Faktor Nahdlatul Ulama
A
A
A
Akh. Muzakki
Sekretaris PWNU Jawa Timur,
Guru Besar dan Dekan FISIP UIN Sunan Ampel
JOKOWI dan Ma’ruf Amin telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai presiden dan wakil presiden RI 2019-2024 melalui sidang pleno pada Minggu (30/6/2019). Sidang pleno yang diselenggarakan tiga hari setelah diputusnya persidangan gugatan sengketa pemilihan presiden (pilpres) oleh Mahkamah Konstitusi (27/06/2019) tersebut mengafirmasi hasil rapat pleno rekapitulasi penghitungan suara tingkat nasional KPU RI (20/5/2019) yang memutuskan perolehan suara pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin mengungguli pasangan Prabowo-Sandi.
Jokowi-Ma’ruf Amin unggul pada 21 provinsi, sedangkan Prabowo-Sandi menang di 13 provinsi. Dan, yang menarik untuk ditelaah, di provinsi padat pemilih, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin memenangi dua provinsi dengan jumlah pemilih gemuk, Jawa Tengah (77,29% dibanding 22,71%) dan Jawa Timur (65,79% dibanding 34,21%). Pasangan Prabowo-Sandi hanya unggul di Jawa Barat (59,93% dibanding 40,07%). Jadi, pada Pilpres 2019 ini, menyusul jumlah pemilih yang besar, Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi penyumbang kemenangan terbesar pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Yang lebih menarik lagi, kenaikan suara Jokowi di Jawa Timur pada Pilpres 2019 kali ini sangat signifikan dibanding Pemilu 2014. Pada Pemilu 2014 saat berpasangan dengan Jusuf Kalla, Jokowi berhasil memperoleh total suara 53,17%, sedangkan Prabowo dengan pasangan Hatta Rajasa memperoleh 46,83%. Artinya, peningkatan perolehan suara di provinsi ini meningkat sebesar 25,24%.
Adapun di Jawa Tengah, peningkatan suara Jokowi mencapai angka sedikit lebih rendah dibanding Jawa Timur, yakni 21,28%. Pada Pemilu 2014, perolehan suara Jokowi di Jawa Tengah mencapai 66,65%, sedangkan pada Pilpres 2019 sebesar 77,29%.
Pertanyaan yang menarik untuk diajukan adalah: mengapa terjadi kenaikan suara yang sangat signifikan untuk Jokowi dan penurunan untuk Prabowo di provinsi padat pemilih Jawa Timur khususnya?
Keputusan Jokowi untuk menggandeng Ma’ruf Amin sebagai cawapres tampak memiliki kontribusi cukup signifikan pada kenaikan perolehan suara Jokowi pada Pilpres 2019. Pasalnya, perolehan suara pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019 di Jawa Timur tidak bisa dipisahkan dari konteks demografis masyarakat di wilayah ini yang menjadi basis sosiologis paling kuat (stronghold) untuk NU.
Kuatnya penetrasi dan kenyalnya daya tahan ormas keagamaan paling besar dengan jumlah keanggotaan yang besar pula di wilayah ini telah menjadikan NU sebagai kekuatan masyarakat madani yang berfungsi sebagai penyeimbang dan sekaligus penimbang antara kekuatan negara (state) dan masyarakat (people).
Apalagi, dalam konteks Pilpres 2019, representasi NU lebih kuat diwakili oleh pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin daripada pasangan Prabowo-Sandi. Kesan representasi ini membuat jamaah NU terkonsolidasi secara signifikan. Konsolidasi kultural ini membuat nahdliyin semakin berdaya tahan tinggi. Bahkan, produksi hoaks oleh siapa pun cenderung dikritisi secara serius oleh mereka hingga tidak bisa bergerak efektif untuk memengaruhi basis kognitif publik.
Hoaks memang terbukti menimbulkan dampak elektoral di sejumlah negara, termasuk di Barat yang lebih maju dari selainnya sekalipun. Terpilihnya sejumlah pemimpin negara dan pemerintahan di sejumlah negara di Barat, Amerika sekalipun, menjadi bukti bahwa kemapanan ekonomi dan kecakapan melek teknologi, khususnya literasi media digital, terbukti tidak sanggup menahan gempuran produksi hoaks. Melalui pemanfaatan politik identitas, hoaksdi kawasan itu memiliki dampak signifikan untuk menaikkan suara elektoral.
Gagapnya kerja hoaks dalam menaikkan dan atau menurunkan suara elektoral di Jawa Timur pada Pilpres 2019 ini serta efektifnya kerja NU sebagai penyeimbang dan sekaligus penimbang antara kekuatan elite dan rakyat di atas, dilatarbelakangi oleh berfungsinya dua pilar besar NU: NU Besar (great NU) dan NU Kecil (little NU).
Istilah “NU besar” dan “NU kecil” ini saya pinjam dari perspektif Robert Redfield (The Little Community, Peasant Society and Culture,1963:41-42) saat mengilustrasikan tradisi agama melalui kategorisasi ke dalam konsep tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition). Tradisi besar menunjuk kepada tradisi di waktu dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya tradisi itu, sedangkan tradisi kecil merujuk kepada perkembangan lanjutan dari tradisi dimaksud di waktu dan lokus yang berbeda.
Kategori “NU besar” dan “NU kecil” bisa dipertukarkan. NU awalnya memang terbentuk dan dikembangkan oleh pesantren beserta kiai panutannya. Dan, karena itu, dalam perspektif Robert Redfield di atas, pesantren dan kiai dimaksud layak dinamai Tradisi Besar. Dengan begitu, NU struktural itu NU Kecil, sedangkan pesantren beserta kiai adalah NU Besar.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, saya mengibaratkan kiai dan pesantren sebagai “NU kecil” (little NU) karena mereka menjadi pemilik saham terpenting atas keberadaan NU. Selain itu, terdapat komunitas dan atau perkumpulan “baru” di NU yang membuat mereka memiliki peran terukur sebagai NU Kecil dimaksud. Mereka di antaranya Perhimpunan Kiai Kampung, Komunitas GusDurian, dan Komunitas Alumni Pesantren, dan bahkan juga forum-forum publik sosial keagamaan yang bergerak di bawah panji kelembagaan NU seperti majelis taklim, yasinan, tahlilan, dan kubroan.
Keberadaan mereka semakin menopang dan sekaligus memperkuat keberadaan kelembagaan struktural NU, mulai PBNU, PWNU hingga ranting dan anak ranting NU. Kelembagaan NU struktural ini menjadi “NU besar” (great NU) yang harus pula bisa menjadi “rumah besar” bagi “NU kecil” yang jumlahnya sangat banyak di tengah masyarakat.
Dalam konteks Pilpres 2019, kepemimpinan NU di wilayah Jawa Timur, baik dalam kategori NU Besar maupun Kecil, memegang peranan kunci di balik upaya untuk menjaga soliditas kaum nahdliyin. Majunya tokoh panutan NU Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi membuat soliditas kaum nahdliyin menemukan kanalisasinya. Itulah yang menjadi pembentuk apa yang disebut dengan Faktor NU (The NU Factor) yang membuat cerita sukses bagi perolehan suara pasangan yang kuat menjadi representasi kaum nahdliyin itu.
Atas dasar itulah, sebesar apa pun produksi berita palsu atau hoaks di ruang publik tetap gagal untuk secara efektif menembus batas kognitif publik. Solidnya kaum nahdliyin di bawah pengaruh NU Besar dan NU Kecil di atas bahkan terbukti mampu mengimbangi dan sekaligus menyaring pergerakan berita palsu atau hoax dari arus atas (elite) ke arus bawah (masyarakat kebanyakan).
Solidnya relasi NU Besar dan NU Kecil di atas berbuah pada dukungan yang cenderung signifikan kepada pasangan yang dipersepsikan secara kuat menjadi representasi nahdliyin. Pada titik inilah, sangat bisa dimengerti mengapa kenaikan perolehan suara elektoral secara signifikan terjadi pada pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin dengan diiringi oleh penurunan pada perolehan suara pasangan Prabowo-Sandi.
Sekretaris PWNU Jawa Timur,
Guru Besar dan Dekan FISIP UIN Sunan Ampel
JOKOWI dan Ma’ruf Amin telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai presiden dan wakil presiden RI 2019-2024 melalui sidang pleno pada Minggu (30/6/2019). Sidang pleno yang diselenggarakan tiga hari setelah diputusnya persidangan gugatan sengketa pemilihan presiden (pilpres) oleh Mahkamah Konstitusi (27/06/2019) tersebut mengafirmasi hasil rapat pleno rekapitulasi penghitungan suara tingkat nasional KPU RI (20/5/2019) yang memutuskan perolehan suara pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin mengungguli pasangan Prabowo-Sandi.
Jokowi-Ma’ruf Amin unggul pada 21 provinsi, sedangkan Prabowo-Sandi menang di 13 provinsi. Dan, yang menarik untuk ditelaah, di provinsi padat pemilih, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin memenangi dua provinsi dengan jumlah pemilih gemuk, Jawa Tengah (77,29% dibanding 22,71%) dan Jawa Timur (65,79% dibanding 34,21%). Pasangan Prabowo-Sandi hanya unggul di Jawa Barat (59,93% dibanding 40,07%). Jadi, pada Pilpres 2019 ini, menyusul jumlah pemilih yang besar, Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi penyumbang kemenangan terbesar pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Yang lebih menarik lagi, kenaikan suara Jokowi di Jawa Timur pada Pilpres 2019 kali ini sangat signifikan dibanding Pemilu 2014. Pada Pemilu 2014 saat berpasangan dengan Jusuf Kalla, Jokowi berhasil memperoleh total suara 53,17%, sedangkan Prabowo dengan pasangan Hatta Rajasa memperoleh 46,83%. Artinya, peningkatan perolehan suara di provinsi ini meningkat sebesar 25,24%.
Adapun di Jawa Tengah, peningkatan suara Jokowi mencapai angka sedikit lebih rendah dibanding Jawa Timur, yakni 21,28%. Pada Pemilu 2014, perolehan suara Jokowi di Jawa Tengah mencapai 66,65%, sedangkan pada Pilpres 2019 sebesar 77,29%.
Pertanyaan yang menarik untuk diajukan adalah: mengapa terjadi kenaikan suara yang sangat signifikan untuk Jokowi dan penurunan untuk Prabowo di provinsi padat pemilih Jawa Timur khususnya?
Keputusan Jokowi untuk menggandeng Ma’ruf Amin sebagai cawapres tampak memiliki kontribusi cukup signifikan pada kenaikan perolehan suara Jokowi pada Pilpres 2019. Pasalnya, perolehan suara pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019 di Jawa Timur tidak bisa dipisahkan dari konteks demografis masyarakat di wilayah ini yang menjadi basis sosiologis paling kuat (stronghold) untuk NU.
Kuatnya penetrasi dan kenyalnya daya tahan ormas keagamaan paling besar dengan jumlah keanggotaan yang besar pula di wilayah ini telah menjadikan NU sebagai kekuatan masyarakat madani yang berfungsi sebagai penyeimbang dan sekaligus penimbang antara kekuatan negara (state) dan masyarakat (people).
Apalagi, dalam konteks Pilpres 2019, representasi NU lebih kuat diwakili oleh pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin daripada pasangan Prabowo-Sandi. Kesan representasi ini membuat jamaah NU terkonsolidasi secara signifikan. Konsolidasi kultural ini membuat nahdliyin semakin berdaya tahan tinggi. Bahkan, produksi hoaks oleh siapa pun cenderung dikritisi secara serius oleh mereka hingga tidak bisa bergerak efektif untuk memengaruhi basis kognitif publik.
Hoaks memang terbukti menimbulkan dampak elektoral di sejumlah negara, termasuk di Barat yang lebih maju dari selainnya sekalipun. Terpilihnya sejumlah pemimpin negara dan pemerintahan di sejumlah negara di Barat, Amerika sekalipun, menjadi bukti bahwa kemapanan ekonomi dan kecakapan melek teknologi, khususnya literasi media digital, terbukti tidak sanggup menahan gempuran produksi hoaks. Melalui pemanfaatan politik identitas, hoaksdi kawasan itu memiliki dampak signifikan untuk menaikkan suara elektoral.
Gagapnya kerja hoaks dalam menaikkan dan atau menurunkan suara elektoral di Jawa Timur pada Pilpres 2019 ini serta efektifnya kerja NU sebagai penyeimbang dan sekaligus penimbang antara kekuatan elite dan rakyat di atas, dilatarbelakangi oleh berfungsinya dua pilar besar NU: NU Besar (great NU) dan NU Kecil (little NU).
Istilah “NU besar” dan “NU kecil” ini saya pinjam dari perspektif Robert Redfield (The Little Community, Peasant Society and Culture,1963:41-42) saat mengilustrasikan tradisi agama melalui kategorisasi ke dalam konsep tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition). Tradisi besar menunjuk kepada tradisi di waktu dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya tradisi itu, sedangkan tradisi kecil merujuk kepada perkembangan lanjutan dari tradisi dimaksud di waktu dan lokus yang berbeda.
Kategori “NU besar” dan “NU kecil” bisa dipertukarkan. NU awalnya memang terbentuk dan dikembangkan oleh pesantren beserta kiai panutannya. Dan, karena itu, dalam perspektif Robert Redfield di atas, pesantren dan kiai dimaksud layak dinamai Tradisi Besar. Dengan begitu, NU struktural itu NU Kecil, sedangkan pesantren beserta kiai adalah NU Besar.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, saya mengibaratkan kiai dan pesantren sebagai “NU kecil” (little NU) karena mereka menjadi pemilik saham terpenting atas keberadaan NU. Selain itu, terdapat komunitas dan atau perkumpulan “baru” di NU yang membuat mereka memiliki peran terukur sebagai NU Kecil dimaksud. Mereka di antaranya Perhimpunan Kiai Kampung, Komunitas GusDurian, dan Komunitas Alumni Pesantren, dan bahkan juga forum-forum publik sosial keagamaan yang bergerak di bawah panji kelembagaan NU seperti majelis taklim, yasinan, tahlilan, dan kubroan.
Keberadaan mereka semakin menopang dan sekaligus memperkuat keberadaan kelembagaan struktural NU, mulai PBNU, PWNU hingga ranting dan anak ranting NU. Kelembagaan NU struktural ini menjadi “NU besar” (great NU) yang harus pula bisa menjadi “rumah besar” bagi “NU kecil” yang jumlahnya sangat banyak di tengah masyarakat.
Dalam konteks Pilpres 2019, kepemimpinan NU di wilayah Jawa Timur, baik dalam kategori NU Besar maupun Kecil, memegang peranan kunci di balik upaya untuk menjaga soliditas kaum nahdliyin. Majunya tokoh panutan NU Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi membuat soliditas kaum nahdliyin menemukan kanalisasinya. Itulah yang menjadi pembentuk apa yang disebut dengan Faktor NU (The NU Factor) yang membuat cerita sukses bagi perolehan suara pasangan yang kuat menjadi representasi kaum nahdliyin itu.
Atas dasar itulah, sebesar apa pun produksi berita palsu atau hoaks di ruang publik tetap gagal untuk secara efektif menembus batas kognitif publik. Solidnya kaum nahdliyin di bawah pengaruh NU Besar dan NU Kecil di atas bahkan terbukti mampu mengimbangi dan sekaligus menyaring pergerakan berita palsu atau hoax dari arus atas (elite) ke arus bawah (masyarakat kebanyakan).
Solidnya relasi NU Besar dan NU Kecil di atas berbuah pada dukungan yang cenderung signifikan kepada pasangan yang dipersepsikan secara kuat menjadi representasi nahdliyin. Pada titik inilah, sangat bisa dimengerti mengapa kenaikan perolehan suara elektoral secara signifikan terjadi pada pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin dengan diiringi oleh penurunan pada perolehan suara pasangan Prabowo-Sandi.
(whb)