiap tahun.
Setelah dalam 3-4 tahun terakhir dana desa dan ADD lebih banyak dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan belanja aparatur desa, mungkin sudah waktunya sumber daya fiskal tersebut digunakan untuk ihwal yang lebih produktif, mulai dari pengembangan teknologi hingga pembangunan institusi yang kuat untuk menggerakkan perekonomian desa.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
SAAT ini dengung perkembangan teknologi sudah setiap saat kita baca dan dengarkan melalui berbagai media sosial. Infiltrasi teknologi pada seluruh struktur ekonomi berjalan cukup cepat dan mengagetkan, terutama sentuhan terhadap sektor keuangan dan perbankan.
Pemanfaatan teknologi dipercaya dapat melipatgandakan keuntungan para penggunanya. Lalu, bagaimana dengan sektor pertanian? Mungkin dalam kondisi eksisting sektor ini masih menjadi pengecualian.
Sektor pertanian cenderung bernilai tambah kecil dan para tenaga kerjanya cenderung telah menua (mayoritas > 60 tahun). Mayoritas tenaga kerjanya juga memiliki latar pendidikan yang rendah dengan jumlah SDM yang tidak bersekolah-tamatan SD mencapai 68,02%, SMP sebesar 16,51%, SMA/SMK sebesar 13,61%, dan lulusan perguruan tinggi hanya mencapai 1,86% (BPS, 2019).
Struktur tenaga kerja yang kurang bertenaga tersebut menjadi salah satu alasan mengapa sektor ini sulit melakukan perubahan dan inovasi radikal. Kebutuhan teknologi pada sektor pertanian tidak hanya pada sisi produksi, tetapi juga diperlukan pada sisi pengolahan dan pemasaran serta rekayasa produksi.
Dengan latar belakang SDM yang sekarang, tampaknya penerapan teknologi akan sulit dilakukan dan dampaknya mungkin sangat terbatas. Faktor SDM sendiri sangat berpengaruh pada perilaku dan efeknya juga menjalar pada gaya pengelolaan yang terlalu tradisional. Karena itu, hanya sentuhan teknologi dan berbagai bentuk insentif bersaing yang akan merangsang minat anak-anak muda dan inovasi untuk mewarnai sektor ini.
Ramai-Ramai Membangun Desa
Keberadaan sektor pertanian masih sangat penting terhadap pembangunan Indonesia. Alasan yang pertama, sektor pertanian merupakan palang pintu ketahanan pangan.
Ketahanan pangan sendiri nanti akan berimplikasi positif pada kecukupan gizi dan standar hidup layak (kesejahteraan) bagi penduduk di suatu wilayah. Peningkatan jumlah penduduk juga akan menuntut ketersediaan pangan yang kian membesar sehingga produktivitas pertanian perlu dijaga untuk menjamin kualitas hidup yang lebih baik dan berimbang.
Kedua, pertanian merupakan ciri kultural Indonesia sebagai negara agraris, terutama di wilayah perdesaan. Anugerah Tuhan yang memberikan tanah yang subur patut kita syukuri dengan memanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan kemakmuran bangsa.
Ketiga, pertanian merupakan ladang pekerjaan utama bagi mayoritas tenaga kerja di Indonesia (29,46%). Kondisi ini terus berjalan selama beberapa dekade kendati tingkat persentasenya cenderung banyak mengalami penurunan.
Akan tetapi, jumlah yang sangat besar tersebut kurang diikuti dengan pendapatan per kapita yang memadai. Nilai PDB per kapita yang dihasilkan pada 2018 hanya mencapai Rp53,23 juta.
Angka tersebut relatif jauh dibandingkan sektor-sektor ekonomi modern seperti industri (Rp161,48 juta), perdagangan (Rp83,73 juta), informasi dan komunikasi (Rp624,87 juta), jasa keuangan (Rp342,95 juta), dan real estate yang dalam setahun menghasilkan PDB per kapita sebesar Rp1.042,86 juta (BPS, 2019). Akibatnya, shifting sektoral sulit dihindarkan serta para pekerja muda dan terdidik kurang berminat untuk berkecimpung di sektor pertanian karena penghasilan yang ditawarkan kurang bersaing untuk peningkatan kesejahteraan.
Peningkatan shifting tenaga kerja secara sektoral juga kurang diimbangi dengan adaptasi keterampilan. Banyak orang tua yang dahulunya bekerja di sektor pertanian yang menginginkan anak-anaknya berkreasi di sektor nonpertanian dengan harapan mereka akan mendapatkan penghasilan yang lebih menggiurkan.
Akan tetapi, tidak sedikit yang alpa untuk membekali putra-putrinya untuk memiliki keterampilan yang spesifik. Akibatnya, masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran terbuka khususnya untuk kalangan terdidik penyelesaiannya menjadi kian runyam. Laju urbanisasi juga menjadi sulit terhindarkan karena peluang kerja yang terbatas, terutama di sektor nonpertanian yang menawarkan upah yang lebih baik.Lalu, bagaimana solusinya? Pertama, sarana dan prasarana pertanian perlu diperbaiki, termasuk dengan menerapkan teknologi mutakhir yang dapat menunjang produktivitas. Saat ini pemangku kebijakan pertanian juga menghadapi tantangan jumlah lahan yang kian menyempit akibat konversi lahan yang semakin tak terbatas.
Pada umumnya alih fungsi lahan pertanian terjadi akibat peningkatan konstruksi perumahan, industri, dan pengembangan infrastruktur. Karena itu, rekayasa produksi perlu digenjot untuk menjaga produktivitas tetap tinggi. Selain itu, teknologi produksi juga perlu ditingkatkan untuk meminimalisasi kegagalan panen.
Kita bisa belajar dari Jepang yang menerapkan Revolusi Pertanian 5.0 dengan mengakomodasi fungsi teknologi sebagai “asisten” petani. Mereka sudah menggunakan berbagai aplikasi untuk menjaga kualitas produksinya tetap baik seperti untuk mendeteksi kondisi lahan, tanaman, peternakan, dan cuaca.
Selain itu, mereka juga memanfaatkan teknologi untuk melakukan perawatan seperti irigasi, pemupukan, dan deteksi hama. Yang tidak kalah pentingnya adalah keberadaan sistem informasi untuk stok dan harga pangan yang sangat mendukung stabilitas pasokan dan harga (inflasi) serta nilai tukar petani (NTP). Masalah-masalah struktural inilah yang di negara kita belum banyak teratasi.
Kedua, pengembangan tenaga kerja (SDM). Tantangan SDM di sektor pertanian adalah skill yang terbatas karena faktor usia dan tingkat pendidikan. Dengan kondisi yang sekarang, kita perlu melakukan peremajaan dan pengembangan skill tenaga kerja, salah satunya melalui pendidikan/pelatihan yang berorientasi pada keterampilan/praktik produksi (tidak sebatas knowledge).
Untuk itu, sekolah vokasi atau community colleague bisa menjadi alternatif yang paling ideal untuk menggenjot tingkat keterampilan SDM di sektor pertanian. Nah, terkait persoalan peremajaan, kita bisa belajar dari pengalaman Jepang dan Desa Pujon Kidul di Kabupaten Malang yang bisa menahan para tenaga kerja mudanya untuk tidak “keluar” dari desanya.
Jepang menggunakan sumber daya fiskalnya (laiknya dana desa di Indonesia) untuk membiayai para pemudanya agar terlibat dalam pengembangan teknologi pertanian. Selain itu, mereka juga membangun wisata edukasi berbasis pertanian untuk menanamkan kecintaan anak-anak sekolah terhadap eksistensi pertanian.
Sementara itu, Desa Pujon Kidul menjadi success story terkait penggunaan dana desa. Para pemuda di desa tersebut diberi ruang untuk memanfaatkan potensi fiskal tersebut menjadi penggerak perekonomian desa melalui pengembangan pariwisata berbasis potensi lokal seperti pertanian, peternakan, perikanan, serta usaha mikro dan kecil di lingkungan sekitar.
Ketiga, pembangunan kelembagaan. Beberapa hari terakhir muncul di berbagai media berita mengenai kasus penangkapan terhadap salah seorang kepala desa di Aceh karena memproduksi dan mengedarkan bibit nonsertifikat.
Berita tersebut cukup menghebohkan lantaran ada persyaratan kelembagaan yang belum dipenuhinya secara legal formal. Terlepas kasus hukum yang tengah menjeratnya, kita patut mengapresiasi pada sisi kreativitasnya untuk melahirkan inovasi benih unggulan. Dan, ternyata kasus seperti ini sudah terjadi di beberapa daerah.
Poin yang ingin penulis sampaikan adalah pemerintah perlu menyikapi kejadian ini dengan hati-hati. Sebenarnya inovasi pertanian sudah terjadi di beberapa daerah, tapi kurang mendapat atensi dan perlindungan luas dari pemerintah setempat sehingga nilai manfaatnya belum digarap dan disebarluaskan secara maksimal.
Selain persoalan pengaturan legal formal, faktor kelembagaan berikutnya adalah keberadaan institusi yang mampu menaungi aktivitas pertanian dari hulu ke hilir. Contoh kasusnya adalah nilai jual produk pertanian yang merosot pada saat panen raya.
Kendati hal tersebut cukup lazim pada saat kita menggunakan hukum inflasi dari sisi suplai, kita seharusnya tidak membiarkan kejadian tersebut terus terulang hingga mematikan semangat petani untuk meningkatkan produktivitasnya. Pada saat panen raya kemungkinan excess supply memang akan sangat tinggi.
Untuk itu, kita perlu memberikan sentuhan dengan menghidupkan aktivitas off-farm melalui industrialisasi pertanian (agroindustri). Stok hasil pertanian yang berlebih dapat diolah menjadi produk olahan, terutama pada komoditas yang daya tahannya tidak cukup panjang.
Dalam beberapa pengalaman, agroindustri ternyata mampu meningkatkan nilai tambah produk dan melahirkan lapangan pekerjaan tambahan terutama di wilayah perdesaan. Selain itu, juga mampu membatasi agar produk primer yang dihasilkan harganya tidak sampai anjlok. Yang kita butuhkan sekarang adalah institusi yang mampu menggerakkan pertanian dan ekonomi perdesaan agar dikelola secara lebih modern.
Keberadaan badan usaha milik desa (BUMDes) mungkin yang paling dekat untuk saat ini karena regulasi yang mewajibkan setiap desa memiliki BUMDes. Eksistensi BUMDes di masa sekarang pun ditunjang dengan keberadaan dana desa maupun alokasi dana desa (ADD) yang rajin dikucurkan setiap tahun.
Setelah dalam 3-4 tahun terakhir dana desa dan ADD lebih banyak dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan belanja aparatur desa, mungkin sudah waktunya sumber daya fiskal tersebut digunakan untuk ihwal yang lebih produktif, mulai dari pengembangan teknologi hingga pembangunan institusi yang kuat untuk menggerakkan perekonomian desa.
(poe)