Menerjang Jalan Defisit
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
DAMPAK neraca perdagangan tergolong serius terhadap perekonomian Indonesia. Selain berkaitan dengan neraca transaksi berjalan (current account) dan efek dominonya terhadap nilai tukar rupiah, neraca perdagangan juga merefleksikan tingkat produktivitas domestik baik dari sisi input maupun output. Dalam perkembangan terakhir, neraca perdagangan kita masih terjerembab cukup dalam di angka defisit.
Selama periode Januari–Juni 2019, total defisit perdagangan mencapai USD1,93 miliar dan meningkat 60,83% bila dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018 (yoy). Akibatnya proyeksi neraca transaksi berjalan pada kuartal II/2019 relatif menjadi suram.
Kendati belum dirilis Bank Indonesia (BI), banyak pihak yang menebak defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) akan kian lebar pada kuartal II. Hal ini mengacu pada tren periode-periode sebelumnya seperti kondisi pada kuartal I/2019 kemarin.
Pada saat itu dengan defisit perdagangan hanya USD0,19 miliar saja CAD kita sudah mencapai USD6,96 miliar. Apalagi dengan kondisi yang sekarang, akan sangat mungkin nilai CAD-nya kian membengkak daripada sebelumnya.
Sebenarnya neraca perdagangan kita pada Juni 2019 kemarin tengah surplus tipis sebesar USD0,2 miliar, tetapi dampaknya kurang terasa karena bulan-bulan sebelumnya secara agregat kita mengalami defisit yang cukup dalam.Kalau kita lihat sekilas, penyebab utama jebloknya neraca perdagangan Indonesia lantaran kinerja ekspor yang belum menunjukkan perbaikan signifikan. Nilai ekspor kita selama semester I/2019 menurun 8,57% bila dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018 (yoy).
Jika ditelaah lebih dalam lagi, sektor industri pengolahan selaku kontributor utama (74,88%), kian lemah kinerja nilai ekspornya dengan penurunan 4,59% selama semester I/2019. Belum lagi dengan pukulan dari harga komoditas andalan ekspor yang juga tengah mengalami kontraksi.
Yang terburuk, berdasarkan data BPS (2019), terjadi pada harga batu bara yang anjlok hingga 30%. Kondisi serupa juga terjadi pada harga minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) yang turun hingga 8,02%.
Indonesia mulai merasakan beratnya “kutukan” kebijakan akibat terlalu mengandalkan ekspor komoditas mentah. Apalagi kita relatif lelet untuk melakukan transisi pada saat harga komoditas tidak se-booming sebelumnya. Akibatnya kinerja industri turut melemah karena nilai tukar yang terus merosot dalam beberapa tahun terakhir.
Hal ini juga berkaitan dengan kebiasaan kita yang terlalu bergantung pada impor bahan baku dan barang penolong untuk mencukupi sebagian besar input produksi dalam negeri. Transformasi struktural menuntut agar terus dilakukan demi menjaga keberlangsungan daya saing industri domestik.
Perlu Insentif
Pemerintah sendiri sebenarnya tidak hanya tinggal diam dalam menyikapi kondisi seperti sekarang ini. Kucuran insentif pajak dan impor bahan baku sudah banyak dilayangkan kendati hasilnya belum memenuhi ekspektasi.
Bahkan beberapa paket kebijakan sudah diterbitkan secara gradual untuk menginjeksi produksi dalam negeri. Tentu hal tersebut patut menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk perumusan kebijakan-kebijakan selanjutnya.
Kebijakan kuratif perlu dilakukan secara simultan untuk memperbaiki neraca perdagangan ke depannya. Perbaikan neraca perdagangan harus seimbang antara peningkatan ekspor dengan upaya untuk menahan impor, sebab dengan cara itulah kita bisa meningkatkan surplus perdagangan.
Oleh karena itu langkah perbaikan harus bersifat menyeluruh sejak hulu hingga hilir, mulai dari kebijakan investasi, daya saing produksi hingga efisiensi penjualan/pemasaran (tata niaga). Fokus utamanya adalah menjaga daya saing agar kualitas perekonomian kita dapat menghasilkan surplus perdagangan yang lebih besar.
Pertama, sektor industri tetap perlu kita pertahankan sebagai leading sector untuk ekspor karena peranannya yang sangat besar terhadap peningkatan nilai tambah produk. Akan tetapi kita juga perlu mengutamakan jenis-jenis industri yang mampu menggunakan komponen lokal dan menghasilkan multiplier effect yang paling signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
Ketergantungan impor selama ini untuk penyediaan bahan baku/penolong terbukti justru menyandera daya saing kita karena pada saat nilai tukar melemah, biaya operasional produksi juga akan meningkat dan selanjutnya turut berpengaruh pada harga jual produk. Oleh karena itu, kebiasaan ini perlu direm segera dengan menggiatkan industri substitusi impor.
Kedua, kebijakan struktural perlu diimbangi dengan ketersediaan infrastruktur yang memadai untuk meningkatkan daya saing investasi dan produksi. Persoalan infrastruktur mulai dari penunjang transportasi, informasi dan komunikasi, energi hingga air bersih selama ini menjadi utang terbesar kita untuk peningkatan pembangunan.
Selain kurang memadai, proses konstruksinya juga dinilai kurang merata (dan relatif mahal), terutama di luar Pulau Jawa. Hal ini pula yang membuat jantung perekonomian terkonsentrasi di Pulau Jawa. Padahal keragaman potensi sangat tersedia di banyak daerah, terutama industri yang renewable seperti pariwisata (dan produk-produk turunannya) serta industri makanan-minuman yang otentik.
Dan untuk saat ini perkembangan kedua potensi lokal tersebut masih terganggu dengan biaya transportasi udara yang tengah melangit harganya sehingga pemerintah perlu memperbaiki layanan tersebut untuk menggeliatkan kembali bisnis yang sangat potensial ini.
Ketiga, baru-baru ini BI menurunkan tingkat suku bunga acuan (7days repo rate/7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75%. Langkah transmisi berikutnya sangat dibutuhkan untuk menjaga agar misi kesinambungan pertumbuhan ekonomi dapat tercapai.
Setidaknya stok keuangan yang sudah terkumpul selama ini dapat disalurkan untuk mendanai investasi dan produksi melalui suku bunga kredit perbankan yang lebih rendah. Seiring prakiraan inflasi yang kondusif dan ketidakpastian pasar global yang mulai terkendali, kita patut memanfaatkan momentum ini untuk kembali menggenjot produktivitas sektor riil. Tinggal bagaimana cara BI dan pemerintah bekerja sama melakukan transmisi yang sejalan dengan misi penguatan sektor keuangan dan sektor riil dengan sekaligus.
Keempat, transformasi struktural juga perlu diperkuat dengan transformasi ketenagakerjaan. Isu ini sering kali dibahas karena turut memengaruhi daya saing Indonesia. Dalam lingkup regional ASEAN, kita sering kali tertinggal dengan beberapa negara tetangga salah satunya karena persoalan ketenagakerjaan yang relatif kalah bersaing dengan mereka.
Selain faktor produktivitas dan keterampilan, biaya upah dan tunjangan yang harus ditanggung para pemodal dirasa relatif terlalu mahal jika dikaitkan dengan hasil yang mereka terima. Oleh karena itu skill tenaga kerja perlu semakin ditingkatkan, terutama melalui kualitas pendidikan, kesehatan, riset dan pengembangan hingga pelatihan-pelatihan tematik jangka pendek. Minimal tenaga kerja kita dapat lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi dan jiwa entrepreneur perlu diperkuat untuk meningkatkan nilai tambah yang dihasilkan.
Dan kelima, persoalan birokrasi turut menjadi “momok” investasi. Yang paling utama untuk saat ini adalah sinkronisasi antara target deregulasi yang dilakukan pemerintah pusat dengan kebijakan yang diampu pemerintah daerah.
Dari beberapa pengamatan di lapangan, tampak tidak sedikit peraturan daerah (perda) yang kontradiktif dengan peraturan pemerintah pusat dan justru menghambat laju investasi daerah, misalnya terkait dengan tata ruang/agraria. Memang dalam beberapa sisi “kerumitan” birokrasi menjadi ladang pendapatan pemerintah daerah, terutama melalui pos retribusi. Akan tetapi dalam sudut pandang yang lebih luas, hal itu justru dapat menghambat pertumbuhan ekonomi di daerah.
Oleh karena itu pemerintah pusat perlu mengajak pemerintah dan masyarakat di daerah untuk membuat kebijakan-kebijakan kreatif yang dapat mengalirkan semakin banyak investasi yang bermanfaat bagi daerah, selama tidak bersifat destruktif terhadap ekosistem alam dan manusia.
Perjuangan menerjang defisit perdagangan adalah jalan yang panjang dan sangat dinamis. Kita sendiri sebagai negara small open economy tidak bisa sekadar berpikir parsial untuk bisa melahirkan kebijakan yang komprehensif. Secara sekilas memang hal ini tidak mudah, tetapi kita tetap harus berani teguh jika ingin perekonomian Indonesia tetap berjalan dengan sehat dan berumur panjang.
Kolaborasi antarpemangku kepentingan adalah kunci utamanya. Pemerintah harus menunjukkan dukungannya terhadap pebisnis dan masyarakat dan sebagai gantinya mereka juga harus mendukung kebijakan pemerintah dengan melakukan kewajiban-kewajibannya sebagai warga negara yang baik. Tanpa itu semua kita akan terus menjadi bangsa yang terjajah dalam perekonomian. Mudah-mudahan hal itu tidak kita biarkan tanpa ada langkah-langkah perbaikan.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
DAMPAK neraca perdagangan tergolong serius terhadap perekonomian Indonesia. Selain berkaitan dengan neraca transaksi berjalan (current account) dan efek dominonya terhadap nilai tukar rupiah, neraca perdagangan juga merefleksikan tingkat produktivitas domestik baik dari sisi input maupun output. Dalam perkembangan terakhir, neraca perdagangan kita masih terjerembab cukup dalam di angka defisit.
Selama periode Januari–Juni 2019, total defisit perdagangan mencapai USD1,93 miliar dan meningkat 60,83% bila dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018 (yoy). Akibatnya proyeksi neraca transaksi berjalan pada kuartal II/2019 relatif menjadi suram.
Kendati belum dirilis Bank Indonesia (BI), banyak pihak yang menebak defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) akan kian lebar pada kuartal II. Hal ini mengacu pada tren periode-periode sebelumnya seperti kondisi pada kuartal I/2019 kemarin.
Pada saat itu dengan defisit perdagangan hanya USD0,19 miliar saja CAD kita sudah mencapai USD6,96 miliar. Apalagi dengan kondisi yang sekarang, akan sangat mungkin nilai CAD-nya kian membengkak daripada sebelumnya.
Sebenarnya neraca perdagangan kita pada Juni 2019 kemarin tengah surplus tipis sebesar USD0,2 miliar, tetapi dampaknya kurang terasa karena bulan-bulan sebelumnya secara agregat kita mengalami defisit yang cukup dalam.Kalau kita lihat sekilas, penyebab utama jebloknya neraca perdagangan Indonesia lantaran kinerja ekspor yang belum menunjukkan perbaikan signifikan. Nilai ekspor kita selama semester I/2019 menurun 8,57% bila dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018 (yoy).
Jika ditelaah lebih dalam lagi, sektor industri pengolahan selaku kontributor utama (74,88%), kian lemah kinerja nilai ekspornya dengan penurunan 4,59% selama semester I/2019. Belum lagi dengan pukulan dari harga komoditas andalan ekspor yang juga tengah mengalami kontraksi.
Yang terburuk, berdasarkan data BPS (2019), terjadi pada harga batu bara yang anjlok hingga 30%. Kondisi serupa juga terjadi pada harga minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) yang turun hingga 8,02%.
Indonesia mulai merasakan beratnya “kutukan” kebijakan akibat terlalu mengandalkan ekspor komoditas mentah. Apalagi kita relatif lelet untuk melakukan transisi pada saat harga komoditas tidak se-booming sebelumnya. Akibatnya kinerja industri turut melemah karena nilai tukar yang terus merosot dalam beberapa tahun terakhir.
Hal ini juga berkaitan dengan kebiasaan kita yang terlalu bergantung pada impor bahan baku dan barang penolong untuk mencukupi sebagian besar input produksi dalam negeri. Transformasi struktural menuntut agar terus dilakukan demi menjaga keberlangsungan daya saing industri domestik.
Perlu Insentif
Pemerintah sendiri sebenarnya tidak hanya tinggal diam dalam menyikapi kondisi seperti sekarang ini. Kucuran insentif pajak dan impor bahan baku sudah banyak dilayangkan kendati hasilnya belum memenuhi ekspektasi.
Bahkan beberapa paket kebijakan sudah diterbitkan secara gradual untuk menginjeksi produksi dalam negeri. Tentu hal tersebut patut menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk perumusan kebijakan-kebijakan selanjutnya.
Kebijakan kuratif perlu dilakukan secara simultan untuk memperbaiki neraca perdagangan ke depannya. Perbaikan neraca perdagangan harus seimbang antara peningkatan ekspor dengan upaya untuk menahan impor, sebab dengan cara itulah kita bisa meningkatkan surplus perdagangan.
Oleh karena itu langkah perbaikan harus bersifat menyeluruh sejak hulu hingga hilir, mulai dari kebijakan investasi, daya saing produksi hingga efisiensi penjualan/pemasaran (tata niaga). Fokus utamanya adalah menjaga daya saing agar kualitas perekonomian kita dapat menghasilkan surplus perdagangan yang lebih besar.
Pertama, sektor industri tetap perlu kita pertahankan sebagai leading sector untuk ekspor karena peranannya yang sangat besar terhadap peningkatan nilai tambah produk. Akan tetapi kita juga perlu mengutamakan jenis-jenis industri yang mampu menggunakan komponen lokal dan menghasilkan multiplier effect yang paling signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
Ketergantungan impor selama ini untuk penyediaan bahan baku/penolong terbukti justru menyandera daya saing kita karena pada saat nilai tukar melemah, biaya operasional produksi juga akan meningkat dan selanjutnya turut berpengaruh pada harga jual produk. Oleh karena itu, kebiasaan ini perlu direm segera dengan menggiatkan industri substitusi impor.
Kedua, kebijakan struktural perlu diimbangi dengan ketersediaan infrastruktur yang memadai untuk meningkatkan daya saing investasi dan produksi. Persoalan infrastruktur mulai dari penunjang transportasi, informasi dan komunikasi, energi hingga air bersih selama ini menjadi utang terbesar kita untuk peningkatan pembangunan.
Selain kurang memadai, proses konstruksinya juga dinilai kurang merata (dan relatif mahal), terutama di luar Pulau Jawa. Hal ini pula yang membuat jantung perekonomian terkonsentrasi di Pulau Jawa. Padahal keragaman potensi sangat tersedia di banyak daerah, terutama industri yang renewable seperti pariwisata (dan produk-produk turunannya) serta industri makanan-minuman yang otentik.
Dan untuk saat ini perkembangan kedua potensi lokal tersebut masih terganggu dengan biaya transportasi udara yang tengah melangit harganya sehingga pemerintah perlu memperbaiki layanan tersebut untuk menggeliatkan kembali bisnis yang sangat potensial ini.
Ketiga, baru-baru ini BI menurunkan tingkat suku bunga acuan (7days repo rate/7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75%. Langkah transmisi berikutnya sangat dibutuhkan untuk menjaga agar misi kesinambungan pertumbuhan ekonomi dapat tercapai.
Setidaknya stok keuangan yang sudah terkumpul selama ini dapat disalurkan untuk mendanai investasi dan produksi melalui suku bunga kredit perbankan yang lebih rendah. Seiring prakiraan inflasi yang kondusif dan ketidakpastian pasar global yang mulai terkendali, kita patut memanfaatkan momentum ini untuk kembali menggenjot produktivitas sektor riil. Tinggal bagaimana cara BI dan pemerintah bekerja sama melakukan transmisi yang sejalan dengan misi penguatan sektor keuangan dan sektor riil dengan sekaligus.
Keempat, transformasi struktural juga perlu diperkuat dengan transformasi ketenagakerjaan. Isu ini sering kali dibahas karena turut memengaruhi daya saing Indonesia. Dalam lingkup regional ASEAN, kita sering kali tertinggal dengan beberapa negara tetangga salah satunya karena persoalan ketenagakerjaan yang relatif kalah bersaing dengan mereka.
Selain faktor produktivitas dan keterampilan, biaya upah dan tunjangan yang harus ditanggung para pemodal dirasa relatif terlalu mahal jika dikaitkan dengan hasil yang mereka terima. Oleh karena itu skill tenaga kerja perlu semakin ditingkatkan, terutama melalui kualitas pendidikan, kesehatan, riset dan pengembangan hingga pelatihan-pelatihan tematik jangka pendek. Minimal tenaga kerja kita dapat lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi dan jiwa entrepreneur perlu diperkuat untuk meningkatkan nilai tambah yang dihasilkan.
Dan kelima, persoalan birokrasi turut menjadi “momok” investasi. Yang paling utama untuk saat ini adalah sinkronisasi antara target deregulasi yang dilakukan pemerintah pusat dengan kebijakan yang diampu pemerintah daerah.
Dari beberapa pengamatan di lapangan, tampak tidak sedikit peraturan daerah (perda) yang kontradiktif dengan peraturan pemerintah pusat dan justru menghambat laju investasi daerah, misalnya terkait dengan tata ruang/agraria. Memang dalam beberapa sisi “kerumitan” birokrasi menjadi ladang pendapatan pemerintah daerah, terutama melalui pos retribusi. Akan tetapi dalam sudut pandang yang lebih luas, hal itu justru dapat menghambat pertumbuhan ekonomi di daerah.
Oleh karena itu pemerintah pusat perlu mengajak pemerintah dan masyarakat di daerah untuk membuat kebijakan-kebijakan kreatif yang dapat mengalirkan semakin banyak investasi yang bermanfaat bagi daerah, selama tidak bersifat destruktif terhadap ekosistem alam dan manusia.
Perjuangan menerjang defisit perdagangan adalah jalan yang panjang dan sangat dinamis. Kita sendiri sebagai negara small open economy tidak bisa sekadar berpikir parsial untuk bisa melahirkan kebijakan yang komprehensif. Secara sekilas memang hal ini tidak mudah, tetapi kita tetap harus berani teguh jika ingin perekonomian Indonesia tetap berjalan dengan sehat dan berumur panjang.
Kolaborasi antarpemangku kepentingan adalah kunci utamanya. Pemerintah harus menunjukkan dukungannya terhadap pebisnis dan masyarakat dan sebagai gantinya mereka juga harus mendukung kebijakan pemerintah dengan melakukan kewajiban-kewajibannya sebagai warga negara yang baik. Tanpa itu semua kita akan terus menjadi bangsa yang terjajah dalam perekonomian. Mudah-mudahan hal itu tidak kita biarkan tanpa ada langkah-langkah perbaikan.
(poe)